Minggu, 04 Mei 2008

Era Eksploitasi Otak Kanan, Industri Kreatif Akan Menjadi Tumpuan Ekonomi


Urgensi Standarisasi Handicraft Etnik

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
*)

Disaat kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini handicraft atau kerajinan tangan yang bernuansa etnik bagaikan sahabat lama yang berperan sebagai katup penyelamat. Bermacam ragam handicraft etnik yang tersebar di provinsi Jawa Barat perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif dan konkrit. Diperlukan terobosan yang radikal untuk mendongkrak pemakaian produk handicraft etnik beserta derivatifnya. Dengan mencontoh fenomena McDonald’s menghijaukan lengkung emas pada dekade tahun 90-an.

Persoalan bahan baku, standarisasi mutu, modal usaha dan jaringan pemasaran merupakan masalah yang harus dipecahkan segera agar produk handicraft etnik di Jabar tidak kedaluarsa. Standarisasi mutu produk perlu dilakukan supaya lebih kompatibel dengan permintaan pasar. Apalagi tren properti regional maupun global menuntut desain handicraft etnik yang berkarakter minimalis. Untuk itulah pentingnya forum workshop yang mampu menerawang tren global dan selera pasar agar desain produk mudah terserap mekanisme pasar. Selain itu juga merupakan sarana pengembangan dan inovasi produk secara terus menerus. Standarisasi juga menyangkut kualitas bahan baku, tingkat presisi, treatmen, serta proses pengerjaan lainnya. Fungsi Jabar Craft Center ( JCC) di Dago sebaiknya difokuskan kepada masalah standarisasi dan inovasi produk beserta aspek luasnya dalam bentuk forum workshop yang waktunya lebih ketat.
Pengalaman penulis yang baru saja mengikuti Dubai Internasional Exhibition Centre United Arab Emirates pada tanggal 7 –11 November 2006 yang mengetengahkan produk-produk furniture dan interior berbahan baku rotan, serat, dan lain-lain terlihat adanya segmen pasar yang sangat potensial di negara-negara Timur Tengah. Selama tahun 2006 saja transaksi atau impor produk furniture dan interior di UAE mencapai 6,5 milyar US-Dollar yang berasal dari berbagai negara. Potensi tersebut harus segera diisi oleh produk dari provinsi Jawa Barat. Sebanyak 11 usahawan dari Jabar mengikuti Dubai Expo. Dalam expo itu berhasil mendapatkan komitmen bisnis dari 123 buyer dan terjadi transaksi langsung berupa kontrak sebanyak 125 buah.
Pemerintah daerah dalam hal ini dinas perindustrian dan perdagangan harus berpacu dengan waktu untuk meningkatkan dan memberikan karakter unggul terhadap handicraft etnik dari berbagai daerah di Jabar. Lebih-lebih esensi handicraft etnik juga mengkait langsung dengan aspek seni dan budaya sekaligus merupakan ikon promosi daerah. Beberapa handicraft etnik yang sudah dikenal luas seperti dari daerah Cirebon yang antara lain terkenal dengan kerajinan batik, topeng, lukisan kaca, produk rotan dan aneka serat. Dari Bandung yang terkenal dengan kerajinan Wayang Golek, dari Tasikmalaya terkenal Anyaman Tikarnya, dari Purwakarta terkenal Gerabahnya, serta dari daerah lainnya yang mempunyai produk Etnik yang telah menjadi trade mark yang diunggulkan. Semuanya membutuhkan adaptasi pasar disertai pengembangan desain. Selain itu juga pentingnya inovasi produk bagi pengrajin secara terus menerus melalui forum workshop. Dengan itu maka proses pemilihan bahan baku dan proses pengerjaan bisa lebih optimal. Lebih ideal lagi jika dalam workshop juga melibatkan praktisi atau ahli-ahli desain produk dari perguruan tinggi dan lembaga lainnya. Sehingga berbagai aspek bisa melalui pendekatan ilmiah serta mampu mengakses dan menginformasikan produk handicraft etnik lewat jaringan cyber speace. Karena promosi lewat cyber media jauh lebih efektif dan murah bila dibandingkan dengan pameran atau expo secara langsung. Dengan cyber media para pembeli dan investor bisa melihat spesifikasi desain dan bertransaksi langsung dengan para pengrajin setiap saat.
