Selasa, 29 April 2008

KRISIS INFRASTRUKTUR DI TATAR PASUNDAN




Menuntaskan TJS Memacu Nilai Tambah

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA



"Kawasan pantai selatan Provinsi Jawa Barat yang menyimpan mega potensial
membutuhkan proses nilai tambah dalam waktu yang cepat. Potensi sumber daya dan
pesona alam yang eksotik harus segera dieksplorasi berbarengan dengan proses
konservasi lingkungan dan ketahanan sosial untuk mengantisipasi bencana."


Elemen mega potensial di kawasan pantai selatan Jabar yang meliputi pertambangan, perikanan, agroindustri, pariwisata, dan konservasi lingkungan jangan dibiarkan terbujur kaku. Proses nilai tambah harus segera dipacu dengan terlebih dahulu menuntaskan pembangunan Trans Jabar Selatan (TJS). Visi dan Misi Provinsi Jawa Barat bisa layu sebelum berkembang jika TJS tidak segera dituntaskan. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa penuntasan TJS lalu menumbuhkan sinergi ekonomi dan meneguhkan konservasi alam di kawasan pantai selatan merupakan kehendak kuat rakyat Jabar. Untuk itu, harus segera diimplementasikan dengan segenap daya. Jika, visi kolonial Belanda saja, diwaktu yang lampau mampu menghasilkan infrastruktur transportasi, perkebunan, dan bangunan vital, kenapa sekarang ini sepertinya kurang darah dan buntu inovasi dalam mendobrak keterbelakangan kawasan selatan Jabar. Untuk itulah pentingnya pemimpin daerah yang progresif dan visioner dalam merancang masa depan kawasan selatan Jabar. Sudah banyak kajian dan wacana yang menyatakan berbagai potensi terpendam disepanjang poros pantai selatan. Namun, akselerasi dan konkritisasi program nyata masih jauh dari harapan. Nyatanya, kawasan Provinsi Jawa Barat bagian selatan masih saja terisolasi dan miskin infrastruktur pembangunan.

