Senin, 26 Maret 2012

Pendidikan Nonformal dan Gerakan Antipengangguran

Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor. Sabtu, 3 Maret 2012 | 19:22

Maraknya tindak kekerasan di masyarakat merupakan indikasi adanya frustrasi sosial. Hal itu terjadi karena beberapa faktor yang saling memengaruhi, antara lain kemiskinan struktural, bertambahnya jumlah pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan sistem pendidikan.

Salah satu langkah untuk mengurangi frustrasi sosial adalah dengan penyelenggaraan pendidikan nonformal bagi generasi muda berpendidikan rendah. Penyelenggaraan pendidikan nonformal itu harus terkait dengan lapangan kerja dengan prinsip link and match dengan potensi sumber daya lokal.

Mestinya kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) yang meluncurkan Gerakan Penanggulangan Pengangguran (GPP) jangan sebatas program eksesif dan politis yang hanya membagi-bagikan uang ala sinterklas. Program GPP yang selama ini dilakukan pemerintah terlihat kurang sistemik sehingga dampaknya kurang meluas.

Tak bisa dimungkiri, gerakan antipengangguran yang dilakukan oleh Kemnakertrans baru sebatas acara seremonial bagi-bagi uang berupa dana dekonsentrasi bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian serta dana tugas perbantuan. Mestinya dana dekonsentrasi bidang ketenagakerjaan itu penggunaannya dilandasi oleh kondisi aktual di masyarakat.

Dimulai Krisis Pendidikan
Gerakan antipengangguran mestinya dilandasi oleh kondisi objektif dan kualifikasi para pengangguran sekarang ini. Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di negeri ini yang paling kritis dan kompleks persoalannya adalah para lulusan SLTA, SLTP hingga tidak tamat SD. Mereka itu belum mendapatkan skema dan program ketenagakerjaan yang layak. Nasib mereka terabaikan oleh negara dan dibiarkan begitu saja mengais rejeki sedapat-dapatnya.

Mestinya gerakan antipengangguran diawali dengan reinventing pendidikan nonformal yang bermuatan produktivitas dan kreativitas sesuai dengan kemajuan zaman. Reinventing dalam arti menemukan kembali arti penting pendidikan nonformal sesuai dengan semangat dan kemajuan zaman akan bisa memberikan bekal praktis bagi para penganggur.

Sayangnya, pendidikan nonformal yang diselenggarakan pada saat ini terlihat asal-asalan dengan muatan atau content yang sudah usang. Organisasi pendidikan nonformal di tingkat kecamatan yang disebut pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan di tingkat kabupaten/kota yang disebut sanggar kegiatan belajar (SKB) tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Sialnya lagi, organisasi di atas terbelenggu oleh penyakit birokrasi yang kronis. Melihat kondisi di atas pentingnya sinergi antara Kemnakertrans dengan Kemdikbud untuk reinventing pendidikan nonformal di negeri ini.

Semua pihak harus sadar bahwa akar dari masalah pengangguran itu karena adanya krisis pendidikan. Ada baiknya kita menengok sejarah dunia, di mana pada 1967 di Williamburg, Virginia AS diselenggarakan konferensi internasional tentang “Krisis Kependidikan Dunia”. Inisiatif itu datang dari mantan guru sekolah dasar yang nantinya berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat, yakni Lyndon B Johnson. Pelaksanaan konferensi diorganisasi oleh James A Perkin, Rektor Universitas Cornell.

Berdasarkan kertas kerja dari konferensi yang diikuti oleh 150 pemimpin negara maju maupun berkembang itu diambil beberapa langkah dan kesepakatan global. Pertama, pentingnya merangkai satu kesatuan fakta mendasar dari krisis kependidikan, lalu dibuatkan strategi untuk menghadapinya.

Kedua, mencari metoda yang sistematik dan tidak terkeping-keping. Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi, dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya.

Konsekuensinya timbul kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya, yang merupakan esensi dari krisis kependidikan dunia. Rekomendasi penting dari konferensi di atas adalah mengenai peranan penting pendidikan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau biasa disebut pendidikan nonformal.

Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja bagi petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan).

Mendekati Negara Maju
Pendidikan nonformal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis. Efektivitas dan pelaksanaan pendidikan nonformal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara maju/industri dan negara berkembang.

Pada negara maju, seperti di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan nonformal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup (life long education) sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan: (1) untuk memperoleh pekerjaan; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang (leisure time).

Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan nonformal dijalankan asal-asalan (minimalis), dan perannya baru sebatas mendidik kaum petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi pendidikan rendah agar mereka bekerja lebih efektif. Pada era globalisasi sekarang ini sistem pendidikan nonformal di negeri ini harus ditransformasikan sehingga pelaksanaannya bisa mendekati negara-negara maju

Kamis, 08 Maret 2012

Degradasi Infrastruktur dan Keselamatan Transportasi

Oleh Harjoko Sangganagara | Daily Investor, Selasa, 14 Februari 2012 | 6:50


Malapetaka kecelakaan lalu lintas angkutan darat (bus) sering terjadi belakangan ini. Kondisi operasional angkutan bus antarkota yang riskan dan terdegradasinya infrastruktur jalan raya non-tol merupakan hantu transportasi yang terus bergentayangan mencari mangsa. perasional perusahaan angkutan darat banyak diwarnai oleh pengemudi yang berkelakuan ugal-ugalan. Akibatnya, jalan raya menjadi mesin pembunuh sekaligus pencetak kerugian moril dan materiil yang sangat besar.