Bahan baku merupakan faktor utama bagi produsen handicraft etnik. Bahan baku seperti rotan, mendong, anyaman pandan, yang didatangkan dari luar daerah merupakan faktor yang cukup sensitif. Pemakaian bahan baku substitusi seperti serat enceng gondok, serat pohon pisang dan lain-lainnya harus lebih dikaji mutu dan aspek kepraktisannya. Data telah menunjukkan bahwa pasokan tikar pandan dari berbagai pelosok Kabupaten Lebak propinsi Banten ke Tasikmalaya saja mencapai sekitar 30.000 lembar per-bulannya. Begitu juga dengan mendong yang didatangkan dari Jawa Tengah dan rotan dari Sulawesi. Pengetahuan teknis dan treatmen terhadap bahan baku sangat menentukan kualitas produk. Oleh sebab itu Dinas perindustrian, UKM dan koperasi segera dituntut memberikan insentif dan pengetahuan proses produksi yang optimal. Seperti halnya keahlian pengrajin rotan dalam mendayagunakan berbagai bagian tanaman rotan, seperti hati dan kulitnya. Untuk desain tudung saji misalnya bisa menggunakan kulitnya saja atau hatinya saja, tapi bisa juga variasi keduanya dengan treatmen khusus. Karena selama ini hatinya bisa direbus untuk diwarnai, sedangkan kulitnya sulit diwarnai. Proses pembuatan kerajinan rotan menggunakan bermacam-macam ukuran dan jenis rotan. Yang kecil bisa diolah bersama kulitnya untuk handicraft mini. Sedangkan yang berdiameter besar dipotong-potong dengan mesin perkakas sesuai gambar desain furniture atau barang-barang interior. Untuk membuat anyaman rotan yang sempurna, dilakukan beberapa tahapan dan pewarnaan. Kendala bahan pewarna biasa diatasi dengan menambahkan zat lain, seperti cuka atau pinang agar tidak mudah luntur.
Untuk meningkatkan faktor keekonomisan perlu dipikirkan pengadaan bahan baku yang berdekatan dengan sentra pengrajin. Sebagai contoh pentingnya budidaya tanaman pandan dan mendong di sekitar Tasikmalaya dengan mendayagunakan rawa-rawa dan tanah basah yang tidak produktif secara agronomi. Juga pentingya budidaya tanaman Jaran sebagai bahan baku pembuatan Topeng Cirebon atau Wayang Golek. Karena selama ini jenis kayu yang cocok untuk membuat Topeng Cirebon hanyalah kayu Jaran yang mempunyai spesifikasi tidak mudah retak, ringan dan mudah dibentuk.
Pemerintah sebaiknya berani melakukan langkah terobosan yang progresif dan “radikal” dalam hal peningkatan penggunaan produk kerajinan. Terobosan itu bisa dirancang melalui political will dan tekanan akan kesadaran lingkungan alam dan sosial. Langkah terobosan itu bisa belajar dari fenomena McDonald’s menghijaukan lengkung emas pada dekade tahun 90-an. Pada saat itu McDonald’s berada di tengah-tengah polemik hebat dalam hal kemasan makanan yang dipergunakannya. Kemasan dari polystyrene (styrofoam) untuk membungkus hamburger dan produk makanan yang lain ditentang oleh publik karena bukan metode kemasan yang bertanggung jawab pada lingkungan. Padahal model kemasan yang “lebih hijau” telah tersedia. Menurut survei yang dilakukan oleh perancang kemasan Gerstman & Meyers, 70 persen responden percaya bahwa kemasan plastik merupakan sumber masalah. Akhirnya, McDonald’s menempuh program “McRecycle”, berupa komitmen perusahaan untuk membeli material hasil daur ulang dari UKM. Serta beralih menggunakan kantong kertas hasil daur ulang yang tidak diputihkan dan ramah lingkungan. Hakekat persoalan McDonald’s diatas bisa mendorong terobosan di tanah air kita untuk segera melakukan langkah radikal dan masal guna mengganti bahan kemasan berbagai produk dengan hasil kerajinan rakyat. Berbagai produk makanan hendaknya dikemas dalam anyaman pandan atau serat. Begitu pula kemasan barang-barang elektronik dan home applience juga sangat feasibel untuk memakai kerajinan rakyat.
Standarisasi Handicraft Etnik di Jabar bisa bertepuk sebelah tangan alias sia-sia jika pemerintah kurang konsisten menggunakan produknya untuk berbagai keperluan. Gubernur hingga Bupati harus berani mewajibkan penggunaan interior dan aneka peralatan di instansi-instansi pemerintah dengan handicraft etnik sebanyak-banyaknya. Juga tidak segan-segan memberikan pengertian kepada pengelola hotel-hotel dan tempat-tempat publik untuk memberikan nuansa etnik. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan berbagai lembaga pendidikan sebagai basis untuk mencintai dan mengembangkan handicraft etnik. Antara lain dengan memasukan muatan lokal tentang desain dan pembuatan handicraft etnik. Hal itu juga akan memberikan bekal ketrampilan kerja kepada anak didik yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di harian KOMPAS

Tidak ada komentar: