Rabu, 16 Desember 2015

"Insentif Tepung Singkong"
Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA *)

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan Surat Edaran agar semua kantor pemerintah wajib menyajikan makanan dari hasil pertanian lokal mulai awal Desember ini. Semisal makanan berbahan dasar singkong.
Kewajiban terhadap instansi pemerintah tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk insentif non fiskal bagi para petani dan pengusaha tepung singkong atau tapioka.
Langkah Menteri PAN-RB diatas sebaiknya juga disertai oleh kementerian terkait lainnya dengan cara pemberian insentif fiskal kepada petani dan pengusaha tepung tapioka lokal agar bisa meningkatkan kapasitas dan memperbarui mesin produksinya.
Insentif berupa fasilitas kredit perbankan dan bantuan teknik produksi memiliki efek yang luas terkait dengan pengurangan tepung gandum impor. Dimasa mendatang singkong dan turunannya harus bisa dikembangkan menjadi produk yang strategis. Yakni untuk swasembada pangan dan pemenuhan energi baru terbarukan.
Keanekaragaman pangan bisa menjadi katup pengaman terjadinya krisis pangan dunia. Kegagalan panen gandum di luar negeri yang mulai mengganggu pasar dunia hendaknya diantisipasi dengan produk substitusi pengganti tepung gandum.
Produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor. Selama ini industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan. Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah.
Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat dengan masalah. Kita harus prihatin menghadapi fakta bahwa negeri ini telah dibanjiri oleh tepung singkong impor. Padahal, menurut kementerian pertanian, Indonesia adalah produsen singkong nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Pemerintah selama ini terlalu menyepelekan komoditas primer yang bernama singkong. Dan belum menggiatkan inovasi teknologi pengolah singkong menjadi produk yang lebih bernilai tambah tinggi.
Hingga kini usaha penepung singkong di negeri ini kurang berkembang dengan baik. Padahal tepung singkong yang berkualitas selalu mengalami pertambahan permintaan. Akibatnya, negeri ini terpaksa mengimpor tepung singkong atau tapioka hingga mencapai 600 ribu ton pada 2012 dan 670 ribu ton pada 2013.
Sungguh ironis bila bangsa ini kurang menyadari bahwa singkong memilki rantai proses yang banyak dan panjang. Yang menghasilkan produk-produk turunan yang memilki nilai tambah tinggi. Produk turunan itu antara lain sebagai makanan (food), pakan ternak (feed), bahan bakar atau kimia (fuel/chemicals) dan sebagai bahan pupuk (fertilizer).
Dengan pemberian insentif maka singkong akan menjadi produk primer dan banyak pihak yang akan melakukan investasi di sektor industri hilirnya. Investasi industri hilir yang berbasis inovasi akan membawa dampak berganda. Revitalisasi industri berbasis singkong sebaiknya menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK yang berhubungan dengan pengolahan lebih lanjut produk primer dan pendalaman industrinya.
Penting meningkatkan volume produksi singkong nasional. Selain itu juga harus ada proyeksi dan klasterisasi industri berbasis singkong. Salah satu negara yang cukup berhasil mengembangkan industri berbasis singkong adalah Thailand. Sekitar 95 % produk singkong negara tersebut diekspor sebagai bahan pakan ternak ke negera-negara di Eropa. Sisanya digunakan sebagai bahan makanan manusia. Sedangkan di Indonesia sekitar 60 % merupakan bahan pangan manusia dan 25 % lainnya digunakan untuk produksi tapioka.
Revitalisasi industri berbahan dasar singkong di negeri ini sebaikya dalam siklus 4F (Food-Feed-Fertilizer-Fuel). Revitalisasi tersebut dalam bentuk mengembangkan budidaya singkong dalam skala perkebunan yang luas. Kalau dilihat dari sisi potensi untuk pengembangan tanaman singkong di Indonesia, seharusnya tidak ada hambatan yang berarti. Bahkan produksi dan mutu singkong bisa ditingkatkan secara drastis sehingga bisa melebihi negara lain. Hal tersebut karena secara agronomi dan geografis sangat memungkinkan.
Sayangnya fakta dilapangan berbicara lain, produktivitas lahan singkong di negeri ini masih rendah karena terkendala kualitas bibit yang masih rendah, cara budidaya yang asal-asalan, dan kelembagaan usaha tani singkong yang belum terbentuk dengan baik. Usaha pertanian masih diusahakan dalam skala kecil, ekstensif, terpencar-pencar, dan tidak berorientasi subsistem. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya penggerakan dan pengembangan industri berbasis singkong.
Dengan kondisi demikian, implementasi revitalisasi sebaiknya berorientasi pada petani dalam kelembagaan gabungan kelompok tani atau Gapoktan. Sehingga bisa mengubah petani dari yang semula produsen semata, lalu bertransformasi menjadi suplier dan sekaligus bisa menjadi farm gate system. Dimasa mendatang Gapoktan diharapkan bisa memiliki unit usaha kolektif skala besar yang meliputi produksi, pengolahan, pemasaran, hingga aspek pembiayaannya.
Penting pengaturan masa tanam dan panen agar suplai bahan baku ke industri tapioka dan bioetanol tersedia cukup secara kontinu. Dengan demikian, petani singkong akan lebih sejahtera dan bangsa ini mempunyai stok pangan yang andal serta solusi energi alternatif yang jitu.
Masalah impor tapioka yang mencapai ratusan ribu ton per tahun disebabkan karena selama ini kluster industri tapioka hanya berpusat di sebagian pulau Jawa dan Lampung. Itupun kondisinya sangat beragam dari skala usaha rumah tangga dengan peralatan sangat sederhana, dan kapasitas hanya puluhan kilogram sampai industri menengah dengan mesin yang cukup modern. Pasokan bahan baku singkong terhadap pabrik tapioka sering fluktuatif dengan mutu yang tidak seragam. Selain belum terjaminnya kesinambungan pasokan bahan baku singkong juga belum tertatanya zonasi pengembangan wilayah produk primer dengan kluster industri.