Senin, 12 Desember 2011

Kesiapan Daerah Hadapi Bencana Alam

Oleh Harjoko Sangganagara | Daily Investor. Sabtu, 10 Desember 2011 | 22:46


Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan ambruknya bangunan mulai sering terjadi. Celakanya, sistem mitigasi untuk bencana di daerah masih amburadul.

Kesiapan daerah untuk menghadapi bencana alam masih sangat rapuh. Pemerintah daerah justru banyak menggantungkan pemerintah pusat dalam hal mitigasi maupun penanganan bencana. Mestinya pemerintah daerah harus mampu memotivasi dan memfasilitasi rakyat agar bisa mengatasi dan mereduksi dampak bencana alam.

Sebaiknya, ada social engineering bagi semua elemen masyarakat sehingga mereka paham ancaman dan karakter bencana yang mengancam. Hal itu mestinya menjadi tradisi modern.

Masyarakat mesti memiliki nalar ilmiah dan teknologi tepat guna dalam menghadapi bencana. Diperlukan program daerah yang kokoh dan sistemik dalam menghadapi bencana alam. Secara definitif bencana alam adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, nonalam dan manusia, yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Tanggung Jawab Negara
Secara regulatif, sudah dibentuk Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang itu dibuat karena negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Karenanya negara harus memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.

Namun, masih ada kepincangan di sana-sini ketika bencana alam datang menerjang. Prinsip-prinsip dasar dalam penanggulangan bencana yang seharusnya bersifat cepat dan tepat, koordinasi dan keterpaduan, transparan dan akuntabel selama ini belum bisa diwujudkan. Padahal, tujuan penanggulangan bencana adalah untuk melindungi masyarakat dengan menyelaraskan peraturan, membuat langkah-langkah yang terencana dan sinergis, menguatkan budaya dan kearifan local hadapi bencana, dan mengembangkan semangat gotong-royong.

Mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana masih sebatas teori di atas kertas. Padahal, kegiatan mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Perlunya sosialisasi tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana alam.

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan, pendidikan mengenai penanggulangan bencana, memperoleh informasi, dan berperan serta dalam program bantuan pelayanan kesehatan dan dukungan psikososial, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan melakukan pengawasan.

Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan berhak memperoleh ganti kerugian karena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi. Langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam meliputi penjaminan pemenuhan hak pengungsi dengan standar pelayanan minimum; pengurangan risiko bencana yang dipadukan dengan program pembangunan; serta pengalokasian dana penanggulangan bencana alam dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara memadai.

Begitu pula fungsi DPRD dalam penanggulangan bencana harus dioptimalkan. Fungsi itu meliputi, pertama, membuat peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Kedua, mengawasi kinerja pemerintah daerah. DPRD melalui berbagai alat kelengkapan dewan seperti komisi dan kepanitiaan khusus harus mencermati masalah penanggulangan bencana mulai dari aspek kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaannya.

Ketiga, mengalokasikan dana melalui APBD. Dana tersebut digunakan untuk membantu korban bencana dan perbaikan infrastruktur yang rusak akibat bencana.

Jiwa Gotong-Royong
Seluruh pemerintah daerah harus secepatnya menata sistem dan mengokohkan kebijakan. Dalam skala bencana yang besar, anggaran APBD sering kurang memadai. Untuk itu, perlu dibangkitkan jiwa gotong royong untuk menghadapi bencana. Potensi rawan bencana suatu daerah yang telah dideteksi oleh lembaga ilmiah hendaknya diperkuat jiwa gotong royong masyarakatnya untuk membuat prasarana dan prosedur mitigasi dalam menghadapi bencana.

Gotong-royong yang telah digali oleh pendiri Republik Indonesia menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Selain itu, juga pentingnya pemerintah daerah untuk mengonsolidasikan Taruna Siaga Bencana (Tagana).

Tagana adalah suatu organisasi atau gugus tugas berbasis masyarakat yang berorientasi di bidang kesejahteraan sosial untuk menangani penanggulangan bencana. Seorang anggota Tagana harus mendapat pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana berkala oleh Balai Diklat Departemen Sosial berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dan mendapatkan sertifikat.

Berbagai biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan operasional Tagana dibebankan kepada anggaran APBN dan APBD Penanggulangan Bencana, tentu berdasarkan usulan yang disampaikan oleh kecamatan, kabupaten/kota, atau provinsi yang disampaikan secara berjenjang.

Selanjutnya, usulan tersebut disahkan guna mendapatkan penetapan dari Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial atas nama Menteri Sosial. Menguatkan kebijakan daerah hadapi bencana alam selain dengan regulasi, konsolidasi SDM, memompa jiwa gotong royong juga dibutuhkan perangkat teknologi informasi.

Dalam hal ini, teknologi sistem informasi geografis (SIG) yang bisa diakses publik secara mudah sangat berguna untuk membantu antisipasi bencana serta perencanaan yang cepat dalam hal tanggap darurat saat terjadi bencana alam.

Penulis dosen STIA Bagasasi Bandung