Jumat, 20 Maret 2009

Masalah Kependudukan di Jabar, bom waktu yang bisa menghancurkan .....


Membenahi Tata Kelola Kependudukan

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Bermacam kegiatan pembangunan selalu membutuhkan dukungan berupa sistem informasi kependudukan yang andal. Agar kegiatan itu tepat sasaran, bernilai tambah serta mengurangi risiko kegagalan. Sayangnya, tata kelola kependudukan di berbagai daerah hingga kini masih amburadul sehingga tidak menguntungkan rakyat dan bisa menyesatkan arah dan strategi pembangunan.

Kondisinya semakin memprihatinkan dengan masih maraknya komersialisasi dokumen kependudukan oleh para calo di tingkat kelurahan hingga kantor dinas. Padahal, pejabat negara sering menyatakan pentingnya pelayanan kependudukan kepada rakyat secara mudah dan gratis. Nyatanya, kondisi di lapangan tidak seindah perkataan pejabat. Rakyat masih merasakan buruknya pelayanan kependudukan. Pembenahan tata kelola kependudukan tidak bisa terlepas dari beberapa aspek, antara lain aspek landasan hukum, kelembagaan dan SDM, penerapan teknologi, registrasi dan aspek pengelolaan data penduduk. Hingga kini beberapa aspek diatas masih bersifat parsial sehingga hasilnya tidak optimal. Seperti misalnya adanya Perda kota Bandung Nomor 22 tahun 2008 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan. Namun, Perda tersebut belum bisa memuaskan rakyat secepatnya karena adanya kepincangan dari aspek-aspek diatas. Terutama kepincangan yang menyangkut infrastruktur sistem informasi kependudukan.
Pentingnya pemerintah daerah membenahi tata kelola kependudukan dalam waktu yang singkat dalam koridor pelayanan elektronik atau SIAK ( Sistem Informasi Administrasi Kependudukan ). Sehingga rakyat bisa segera memetik buah perda kependudukan diatas dalam bentuk konkrit berupa pelayanan, pembuatan dan penyerahan dokumen kependudukan secara cepat dan gratis. Yang meliputi KTP, Kartu Keluaraga, Akta Kelahiran dan Akta Kematian. Selain itu infrastruktur kependudukan atau SIAK sebagai sistem informasi manajemen kependudukan berbasis internet mestinya bisa memberi kesempatan kepada rakyat luas untuk bisa mengakses dokumen kependudukan secara cepat dan mudah. Selama ini boleh dikatakan bahwa birokrasi pemerintah daerah yang dibantu oleh para calo begitu leluasa mengkomersialisasikan dokumen kependudukan. Pungutan liar dan suap dengan berbagai dalih selalu dihadapi oleh rakyat. Ironisnya, pihak birokrat juga sering kalang kabut ketika diminta data kependudukan yang akurat saat terjadi kondisi darurat. Tak bisa dimungkiri, rendahnya tingkat reliabilitas atau keandalan terhadap data kependudukan bisa menyebabkan kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan maupun kekeliruan dalam mengantisipasi gejolak sosial. Tata kelola kependudukan yang baik akan menghasilkan data dasar (baseline data) dan mudah untuk dimutakhirkan secara berkelanjutan dengan pelayanan harian pendaftaran penduduk (pindah alamat, pencatatan biodata, perubahan status kependudukan, permohonan KTP dan Kartu Keluarga, dst) serta dengan pelayanan catatan sipil (kelahiran, perkawinan, kematian, dst). Begitu juga untuk keperluan daftar pemilih pada peristiwa Pilkada atau Pemilu.
Penerapan infrastruktur teknologi untuk mengelola kependudukan hendaknya memenuhi prinsip tepat guna (appropriate), memiliki umur operasi yang panjang dan tidak mudah face out. Selain itu infrastruktur harus efisien alias tidak over investment, mudah dioperasionalkan (user friendly), murah pemeliharaannya, serta dengan support yang selalu tersedia. Dengan demikian aspek material untuk penerbitan dokumen kependudukan, yaitu blangko KTP, Kartu Keluarga, Buku Register/Akta dan Kutipan Akta-akta Catatan Sipil juga bisa lancar dan terjamin kualitas keamanannya dalam mendukung nilai serta keaslian dokumen. Selain itu pentingnya menerapkan security feature bagi dokumen kependudukan untuk mengatasi tantangan masa depan dan terwujudnya NIK Nasional yang unik disertai sidik jari atau photo face recognition (biometrik). Karena bisa saja dokumen kependudukan yang ditemukan menggunakan blangko ber-security sesuai spesifikasi dari pemerintah (asli), namun data informasi yang tertera di dalamnya serta keabsahan penandatangan dokumen ternyata palsu (tidak valid) karena NIK yang tertera tidak valid.
Salah satu contoh yang memprihatinkan akibat buruknya tata kelola kependudukan adalah banyaknya anak-anak yang tidak memiliki akte kelahiran. Padahal, akte kelahiran merupakan hak dasar warga negara. Sangat memilukan hati melihat fakta bahwa baru sekitar 40 persen anak di Indonesia yang sudah memiliki akta kelahiran. Itulah sebabnya UNICEF yang merupakan badan PBB tak jemu-jemunya menyerukan bahwa rendahnya pencatatan kelahiran di Indonesia sangat rawan terhadap perlindungan anak. Padahal pencatatan kelahiran merupakan hak asasi yang sangat fundamental bagi setiap anak. Anak yang lahir tidak tercatat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena anak jadi tidak memiliki identitas nasional. Selain itu membuat anak rawan terhadap penganiayaan, eksploitasi, dan diskriminasi. Negeri ini mestinya malu karena ditempatkan sebagai salah satu negara dari 20 negara dengan cakupan pencatatan kelahiran terendah di dunia. Ironisnya, Perda kota Bandung Nomor 22 tahun 2008 masih seperti barang pajangan saja. Para calo dan birokrat nakal masih menganggap Perda tersebut seperti angin lalu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk membuat secarik Akte Kelahiran di dinas kependudukan kota Bandung para calo masih merajalela. Rakyat masih mengeluarkan biaya yang sangat mahal hingga ratusan ribu rupiah untuk mendapatkan haknya.
Kemajuan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) telah memberikan kemudahan dalam mengelola aspek kependudukan. Berbagai varian kependudukan yang berubah secara cepat bisa diakomodasikan dalam sistem aplikasi yang memiliki tingkat akurasi dan keamanan yang tinggi. Sudah saatnya pemerintah daerah meningkatkan reliabilitas infrastruktur sistem informasi kependudukan. Sehingga setiap saat dalam kondisi apapun data kependudukan bisa diakses dan diperbaharui secara cepat dan cermat. Dalam era konvergensi TIK sekarang ini birokrasi pemerintah daerah seharusnya tidak lagi kalang kabut dalam mengelola penduduk miskin, penyaluran bantuan bencana alam, dana BOS, Askeskin, dan lain-lain. Begitupun saat ada peristiwa penentuan DPT untuk Pemilu atau Pilkada. Beberapa Pemda telah atau sedang merencanakan pengadaan infrastruktur sistem informasi kependudukan. Dalam hal pengadaan itu pihak Pemda hendaknya tidak tertipu atau terkecoh oleh spesifikasi dan unjuk kerja yang diberikan oleh pihak rekanan dan kontraktor. Oleh sebab itu departemen terkait harus secepatnya mengeluarkan petunjuk teknis berupa standarisasi, sistem audit dan ketentuan pengadaan infrastruktur. Sehingga tidak ada lagi praktik mark-up dan tipuan spesifikasi dan performansi aplikasi. Tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa keberhasilan pelayanan kependudukan bagi Pemda tolok ukurnya adalah peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan aspek kependudukan yang mencakup kegiatan menyimpan, mengolah, menemukan kembali dan membuat laporan berbagai jenis data atau informasi mengenai kependudukan secara online.

*) Budayawan,Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
**) Artikel diatas telah dimuat di harian KOMPAS, tgl 20 Maret 2009

Infrastruktur transportasi di Jawa Barat semakin buruk, salah siapa ???


Kecelakaan PO Bus dan Infrastruktur Jalan

Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA
*) Budayawan, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


Petaka kecelakaan PO Bus sering terjadi di daerah Jawa Barat. Setelah PO Kramat Djati terjun bebas ke jurang di daerah Garut, disusul PO Bus Gagak Rimang di daerah Cugenang Kabupaten Cianjur. Petaka itu menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Semua itu merupakan indikasi betapa buruknya sistem keamanan di jalan raya. Operasional perusahaan angkutan darat banyak diwarnai oleh pengemudi yang berkarakter aggresissive driving alias ugal-ugalan. Akibatnya, jalan raya menjadi mesin pembunuh sekaligus pencetak kerugian moril dan materiil yang sangat besar.
Faktor human error diatas diperparah lagi dengan terdegradasinya konstruksi jalan dan minimnya rambu-rambu lalu lintas. Ruas jalan raya dipinggir jurang banyak yang tidak memiliki rambu dan konstruksi pembatas yang layak. Tak bisa dimungkiri, pemerintah pusat dan daerah tidak berdaya, sehingga sering mengabaikan perawatan ruas jalan raya. Padahal pertumbuhan kendaraan di negeri ini mencapai sekitar 10 persen pertahun. Disisi yang lain tingkat kerusakan jaringan jalan nasional semakin bertambah panjang tanpa bisa diatasi oleh pemerintah. Hingga 2008 sebesar 30 persen jaringan jalan nasional dalam kondisi rusak berat. Ironisnya, pemerintah justru lebih banyak berkonsentrasi membangun ruas jalan tol. Akibatnya, jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten menjadi anak tiri yang kondisinya semakin memburuk. Konsentrasi pemerintah yang lebih banyak mencari investor jalan tol mengakibatkan jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten kondisinya semakin terdegradasi. Kerusakan jalan selain mendatangkan petaka juga menyebabkan terganggunya distribusi barang dan waktu tempuh yang lebih lama sehingga biaya transportasi semakin membengkak. Selain itu dibeberapa tempat, rusaknya jalan juga menimbulkan gangguan keamanan pengiriman barang.
Menurut survei Bapennas, ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak yang diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai sekitar Rp 200 triliun per tahun. Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Kimpraswil menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun. Jumlah diatas tidak pernah terpenuhi, sehingga terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kualitas kondisi jaringan jalan nasional. Selain itu tingkat kerusakan jalan akibat kelebihan beban dan sistem perawatan yang tidak memadai menyebabkan rusaknya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut juga akan menyedot biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk ruas jalan yang lain. Sekedar gambaran, bahwa infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Diperkirakan besarnya Road User Cost (RUC) atau biaya pengguna jalan di seluruh jaringan jalan nasional dan provinsi mencapai Rp 1,5 triliun per-hari yang terdiri atas komponen biaya operasi kendaraan dan biaya waktu perjalanan. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi adalah kualitas konstruksi jalan yang rendah akibat korupsi anggaran dan penyimpangan proyek. Selain itu karena faktor pembebanan berlebih dan seringnya terjadi bencana alam.
Dalam tataran psikososial, ruas jalan raya telah menjadi arena pengendaraan agresif. Pengemudi bus, truk hingga sepeda motor telah banyak yang menjelma menjadi komunitas ugal-ugalan yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Menurut data statistik kepolisian, sekitar 84 persen kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh faktor pengemudi. Melihat fakta itu, mestinya karakter pengemudi yang bersifat aggressive driving segera diperbaiki dengan membudayakan cara mengemudi yang benar berdasarkan penguasaan teknis dan sikap mental. Kerugian ekonomi per-tahun akibat kecelakaan jalan mencapai 3 persen dari PNB ( pendapatan nasional bruto ). Mengingat banyaknya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kecelakaan jalan raya, sudah mendesak usaha rekayasa budaya keselamatan jalan (road safety culture). Rekayasa kebudayaan itu diharapkan dapat mempengaruhi seseorang bersikap dan bertindak. Dalam kaitannya dengan sistem keselamatan jalan raya, seseorang yang telah terkondisi dengan budaya disiplin akan bersikap patuh terhadap aturan dan etika di perjalanan. Budaya keselamatan jalan raya sebenarnya sudah cukup lama ada, yakni sejak William Phelps Eno merintis rekayasa keselamatan jalan secara sistematik. Yang disebut dengan Road Safety Management System ( Sistem Manajemen Keselamatan Jalan ). Rintisan itulah yang mengantarkan dia mendapat gelar ”Father of Traffic Safety” atau Bapak Keselamatan Lalu-lintas. Bangsa Indonesia yang katanya sarat dengan budaya santun, toleran, dan hati-hati dalam bertindak, mestinya memiliki derajat yang tinggi dalam budaya keselamatan jalan raya. Nyatanya hal itu belum terwujud. Inilah tantangan nyata budayawan dan pakar sosial di negeri ini.
Negeri ini memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat namun tidak pernah tuntas mengatasi kerusakan infrastruktur jalan untuk berbagai kategori. Hampir semua kategori, dari jalan nasional, provinsi, kabupaten, hingga jalan desa kondisinya semakin terdegradasi. Ironisnya, 2009 telah dinyatakan sebagai warsa infrastruktur. Celakanya lagi, Undang-undang No. 38/2004 tentang Jalan yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk membenahi jalan sesuai dengan semangat otonomi daerah ternyata justru menambah panjang ruas jalan yang rusak. Padahal, setiap tahunnya pemerintah meraup dana yang sangat besar dari pajak kendaraan bermotor (PKB ) dan bea balik nama kendaraan bermotor ( BBNKB ). Rakyat tengah menunggu pemimpin baru yang memiliki komitmen tinggi terhadap sistem keselamatan transportasi dan kualitas ruas jalan raya.