Untuk menghadapi masalah tersebut diperlukan berbagai langkah-langkah tegas, antara lain uji kelayakan bus secara ketat serta pencegahan awak bus menggunakan alkohol dan narkoba. Uji kelayakan tersebut terutama untuk bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Petugas harus ekstra tegas melihat beberapa indikator uji kir, antara lain kondisi stir terasa kocak atau tidak, asap kendaraan, kondisi ban, rem lain-lain. Kondisi bus AKAP dan AKDP yang kebanyakan sudah tua dan sarat masalah menjadi ancaman yang terus mengintai.

Eksistensi undang-undang tentang Jalan yang memberikan wewenang besar kepada pemerintah daerah untuk membenahi jalan sesuai dengan semangat otonomi daerah ternyata justru menambah panjang ruas jalan non-tol yang rusak. Padahal, setiap tahunnya pemerintah meraup dana yang sangat besar dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor.

Non-tol Anak Tiri
Kecelakaan angkutan bus selama ini banyak disebabkan oleh faktor human error dan diperparah lagi dengan terdegradasinya konstruksi jalan non-tol dan minimnya rambu-rambu lalu lintas. Ruas jalan raya non-tol di pinggir jurang banyak yang tidak memiliki rambu dan konstruksi pembatas yang layak.

Pemerintah tidak berdaya, sehingga sering mengabaikan perawatan ruas jalan non-tol. Padahal, pertumbuhan kendaraan di negeri ini mencapai sekitar 10% per tahun. Di sisi lain, tingkat kerusakan jaringan jalan nasional semakin bertambah panjang tanpa bisa diatasi. Pemerintah terlalu asyik membangun ruas jalan tol. Akibatnya, jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten menjadi anak tiri yang kondisinya semakin memburuk.

Kondisi jalan raya non-tol hanya diperbaiki secara tambal sulam alias asal-asalan sehingga menyimpan potensi bahaya yang luar biasa. Pentingnya pemerintah pusat dan daerah mencari metode terbaik dalam melakukan pemeliharaan jalan raya non-tol sehingga memenuhi standar serta mencapai tingkat mutu pelayanan yang baik dengan biaya yang efisien. Hingga saat ini seruan publik yang meminta pengelola jalan non-tol untuk memenuhi standar pelayanan masih terabaikan. Ada masalah fatal dalam pemeliharaan jalan non-tol. Masalah tersebut terkait dengan buruknya inspeksi karena tidak dilakukan secara kontinu dan kurang teliti. Selain itu juga tidak akuratnya data base pemeliharaan karena jarang diperbarui.

Menurut survei Bapennas, ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak yang diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai sekitar Rp 200 triliun per tahun. Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh kementerian teknis menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun. Jumlah di atas tidak pernah terpenuhi, sehingga terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kualitas kondisi jaringan jalan nasional.

Selain itu, tingkat kerusakan jalan akibat kelebihan beban dan sistem perawatan yang tidak memadai menyebabkan rusaknya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut juga akan menyedot biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk ruas jalan yang lain.

Sekadar gambaran, infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Diperkirakan besarnya Road User Cost (RUC) atau biaya pengguna jalan di seluruh jaringan jalan nasional dan provinsi mencapai Rp 1,5 triliun per hari yang terdiri atas komponen biaya operasi kendaraan dan biaya waktu perjalanan. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi adalah kualitas konstruksi jalan yang rendah akibat korupsi anggaran dan penyimpangan proyek.

Beban Kerugian Ekonomi
Pada saat ini pengemudi bus, truk, mobil pribadi hingga sepeda motor telah banyak yang menjelma menjadi komunitas ugal-ugalan yang memerlukan penanganan yang lebih tegas dan konsisten. Menurut data statistik kepolisian, sekitar 84% kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh faktor pengemudi. Melihat fakta itu, mestinya kelakuan pengemudi yang bersifat ugal-ugalan segera diperbaiki dengan membudayakan cara mengemudi yang benar. Kerugian ekonomi pertahun akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 3% dari pendapatan nasional bruto.

Mengingat banyaknya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas, sudah mendesak usaha rekayasa budaya keselamatan jalan (road safety culture). Budaya keselamatan jalan raya sebenarnya sudah cukup lama ada, yakni sejak William Phelps Eno merintis rekayasa keselamatan jalan secara sistematik pada 1920-an di Amerika Serikat. Ia memperkenalkan apa yang disebut dengan Road Safety Management System (Sistem Manajemen Keselamatan Jalan). Sejumlah perguruan tinggi di negeri ini juga sudah memberikan perhatian dengan membuka jurusan manajemen transportasi.

Tapi, secanggih apa pun pengetahuan tentang manajemen transportasi, “budaya keselamatan” tetap harus berakar pada kehidupan masyarakat bangsa ini juga. Negeri ini yang katanya sarat dengan nilai budaya santun, toleran, dan hati-hati dalam bertindak, semestinya memiliki derajat yang tinggi dalam hal budaya keselamatan lalu lintas. Namun, hal itu belum terwujud, salah satunya, diakibatkan buruknya implementasi Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung