Jumat, 19 Oktober 2012

Mencetak Entrepreneur Baru

 
Dimuat pada Daily Investor. Rabu. 17 Oktober 2012  

 Pada saat ini perguruan tinggi boleh dikatakan sebagai produsen pengangguran intelektual. Untuk mengatasinya dibutuhkan skema kredit mahasiswa. Biaya kuliah seorang mahasiswa pada saat ini cukup memberatkan orang tua. Pentingnya skema kredit mahasiswa untuk biaya kuliah seperti uang masuk perguruan tinggi, SPP tiap semester, dan biaya hidup sehari-hari bagi mahasiswa. Nantinya, yang akan melunasi kredit tersebut adalah si mahasiswa itu sendiri setelah bekerja. Kemudian untuk mencetak young entrepreneurs alias pengusaha muda dibutuhkan juga skema kredit mahasiswa untuk usaha.
       Kredit mahasiswa di negeri ini memiliki arti yang strategis, karena akan membentuk sejak dini lapisan entrepreneur yang mampu berbisnis secara sehat. Alangkah baiknya kita menengok kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat yang mengalokasikan dana hingga 300 miliar US dolar kepada pemegang surat berharga yang ditopang dengan berbagai jenis pinjaman, termasuk kredit mahasiswa. Kebijakan bank sentral tersebut telah membantu para mahasiswa, sehingga mereka bisa menyelesaikan kuliah dengan baik lalu menjadi pengusaha yang tangguh.
     Skema pembiayaan pendidikan dengan cara komersial, termasuk peluang perguruan tinggi untuk menerbitkan surat obligasi guna menutup biaya operasional, pengembangan infrastruktur, hingga pemberian bea-siswa dan skema kredit mahasiswa telah menjadi agenda penting di negara maju. Bahkan publik di Amerika Serikat menilai bahwa risiko obligasi terbitan perguruan tinggi terbilang kecil. Sukses perguruan tinggi di Amerika dalam meraup dana obligasi diperlihatkan oleh Princeton University, Cornell University , University of Notre Dame, dan lain-lainnya. Princeton telah sukses melepas obligasi senilai 1 miliar dollar US.
Di Indonesia sudah banyak usulan bahwa ijazah yang berhasil diraih mahasiswa mestinya bisa menjadi jaminan untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, hal tersebut mekanismenya masih belum berjalan secara baik. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit dan waktu pelaksanaannya masih angin-anginan. Pihak perbankan di negeri ini juga masih belum serius dalam mengucurkan pinjaman untuk pembayaran uang kuliah per semester. Ada bank yang telah mengucurkan, tapi sayang waktu pengucuran sangat mepet dan prosedurnya masih bertele-tele serta belum sinkron dengan kalender akademis.
Setiap tahun pengangguran intelektual di Indonesia meningkat 20 persen. Masalah itu diperparah lagi dengan rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kompetensi utama para sarjana. Indonesia setiap tahun mencetak sekitar 300 ribu sarjana dari  2.900 perguruan tinggi negeri dan swasta. Ironisnya, pemerintah belum memiliki program yang tepat guna mengatasi kondisi diatas. Padahal, pakar ekonomi David Mike Dallen menyatakan bahwa suatu negara akan menjadi makmur bila jumlah pengusaha sedikitnya dua persen dari jumlah penduduknya. Dalam konteks tersebut lulusan perguruan tinggi sebetulnya merupakan segmen yang sangat ideal untuk diarahkan menjadi pengusaha. Sebagai gambaran, jumlah pengusaha di Singapura telah mencapai 7,2 persen. Sedangkan negara kita, menurut hasil riset pada 2010 baru mencapai angka 0,19 persen. Dengan demikian untuk mencapai negara yang makmur, perlu meningkatkan sepuluh kali lipat atau mencetak sekitar 5 juta pengusaha lagi.
Pemerintah semestinya bertindak cepat mengatasi pengangguran intelektual yang bisa memperpuruk daya saing bangsa. Diperlukan kerjasama antara perguruan tinggi, lembaga keuangan dan pengusaha agar bekerja sama untuk mengembangkan semacam young entrepreneurs society disetiap perguruan tinggi. Pada saat ini berlaku prinsip ekonomi yang berbasis pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Dalam konteks diatas ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara praktis. Apalagi tren teknologi informasi dan komunikasi diwarnai dengan optimasi penggunaan teknologi cloud computing. Teknologi tersebut secara optimal dapat menumbuhkan digitalpreneur di daerah-daerah. Karena berbagai produk dan jasa yang dimiliki oleh daerah bisa dipasarkan secara global dengan metoda yang murah dan efektif. Selain itu manfaat pasti teknologi cloud computing bagi entitas industri di daerah adalah sebagai Enterprise Application Integration (EAI) framework dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan integrasi aplikasi pada industri proses.
Di Amerika  Serikat hampir seluruh perguruan tinggi mempunyai suatu program khusus dalam mempelajari bidang kewirausahaan sehingga melahirkan pengusaha muda yang tangguh. Pada prinsipnya program khusus itu mengidentifikasi dan mempersiapkan potensi civitas akademika sebagai entrepreneurs. Juga mempersiapkan pembuatan business plan untuk usaha baru serta  perilaku pengambilan resiko (risk taking behavior). Menurut data statistik 30 persen dari semua wirausahawan di Amerika Serikat berusia sekitar 30 tahun atau dikategorikan sebagai kaum muda. Tak pelak lagi, peran perguruan tinggi sangat siginifikan untuk mengarahkan mahasiswa menjadi wirausahawan. Pendidikan wirausaha di Amerika digalakkan sekitar tahun enam puluhan.
Pada era ekonomi kreatif sekarang ini langkah  yang tepat untuk menstimulir lahirnya pengusaha muda atara lain adalah dengan memperbanyak workshop usaha dan ruang kreativitas disekitar kampus perguruan tinggi. Workshop dan ruang kreativitas tersebut akan memperbaiki daya inovasi para mahasiswa. Yang pada gilirannya akan melahirkan jenis-jenis usaha baru. Workshop memiliki nilai yang lebih strategis jika terkait dengan produk lokal yang tengah ditingkatkan standarnya. Metode pendidikan wirausaha sangat bervariasi dan tidak mudah dibakukan karena menyangkut aspek kreativitas. Sehingga tidak ada satu metode yang cocok untuk semuanya. Namun demikian pendidikan wirausaha di perguruan tinggi sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi dengan bidang studi yang bersangkutan. Entrepreneurship sebagai instrumen pendidikan sebaiknya mempertimbangkan dan direncanakan secara berbeda tergantung pada tujuan dan kompetensi mahasiswa. (*)