Dicari : PRESIDEN KEBUDAYAAN SUNDA


Pentingnya eksistensi Presiden Kebudayaan Sunda agar nilai-nilai budaya di bumi Parahyangan tidak merana ditelan jaman. Juga perlunya melindungi Budaya Sunda dari penguasa yang bersikap TUNA BUDAYA

Ayo, Bebaskan Budaya Sunda dari Penindasan Struktural !!!


Menyikapi Estetika Jaipongan Secara Arif

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
*) Budayawan, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung


Dalam situasi krisis sekarang ini industri kreatif atau industi budaya mestinya dijadikan katup penyelamat, sumber motifasi dan hiburan segar bagi masyarakat. Ironisnya, komitmen Gubernur Jawa Barat terhadap seni budaya Sunda justru sangat tipis dan tidak arif. Hal itu terlihat dari tindakan Gubernur Ahmad Heryawan baru-baru ini yang mengekang seni tari tradisi Jaipongan. Gubernur menuntut agar busana penari jaipongan tertutup rapat sehingga tidak terlihat pundak dan lehernya. Selain itu, unsur 3G (Goyang,Geol,Gitek ) yang menjadi pesona sekaligus merupakan roh tarian Jaipongan supaya diperhalus. Jika tuntutan Gubernur itu dipenuhi, bisa-bisa roh tarian Jaipongan akan hilang. Sehingga seni tari tradisi itu akan berubah menjadi tarian Pocong. Merubah olah gerak dan menutup rapat busana penari Jaipongan bisa-bisa seperti pocong yang geraknya serba terbatas.
Sebelum memvonis dan mengecam tari pergaulan masyarakat Jawa Barat yang sekaligus menjadi aset Pasundan itu, mestinya Gubernur mencoba dahulu ngibing Jaipongan bersama masyarakat. Lewat ngibing itulah Gubernur bisa melihat dan merasakan estetika Jaipongan sehingga bisa bersikap arif dan toleran terhadap seni budaya. Memahami estetika juga akan menepis sikap paranoid terhadap penari Jaipongan. Penting untuk direnungkan pendapat mengenai estetika yang dirumuskan oleh Clive Bell, bahwa keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang kemudian berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.
Tak bisa dimungkiri, biasanya penari Jaipongan itu rata-rata masih muda dan berparas cantik. Sebagai suatu bentuk performance art, tari Jaipongan menjadikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Jaipongan tampil lebih menggetarkan sukma. Nilai estetis tari Jaipongan akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan baik sehinga muncul ungkapan tari yang memesona. Standarisasi busana dan rias pada tari Jaipongan mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya pertunjukan sehingga tidak perlu dirubah menjadi serba tertutup rapat.
Dari kacamata Etnokoreologi, Jaipongan merupakan disiplin ilmu tari etnis. Yang berbasis pola gerak tari tradisi yang sudah ada sebelumnya seperti Kliningan, Bajidoran dan Ketuk Tilu. Pola gerak seperti bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas sangat mewarnai kreasi Jaipongan selanjutnya. Pada awalnya struktur tari Jaipongan sangat sederhana seperti halnya tari Ketuk Tilu yang merupakan tari pergaulan. Karena kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan. Kreasi Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari Daun Pulus, Keser, Bojong dan Rendeng Bojong yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan.
Mestinya, para pejabat pemerintah daerah Jawa Barat sekarang ini berterima kasih kepada sang kreator yang telah berhasil mentransformasikan seni tari etnik seperti Ketuk Tilu, Ronggeng, Bajidoran, dan lain-lain menjadi versi Jaipongan yang sangat popular dan aplikatif untuk segala usia dan bermacam etnik. Sejak awal delapan puluhan Jaipongan telah menjadi mesin gairah dan pemompa semangat rakyat. Semua kalangan juga bisa mendapat kesempatan dan bisa mereguk kepuasan gerak tari Jaipongan. Selain itu, dari aspek ekonomi banyak orang yang mendapatkan penghasilan dengan adanya pentas Jaipongan. Banyak grup tari yang bermunculan, sinden-penari, para pedagang, bahkan juga banyak pihak lain yang kecipratan rezeki karena pertunjukan Jaipongan. Sungguh ironis dan menyedihkan, pada era sekarang ini Jaipongan justru semakin meredup. Jaipongan semakin teraleniasi dan tertindas di kampung halamannya sendiri.