Eksotisme Minus Branding
Pesona alam pantai selatan Jabar yang sangat eksotik ternyata belum dikemas secara ideal dalam konteks industri pariwisata kontemporer. Bahkan, tahapan branding juga belum dilakukan guna mencitrakan luar biasanya gatra wisata yang membentang dari Pelabuhan Ratu hingga Pangandaran. Untuk itulah pentingnya menyusun portofolio paket wisata dalam satu kesatuan Tagline (slogan) lalu dipasarkan secara progresif di pasar domestik maupun manca negara. Hal itu dimaksudkan agar tagline yang hendak menjadi branding pariwisata pantai selatan Jabar itu bersumber dari potensi tradisional dengan sentuhan paket wisata modern. Eksotisme pantai selatan Jabar sebenarnya sudah mendapatkan promosi secara paripurna ketika Presiden RI yang pertama Bung Karno mencetuskan proyek pembangunan Samudra Beach Hotel. Selain itu Bung Karno juga mendirikan tempat untuk tetirah Kepresidenan yakni berupa Pesanggrahan Pelabuhan Ratu. Arsitektur Pesanggrahan dirancang oleh F.Silaban dan RM. Soedarsono. Bangunan tersebut terletak di tengah garis cakrawala yang sangat fantastis karena berada di pusat lengkungan Teluk Pelabuhan Ratu. Memiliki varian pantai yang curam dan landai dengan “sayap” kiri perbukitan Cibareno dan “sayap” kanan perbukitan Jampang Kulon. Pesanggrahan yang sangat eksotik dan sarat nilai mistifikasi itu merupakan salah satu ikon pariwisata yang turut menjadi magnet bagi investor dari luar. Untuk lebih menggairahkan potensi pariwisata di sepanjang pantai selatan Jabar diperlukan task force untuk melakukan sinergi dan koneksitas antara obyek wisata yang berada di sekitar Bandung ke arah pantai Rancabuaya Cidaun dengan melewati Obyek wisata disekitar Ciwidey. Untuk itu pentingnya berbagai promosi advanture, seperti bike advanture dan lain-lainya yang melintasi hamparan perkebunan teh Rancabali yang selalu berselimutkan kabut putih.
Kendala Pembiayaan
Proyek TJS telah melewati beberapa kali periode pemerintahan. Namun, masih belum tuntas juga. Padahal, proyek tersebut sudah dicanangkan akan menjadi salah satu ikon visi dan misi Jabar tahun 2010. Kurang berdayanya Provinsi Jabar selama ini disebabkan oleh adanya keterbatasan anggaran. Namun, alasan tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan mencari terobosan skema pembiayaan yang lain. Selain itu di lapangan juga terkendala kondisi geografis. Yang mana merupakan zona perbukitan yang mekanika tanahnya labil. Beberapa zona juga terdapat kawasan rawan pergerakan tanah, sehingga acapkali terjadi bencana tanah longsor. Kendala yang terberat adalah kontur sungai Cilaki yang bentangannya sangat lebar. Namun, alasan kendala alam diatas dengan kemajuan civil engineering sekarang ini relatif mudah diatasi. Macetnya pembangunan TJS menjadi preseden buruk sekaligus menjadi potret buram otonomi daerah. Macetnya penyelesaian proyek TJS yang panjangnya sekitar 418 Km juga akan menjadi catatan sejarah kelam. Karena, jika kita mau menengok lembaran sejarah dimasa silam akan kita temukan kehebatan Gubernur Jenderal kolonial Belanda yang bernama Daendels. Karena dia bisa menyelesaikan pembangunan Grote Postweg atau jalan raya pos sepanjang lebih kurang 1.000 Km dalam waktu singkat. Yakni kurang dari tiga tahun ( th 1809 -1811 ). Dengan mutu yang bagus karena konstruksinya setara dengan kondisi jalan poros Amsterdam - Paris pada masa itu. Berbagai kesulitan, baik itu secara teknis maupun secara finansial semakin membelit proyek TJS yang membentang mulai dari perbatasan Banten hingga batas Jawa Tengah. Pembangunan ruas jalan yang akan menghubungkan wilayah lima Kabupaten tersebut yakni Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis itu pernah dipacu pembangunannya oleh pemerintah pusat pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Waktu itu dicanangkan percepatan Poyek TJS sehingga targetnya akan tuntas pada akhir tahun 2006.
Pentingnya aksi pemerintah daerah untuk segera melakukan koordinasi lintas departemen, serta pentingnya membuat over-view atau inventarisasi persoalan secara mendetail guna menuntaskan pembangunan TJS. Apalagi dalam lingkup pembangunan nasional poyek TJS merupakan bagian integral pembangunan jalur pulau Jawa bagian selatan. Sehingga proyek tersebut akan terpadu dengan pembangunan di tiga provinsi lainnya, yakni Provinsi Banten, Jawa tengah dan Jawa timur. Sebagai catatan, jalur selatan di Provinsi Jateng dan Jatim jauh lebih cepat terbangun dan sudah menjadi prasarana yang sangat signifikan untuk pertumbuhan ekonomi di sana. Hingga akhir tahun 2006, ruas TJS belum tembus karena masih ada 14 buah jembatan di dalamnya yang harus dibangun atau diperbaiki. Pada tahun 2003 dengan dana sekitar Rp 16,6 Miliar, sudah dilakukan pekerjaan pembuatan jalan sepanjang 23,5 km. Termasuk pembuatan abutment 4 buah jembatan pada ruas Cidaun-Rancabuaya-Cijayana. Untuk mewujudkan percepatan TJS hingga tahun 2006 sebenarnya dibutuhkan dana sekitar Rp 212 Miliar. Dana itu berasal dari APBN dan APBD dari masing-masing daerah yang dilalui ruas jalan tersebut. Namun, pada kenyataannya kebutuhan dana tersebut tersendat-sendat. Diperparah lagi dengan sulitnya pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam hal pendanaan. Akibatnya, ruas-ruas jalan dan jembatan yang telah terbangun kondisinya menjadi rusak kembali. Apalagi dengan pengawasan yang kurang ketat, maka mutu konstruksi ruas jalan dan jembatan terlihat kurang memenuhi standar.


