Selasa, 27 Juli 2010

Jejak Bush dan Clinton di Aceh

















Politik pencitraan memang trademark-nya politik AS. Sejak hard politic-nya di Irak mendapat reaksi negatif dari pelbagai penjuru dunia, AS buru-buru merubah haluan ke soft politic dalam bentuk politik pencitraan. Itu nampak sekali pada jejak yang ditinggalkan Bush dan Clinton di NAD pasca tsunami. AS membersihkan saluran irigasi sebuah perkampungan kurang lebih 20 km dari Banda Aceh. Setelah operasi AS tersebut, aliran irigasi menjadi lancar terbebas dari onggokan sampah. Irigasi memang sangat penting bagi para petani, terlebih setelah tsunami yang dahsyat itu. Nah, kalau politik pencitraan semacam ini, siapa yang menolak ?

Selasa, 06 Juli 2010

Kepribadian Nasional


1. Globalisasi
McLuhan yang merupakan seorang pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:
“Istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney”

Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996 yang menyatakan bahwa:
“Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.

2. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:
“masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.

Untuk membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10) bertujuan :
“… untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada et.al.,2000:10).


3. Respon terhadap Globalisasi
Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia. Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan “ Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).



Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.

Tahun 1960-an ketika Soekarno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

a. Declaration of Independence
Declaration of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di Philadelphia pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari penjajahan Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik yang isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature) yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness) dan fungsi pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah mendapatkan kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu rakyat dan tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian bahwa pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and Happiness) serta melindungi dari kekuasaan despotis yang absolut, maka rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi menyingkirkan pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal keamanan masa depan mereka yang baru (Enclylopedia Americana Vol. 8. 2001 : 592).
Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham ini menghindari peran negara, namun perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.
Pandangan bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan negara untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

b. Manifesto Komunis
Pada kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya (Encyclopedia Americana 2001: 439). Manifesto tersebut ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The Manifesto of Communist Party.
Manifesto terbagi dalam empat bab. Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di Eropa sejak peradaban perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi sistem dimana kelas penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan alat-alat produksi. Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat pada eksploitasi ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat. Perubahan kelas penguasa terjadi apabila ada penguasaan alat-alat produksi yang lebih besar lagi. Perjuangan kelas antara bangsawan feodal dan kapitalis akhir abad pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari sejarah masa lalu. Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik. Atas dasar itu maka ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan konsepsi yang realistik dapat dibuat.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata sosial ekonomi dengan produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak ada kepemilikan perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa kelas, perjuangan kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan pribadi kapitalis dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara kolektif, maka kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi sistem kelas.
Pada Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya. Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok politik pada masa itu.
Komunisme pada dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Somerville (Encyclopedia Americana vol. 7, 2001:439) mengatakan bahwa beberapa gagasan manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk perubahan radikal sekalipun.

4. Ideologi Alternatif
Menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.
Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.

5. Pancasila
Solusi gagasan apakah yang diberikan oleh Indonesia terhadap dunia dengan kekacauan besar semacam itu ? Apa sajakah pokok-pokok pikiran dalam gagasan alternatif yang dinamakan Pancasila itu. Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.

a. Dimensi Moral
Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai–nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.
Otonomi moral
Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (“assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (“he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (“a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (“that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (“that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Peneliti berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani, secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai “ an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.

Pemahaman perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat itu memang gencar sekali media massa memberitakan mengenai para anggota lembaga legislatif yang terjerumus sebagai pengguna narkoba dan perilaku menyimpang lainnya.
Kebutuhan akan disiplin terutama bagi para pejabat maupun politisi sangatlah mendesak karena seperti dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi yang diperlukan Indonesia saat ini adalah disiplin.Disiplin yang dimaksudkannya adalah disiplin diri termasuk etika politik di dalamnya, terutama bagi kalangan elite. Selanjutnya dikatakan bahwa bukan hanya dari negarawan saja dituntut adanya rasa tanggungjawab publik melainkan juga dari para politisi. Kegagalan untuk berperilaku etis ini menyebabkan reformasi menjadi deformasi (PR, 27 Januari 2007).
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).

b. Dimensi Ideologis
Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya (Wahana 1993:86).

Epistemologi Ideologi
Untuk memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.


Ideologi-ideologi cenderung untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mendasar seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada sisi lain ideologi mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata dunia, masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan pemikiran-pemikiran ideologikal seperti nampak pada facisme dan nasional-sosialisme (Nazi). Suasana seperti itulah yang menciptakan iklim yang menegangkan sehingga memicu terjadinya Perang Dunia I dan II .
Perkembangan ideologi seperti itulah yang membuat nasionalisme atau faham kebangsaan dicurigai di Indonesia. Soekarno, Hatta dan the founding fathers lainnya harus bersusah payah menjelaskan dan mengembangkan nasionalisme. Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham keagamaan. Dialektika antara kedua faham itu dapat ditelusuri dari perdebatan Soekarno dengan Hasan (Persis), Soekarno dengan Agus Salim dan Soekarno dengan Natsir. Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi nasionalisme, keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu dalam common platform Pancasila, akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan pada tataran pemikiran ideologik sudah berhenti.

c. Dimensi sejarah
Penanaman jiwa kebangsaan pada kader perlu dimulai dengan memahami arti kemerdekaan Indonesia sebagai suatu revolusi nasional. Revolusi adalah “ eine Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan dari tata nilai yang lapuk untuk diganti dengan yang baru dan “Umgestatltung von grundaus” (suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah imperialisme dan kolonialisme. Banyak revolusi di dunia ini, contohnya adalah revolusi kemerdekaan Amerika (1776), revolusi kaum menengah di Perancis (1789), Revolusi proletar di Rusia (1905-1917), Revolusi Turki Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok (1911) dan Revolusi Islam di Iran.
Revolusi Indonesia memiliki tiga segi kerangka tujuan : di bidang politik, suatu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Di bidang sosial, suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adil dan makmur badaniyah dan rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis Indonesia. Di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih dari imperialisme dan kolonialisme.


Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi karakter. Menurut Spranger (Sujanto, Lubis, Hadi, 1984:45), kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam kehidupan jiwanya, jiwa subyektif yaitu jiwa tiap-tiap orang dan jiwa obyektif yaitu nilai-nilai kebudayaan yang berpengaruh pada jiwa subyektif. Manusia dapat dibedakan atas enam nilai kebudayaan, yaitu Ekonomi, Politik, Sosial, Ilmu pengetahuan, Kesenian dan Agama. Pengaruh dari enam nilai kebudayaan menghasilkan enam tipe manusia : manusia ekonomi (senang bekerja, senang mengumpulkan harta, agak kikir, bangga dengan hartanya), manusia politik (ingin berkuasa, tidak ingin kaya, berusaha menguasai orang lain, kurang mencintai kebenaran), manusia sosial (senang berkorban, senang mengabdi kepada Tuhan, mencintai masyarakat, pandai bergaul); manusia pengetahuan (senang membaca, gemar berfikir dan belajar, tidak ingin kaya, ingin serba tahu); manusia seni (hidup bersahaja, senang menikmati keindahan, gemar mencipta, mudah bergaul dengan siapa saja); manusia agama (hidupnya hanya untuk Tuhan dan akhirat, senang memuja, kurang senang harta, senang menolong orang lain) .
Karakter dipengaruhi oleh faktor jasmaniah dan faktor rohaniyah. Faktor jasmaniah mempengaruhi karakter dan karakter mengekspresikan diri dalam tingkah laku jasmaniah (Sujanto dkk., 1984:19). Karena karakter dipengaruhi faktor-faktor rohaniyah, jasmaniah dan lingkungan maka karakter berkaitan dengan agama, budaya, nilai-nilai tradisi, hukum serta ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pembentukan karakter.
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya seperti itu oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness).
Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa. Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Soekarno (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”

Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is often disputed”) bahkan Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis bagi agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of national identity in the advanced welfare states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of Americans say our culture and values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS. Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
Di Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Soekarno ketika mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional). Mukti Ali (1971) mengaitkan dengan etika agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya.
Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional tentu sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi. Salah satu sarana untuk melakukan pembiasaan adalah dalam interaksi antar kader.

6. Kebangsaan
Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.

a. Perkembangan Nasionalisme
Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.
Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.
Langkah awal pembentukan bangsa dimulai dari pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan untuk menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada ketika itu.
Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states) awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
Ketika negara-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
Di abad pertengahan national-building boleh dikata tidak ada. Kekuasaan politik di tangan kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal. Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
Pada abad ke-18 filsuf Perancis Jean Jacques Rousseeau menekankan nilai dari persatuan massa yang menyatakan diri untuk mencapai tujuan bersama menjadi kebijakan seluruh orang. Hukum harus dibuat oleh rakyat, bukan oleh kerajaan. Doktrin Rousseau tentang kedaulatan rakyat, kemerdekaan individu, persamaan sosial dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) diikuti oleh para pemimpin Revolusi Perancis.
Trauma terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan memunculkan kesadaran untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.
Munculnya negara bangsa yang baru merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada pandangan Sukarno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Isak, ed. 2001:160). Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah banyak negara-negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara-negara tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.

b. Penanaman Jiwa Kebangsaan
Penanaman jiwa nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek moral dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan terwujudnya pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala tantangannya di era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut mampu memperkuat daya kognitif, afektif dan konatif. Dengan demikian diharapkan didapat pengetahuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yang tampak dalam pola pikir, sikap maupun tindakan.
Pembinaan nasionalisme dapat menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial kemasyarakatan, pers dan media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi, serta jalan yang tidak melembaga seperti pergaulan sehari-hari, tempat rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum (Kansil, 1986:228). Pada organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan biasanya berbentuk kaderisasi.
Menurut Sulaeman (1998), kaderisasi mengandung pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur kaderisasi, sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and values.
Di dalam partai, kaderisasi memerlukan pendekatan andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat dikatagorikan sebagai manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari perpaduan dua akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan cara membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar teori pendidikan dari Plato (Widada, 2002: 1).
Andragogi dapat dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan proses belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar dewasa. Sedangkan sebagai sistem, andragogi sebagaimana paedagogi, memiliki komponen sistem yang lengkap seperti tujuan, kurikulum, guru, murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi pada umumnya berwujud dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi andragogi pada umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing, up grading dan sebagainya.