Kabupaten Bandung Barat Menuju Negeri Harapan yang Makmur Sejahtera


Mewujudkan Bandung Barat Smart Infrastruktur

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Berbagai persoalan yang mendera Kabupaten Bandung Barat sebaiknya diselesaikan dengan solusi teknologi terkini. Solusi itu membutuhkan infrastruktur digital terpadu yang berbentuk smart infrastruktur. Pada prinsipnya Bandung Barat Smart Infrastruktur ( BBSI ) merupakan sistem City Area Network ( CAN ). Yang berbentuk wahana komunikasi terpadu dalam wujud voice, video dan data yang menghubungkan data center dengan berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan fasiltas umum dengan menggunakan peralatan monitoring. Seperti CCTV, sensor polusi, serta peralatan komputer beserta pendukung lainnya. Selain itu BBSI juga mencakup sistem pengelolaan kependudukan, kepegawaian, pendapatan daerah, even olah raga dan business services, baik melalui website maupun melalui kehadiran di pusat layanan satu atap. Infrastruktur yang berupa jaringan itu diharapkan juga mampu menjadi sistem monitoring yang digunakan untuk memantau arus lalu lintas, pusat perdagangan, even olah raga, rumah sakit, cuaca, dan lain-lain.
Untuk mewujudkan BBSI diperlukan inovasi teknologi produk lokal namun berstandar internasional. Dan perlunya pemberian insentif berupa pengurangan pajak bagi perusahaan yang telah mengadakan riset di bidang TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang mendukung terwujudnya BBSI. Untuk digarisbawahi, BBSI yang merupakan prinsip kota cyber harus dirancang sesuai dengan proyeksi dan standarisasi pemerintah pusat. Dimana konsepnya menggambarkan kawasan dengan infrastruktur teknologi informasi yang memadai baik dari sisi konektivitas jaringan terpadu, kapasitas bandwidth, Internet nirkabel dan kabel, infrastruktur serat optik serta sarana pusat riset yang melibatkan perguruan tinggi dan pengusaha swasta. BBSI juga harus mampu mempertemukan penyedia infrastruktur TIK atau aplikasinya dengan para konsumen dari berbagai segmen dan aneka industri. Diharapkan kawasan pemukiman modern Kota Baru Parahyangan bisa menjadi stimulus cyber estate sekaligus embrio bagi perwujudan BBSI. Konsep cyber estate lebih realistis dan menguntungkan karena produsen aplikasi TIK bisa langsung memasarkan atau menguji produknya dalam satu kawasan. Berkaitan dengan aktivitas riset TIK, sebaiknya sejak dini pemerintah Kabupaten Bandung Barat gencar menawarkan lahan kepada perusahaan internasional dan lokal untuk membangun pusat risetnya.
Tak bisa dimungkiri bahwa penduduk Kabupaten Bandung Barat yang berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa yang tersebar di 15 Kecamatan membutuhkan sistem pengelolaan data kependudukan dan potensi daerah dengan tingkat reliabilitas atau keandalan yang tinggi. Hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan maupun kekeliruan dalam mengantisipasi masalah sosial-ekonomi. Betapa pentingnya meningkatkan reliabilitas data kependudukan. Sehingga setiap saat dalam kondisi apapun data tersebut bisa diakses dan diperbaharui secara cepat dan cermat. Sehingga tercipta efektifitas pelayanan data kependudukan beserta derivatifnya secara optimal. Aspek TIK bisa memperbaiki berbagai praktik pelayanan publik dalam kondisi normal maupun darurat. Selain itu berbagai potensi di 15 Kecamatan yang sangat beragam bisa diintegrasikan dengan sebuah sistem yang berbasis internet yang lazim disebut e-Government (e-Gov). Dengan sistem itu milestone proses pengelolaan wilayah dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Yang tidak boleh dilupakan bahwa BBSI juga memiliki fungsi yang penting untuk menunjang operasionalisasi Sarana Olah Raga ( SOR ) bertaraf dunia untuk penyelenggaraan even olah raga regional, nasional, bahkan internasional. Hal itu karena daerah ini memiliki fasilitas infrastruktur pengairan yang sangat memadai, yang berhubungan dengan olah raga air seperti: wind surfing, dayung, ski air dan lain-lain. Keberadaan infrastruktur pengairan dalam bentuk waduk atau bendungan itu juga terkait erat dengan kegiatan rekreasi saat pasca pesta olah raga dan menjadi salah satu daya tarik untuk pertumbuhan ekonomi. Berbagai kajian juga telah merekomendasikan bahwa lokasi SOR terpadu propinsi Jabar yang berkaitan dengan jenis oleh raga air, gunung dan sejenisnya sebaiknya berada di Kabupaten Bandung Barat.