*)Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat


**) Artikel diatas pernah dimuat di Harian KOMPAS

KRISIS INFRASTRUKTUR DI TATAR PASUNDAN



SOR Gedebage dan Askensianisme

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Mestinya Provinsi Jawa Barat sudah memiliki Sarana Olah Raga (SOR) yang megah dan modern berskala internasional yang terintegrasi dalam suatu kawasan yang luas. Bertahun-tahun SOR tersebut hanya menjadi impian, sementara Provinsi lain mampu merealisasikan dalam waktu singkat. Tersendat-sendatnya pembangunan SOR Gedebage merupakan pukulan psikologis bagi warga Jabar.
Konsep pembangunan SOR Gedebage seharusnya jangan sampai mengalami degradasi atau penyusutan prasarana. Rencana SOR bertaraf dunia yang terdiri dari berbagai jenis sarana olah raga hendaknya jangan melorot hanya menjadi stadion untuk Persib saja. SOR Gedebage mestinya tidak hanya menjadi proyek Pemkot Bandung saja, tetapi merupakan prestise dan hajat segenap warga Jabar. Sehingga faktor utilitas dan kemegahan SOR Gedebage harus benar-benar diperhatikan kelas dan mutunya. Persoalan klasik yang menyangkut alokasi dana sebetulnya bisa diatasi dengan cara efisiensi anggaran belanja birokrasi dan sumber pembiayaan lainnya. Kalau perlu dilakukan penggalian dana secara masal dengan cara memotifasi segenap rakyat Jabar untuk mau bergotong-royong menyumbang dana pembangunan SOR. Seandainya, setengah dari jumlah penduduk Jabar bersedia menyumbangkan “dua bungkus rokok” saja, maka kebutuhan dana pembangunan SOR itu akan tertutup dalam waktu yang singkat. Belum lagi jika pemerintah daerah kreatif dalam penggalian dana yang disertai dengan akuntabiltas yang baik.
Pendorong Kemajuan
Dengan mengembangkan Olah Raga, maka energi kolektif warga Jabar yang semakin melemah bisa ditingkatkan. Pengembangan Olah Raga tanpa pembangunan SOR merupakan hal yang mustahil. Betapa malunya kita semua melihat kondisi SOR di kota Bandung banyak yang telah usang. Karena SOR itu dibangun 46 tahun yang lalu. Seperti halnya SOR Saparua yang pernah menjadi saksi bisu ketika Jabar menjadi Juara umum PON tahun 1961. Bila nantinya SOR Gedebage terwujud dan utilitasnya benar-benar bertaraf internasional maka eksistensinya bisa menjadi pendorong kemajuan Jabar. Energi kolektif suatu negeri akan mengkerucut kepada semangat keunggulan atau kejayaan, yang biasa disebut dengan istilah Ascensionism ( Askensianisme ). Istilah diatas berasal dari kosa kata Ascentia Recta, yakni sebuah nama bintang besar di alam semesta. Askensianisme merupakan faktor yang sangat hebat untuk mewujudkan kemajuan sekaligus membangun karakter. Maskot dan faham Askensianisme pernah melekat pada sosok Bung Karno yang tergambar dengan gagasan dan pulasannya terhadap Ibu Kota negara. Terlihat dengan berbagai monumen, Mesjid Istiglal, Gelora Olah Raga Senayan dan lainnya. Semuanya merupakan daya usaha Bung Karno dalam memberikan “baju budaya” untuk membangun national character building.
Kondisi usang SOR di Jabar harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah dan DPRD. Pentingnya pengembangan Olah Raga sebagai langkah strategis untuk menggapai kemajuan. Betapa ironisnya, hingga saat ini Jabar belum mampu membangun SOR modern berskala internasional yang memadai untuk menggelar event Olah Raga nasional maupun internasional. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi SOR yang ada saat inipun mengalami alih fungsi. Lapangan lebih sering digunakan untuk kegiatan non Olah Raga, seperti pentas musik, acara sosial, politik dan keagamaan. Kurang progresifnya Provinsi Jabar untuk membangun SOR sangat menyesakkan dada bagi mereka yang menerjuni profesi Olah Raga. Padahal percaturan global pada saat ini menyatakan bahwa Olah Raga telah menjadi sarana strategis untuk menciptakan daya saing. Hal itu sangat terasa ketika penulis baru-baru ini mengunjungi empat kota di RRC, yakni Beijing, Huangzhou, Shanghai, dan Huangshan. Bagi bangsa RRC, Olah Raga merupakan mesin pendorong yang hebat bagi perkembangan sosial dan budaya. Dalam konteks itu, Mao Zedong telah meletakkan dasar kebijakan bagi pembangunan Olah Raga RRC sejak 50 tahun yang silam. Buah dari kebijakan diatas terlihat pada saat ini ketika kota Beijing akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2008 mendatang. Sebetulnya milestones RRC untuk menggerakkan Olah Raga pernah juga ditempuh oleh Bung Karno. Pada awal tahun enam-puluhan Bung Karno telah menetapkan Olah Raga sebagai bagian dari platform revolusi dan dalam rangka character and national building. Dengan kebijakan tersebut, maka Olah Raga Indonesia menunjukkan prestasi yang gilang gemilang. Terbukti pada tahun 1962 Indonesia mampu menjadi tuan rumah pesta Olah Raga terbesar di benua Asia, Asian Games. Selain sukses sebagai tuan rumah, juga sukses dalam prestasi, yakni berhasil menduduki peringkat ke dua setelah Jepang. Dalam konteks diatas, PON 1961 di Bandung harus diakui sebagai pilar keberhasilan Indonesia dalam Asian Games 1962.
Membenahi Budaya Organisasi
Keberadaan SOR Gedebage juga harus diikuti oleh pembenahan budaya organisasi dari cabang-cabang Olah Raga. Sejak PON yang pertama atau PON “Perjuangan” sebenarnya setiap cabang olah raga telah memiliki budaya organisasi yang kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama untuk mendapatkan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun, pada saat ini budaya organisasi banyak yang terkoyak-koyak oleh penyakit struktural. Hingga jatuhnya modal sosial dan hilangnya “kecerdasan” organisasi. Tanpa dilandasi budaya organisasi dan pengelolaan yang berbasis Management By Obyectives atau manajemen berdasarkan sasaran ( MBS ) pengembangan Olah Raga akan gagal. Dalam konsep MBS setiap jabatan kepengurusan hendaknya menetapkan tujuan-tujuan yang spesifik yang harus dicapai pada masa datang serta mempertahankan vitalitas dan kreativitas organisasi yang berbasis disiplin yang tinggi. Entry point dari sistem MBS adalah menggariskan adanya Key Results Area (KRA) atau bidang tanggung jawab utama yang ditetapkan terhadap segenap pengurus, baik terhadap Ketua, Sekretaris, hingga struktur dibawahnya. Konsep KRA sangat membantu kepengurusan cabang olah raga untuk menentukan pada bagian mana dari pekerjaannya, ia harus menanamkan waktu, energi, dan bakatnya. Lebih dari itu KRA pengurus cabang Olah Raga pada akhirnya harus menjadi faktor-faktor yang dapat diukur lewat sebuah indikator yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik.
Betapa pentingnya figur dan reputasi seorang pengurus organisasi cabang Olah Raga. Sangat relevan dengan pendapat pakar manajemen Peter Drucker yang mendefinisikan bahwa sebuah organisasi pada saat ini lebih membutuhkan leader ketimbang manager. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa “Leaders finds the right things to “. Sedangkan manager adalah mereka yang “try to do things right”. Korelasinya terhadap organisasi Olah Raga di tanah air sekarang, bahwa organisasi pada saat ini lebih banyak memiliki pengurus yang bertipe manager tetapi jarang memiliki leader yang mampu memusatkan perhatian pada aspek efektifitas. Jelaslah sudah, yang dibutuhkan oleh organisasi cabang Olah Raga adalah leader atau pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan tangguh.

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di harian KOMPAS

Jawa Barat Pasca PILKADA 2008



New Deal Bangkitkan Energi Kolektif

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *]

Pasca Pilkada jangan biarkan rakyat menelan janji-janji palsu. Siapapun Gubernur dan Wagub Jawa Barat terpilih hendaknya tidak menepuk dada karena 1001 rintangan telah menghadang. Mereka harus sadar bahwa dirinya bukanlah Gubernur partai melainkan seluruh warga. Euforia kemenangan dari parpol pemenang Pilkada bisa menjadi bumerang. Karena rakyat menuntut perbaikan secara cepat padahal sumber daya semakin sempit dan persaingan dunia yang semakin sengit. Faktor pemimpin berusia muda tidak ada artinya jika pemikirannya usang ketinggalan jaman. Pemimpin muda baru dikatakan hebat jika langkahnya berani vivere pericoloso, gandrung kebhinekaan dan ide atau inovasinya melesat jauh kedepan seperti Sergey Brin dan Larry Page sang belia pendiri Google.
Penting untuk dicatat, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kondisi Jawa Barat sarat dengan berbagai krisis. Dari krisis infrastruktur, daya beli, kinerja birokrasi hingga krisis budaya yang berupa memudarnya energi kolektif warga Jabar. Energi kolektif itu berupa modal sosial untuk mengatasi masalah secara bersama-sama atau biasa disebut gotong royong. Pentingnya Gubernur dan Wagub terpilih membuat semacam New Deal ( tawaran baru ) yang lebih konkrit, realistis dan egaliter kepada rakyat untuk membangkitkan energi kolektif. New Deal bukanlah pernyataan politik murahan yang mudah hilang tertiup angin. Tetapi merupakan langkah terobosan yang brilian guna mengatasi krisis dan secara terus menerus dikomunikasikan dengan seluruh rakyat. Sejarah telah mengisahkan bagaimana New Deal yang digagas Presiden Franklin Delano Roosevelt bisa mengatasi The Great Depression yang melanda bangsa Amerika Serikat pada dekade 1930-an. Langkah Roosevelt sangat hebat untuk mengatasi ledakan pengangguran dengan berbagai program pembangunan infrastruktur baru. Seperti Civilian Conservation Corps, Civil Work Administration, dan Work Progress Administration (WPA). Dengan itu puluhan juta orang yang sebelumnya menganggur dipekerjakan untuk pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, lapangan terbang, sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan sebagainya. Hasil New Deal dari Roosevelt dibidang infrastruktur tercatat dalam tinta emas. Lima ratus ribu mil jalan raya berhasil dibangun. Selain itu, 100.000 jembatan di seluruh Amerika berhasil dibuat, termasuk jembatan Golden Gate. Juga, 110.000 gedung publik, 600 pelabuhan udara kategori besar dan kecil, dan masih banyak lagi jenis infrastruktur yang terbangun. lainnya. Salah satu program terbesar dalam New Deal adalah Tennessee Valley Authority (TVA) yakni program untuk merehabilitasi kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan. Untuk menjalankan New Deal Roosevelt selalu berkomunikasi secara intens dan terus menerus kepada rakyatnya melalui forum interaktif yang disebut Fireside Chat atau obrolan santai di samping perapian. Forum itu berupa obrolan radio yang ia gunakan untuk menjelaskan apa saja yang telah dan akan dilakukan pemerintahannya. Dengan forum itu dia bisa memompa semangat dan berbicara dari hati ke hati dengan rakyatnya.
Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa krisis infrastruktur semakin mendera warga Jawa Barat sekarang ini. Kerusakan infrastruktur kategori besar, menengah dan kecil terjadi hampir di seluruh wilayah dan sangat lambat untuk ditangani. Begitu pula dengan rencana pembangunan infrastruktur skala besar seperti bandara dan pelabuhan internasional, jalan tol, pengairan, perindustrian hingga fasilitas olah raga semuanya semakin sulit diwujudkan. Padahal, menurut Bank Dunia pembangunan infrastruktur di suatu wilayah sangat berarti untuk mengatasi krisis. Kalkulasi menyatakan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara berkisar antara 0,07 sampai dengan 0,44. Dalam arti dengan kenaikan satu persen saja ketersediaan infrastruktur akan mengatrol pertumbuhan PDB sebesar 7 hingga 44 persen. Itu merupakan besaran yang sangat berarti. Pembangunan infrastruktur berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara makro atau mikro dari suatu wilayah. Akselerasi pembangunan infrastruktur di provinsi Jawa Barat hingga saat ini masih menyedihkan. Belum ada strategi yang unggul untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Padahal strategi itu diperlukan untuk mengatasi berbagai rintangan investasi serta menyajikan berbagai insentif. Untuk mengeksekusi strategi dan mengatasi rintangan mestinya pemimpin Jawa Barat merujuk kepada teori Blue Ocean Strategy ( Strategi Samudera Biru ) yang merupakan mahzab dunia untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing dan membuat kompetitor menjadi tidak relevan. Strategi itu bisa dijalankan asalkan rintangan kognitif, sumber daya, motivasi dan politik harus diatasi terlebih dahulu.
Untuk mengatasi rintangan kognitif yang berupa rendahnya kinerja birokrasi perlu ditekankan aspek CRM (Customer Relationship Management ). CRM dalam lingkup pemerintahan pada prinsipnya merupakan piranti yang digunakan untuk mendorong dan memperkuat proses penjualan dan pelayanan. Namun, penerapannya di perusahaan swasta jauh lebih maju ketimbang di kalangan birokrasi pemerintahan di Indonesia. CRM merupakan bahasa universal dalam aspek pelayanan, sehingga suatu perusahaan bisa berjaya dimanapun dimuka bumi ini. Seperti halnya perusahaan asuransi Amerika bernama AFLAC yang berhasil merekayasa budaya dan CRM sehingga menjadi perusahaan multinasional Amerika yang pasar terbesarnya justru berada di Jepang dengan asset sekitar 3,6 triliun Yen. Selain aspek CRM, strategi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur diperlukan metode balanced scorecard dalam sistem manajemen strategis pemerintah daerah. Hal itu untuk memperluas perspektif dan mengaitkan berbagai sasaran secara koheren serta mengukur kinerja secara kuantitatif. Balanced scorecard yang dikembangkan Kaplan dan Norton sangat tepat untuk mengukur setiap aktivitas yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau lembaga pemerintah dalam upaya merealisasikan visi dan misinya. Juga merupakan cara yang ampuh untuk merubah strategi menjadi tindakan, menjadikan strategi sebagai pusat organisasi, mendorong terjadinya komunikasi yang lebih baik, meningkatkan mutu pengambilan keputusan dan mengubah budaya kerja. Metode tersebut juga menyajikan indikator outcome dan output yang jelas, indikator internal dan eksternal, indikator keuangan dan non-keuangan, serta indikator sebab dan akibat. Hampir seluruh negara bagian dan distrik di Amerika Serikat pada saat ini telah menggunakan metode balanced scorecard sebagai sistem manajemen strategis yang dapat mencapai visi dan misinya secara efektif. Metode itu juga memberikan prosedur bagaimana tujuan organisasi dirinci ke dalam sasaran-sasaran dalam berbagai perspektif secara detail disertai ukuran yang jelas. Sehingga memungkinkan semua unit dalam organisasi memberikan kontribusi secara terukur pada pelaksanan strategi organisasi. Gaya manajemen Gubernur dan Wagub terpilih hasil Pilkada Jabar 2008 hendaknya menerapkan balanced scorecard secara komprehensif. Sehingga tugas pengawasan dan legislasi yang dilakukan oleh pihak DPRD juga semakin mudah dan optimal. (*)

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat