Senin, 28 Desember 2009

Rabu, 23 Desember 2009

Program relokasi nelayan harus dilakukan dengan prinsip cost effectiveness



Memperkuat Program Relokasi Nelayan dan Sistem Informasi Pulau Kecil

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *)


Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di negeri ini masih jauh dari harapan. Departemen Kelautan dan Perikanan belum mampu mengimplementasikan Undang-Undang No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara efektif dan cerdas. Konteks pengelolaan diatas menyangkut perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerin daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun potensi ekonomi. Namun, sifat strategis tersebut belum didayagunakan secara optimal. Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah mestinya bertindak kreatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan bantuan teknologi. Seperti membuat sistem informasi dengan teknologi terkini. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus mencakup program relokasi bagi nelayan.
Hingga saat ini akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan potensi pulau-pulau kecil tersebut kurang meamadai. Akibatnya pembangunan dan pengusahaan sulit dilakukan. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi merupakan langkah yang efektif dalam pengelolaan. Mestinya, seluruh Dinas Kelautan dan Pesisir harus mampu membuat Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan menggunakan aplikasi yang murah/gratis. Seperti penggunaan Google Maps API (Application Programming Interface). Sistem ini menggunakan data dari domain publik yang gratis, legal, dan bersifat open source. Serta dapat didiseminasikan dengan mudah. Kreatifitas aparatur DKP di daerah perlu diwujudkan untuk menciptakan sistem informasi yang mudah diakses.
Google Maps API yang digunakan dalam pembuatan Sistem Informasi berisi informasi tentang citra seluruh bumi yang salah satu informasinya ditampilkan dalam bentuk citra foto satelit. Dari citra tersebut kemudian dapat ditambahkan informasi-infomrasi lain dengan menambahkan fitur-fitur yang diinginkan. Google menyediakan layanan API untuk menampilkan peta pada halaman website. Aplikasi ini bernama Google Maps API (GMaps API). Peta yang ditampilkan diambil dari layanan Google Maps. Ada tiga jenis tampilan yang bisa dipilih dari Google Maps, yaitu: Map, Sattelite, dan Hybrid. Map menampilkan peta dalam bentuk peta garis, Sattelite menampilkan peta dalam bentuk citra/foto satelit dan Hybrid merupakan gabungan dari Map dan Sattelite. Dengan Google Maps API bisa dirancang sistem informasi berbasis internet untuk menampilkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Setiap obyek bisa diberi label dan tiap label berisi keterangan tentang nama pulau, koordinat titik terluar, jumlah penduduk, wilayah administrasi dan potensi ekonomi. Dilengkapi juga dengan hyperlink untuk menuju halaman website yang berisi informasi lebih lengkap.
Ada perbedaan tipologi nelayan di negeri ini, baik menyangkut latar belakang budaya, sosial, pendidikan, dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Tipologi nelayan tersebut dapat digunakan sebagai ukuran bagi penentuan program relokasi nelayan di sebelas wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 5 (Laut Jawa ) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda. Selain itu, pentingnya kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Yang pada prinsipnya kebijakan tersebut menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas.
Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir dan tidak sinkronnya pembangunan antar sektor. Tantangan dan rintangan bidang pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dijawab dengan strategi yang bisa mentransformasikan program dan kegiatan wasdal. Sehingga amanat pokok kegiatan wasdal yang mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik. Apalagi, pada saat ini eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan intensitasnya sangat tinggi di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Antara lain seperti minyak bumi dan gas, perikanan, ekowisata bahari, industri kelautan, bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT). Eksploitasi yang berlebih berdampak pada rusaknya lingkungan. Pentingnya penguatan sistem VMS (Vesel Monitoring System) mengingat kapabilitas armada di DKP Provinsi rata-rata baru berukuran dibawah 30 GT. Juga perlunya standar kapal patroli untuk pengawasan keamanan laut. Sistem VMS juga harus mampu mencakup masalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Selama ini sistem informasi HP-3 masih pincang, sehingga menimbulkan masalah tentang hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

*) Pemerhati Budaya Masyarakat Pesisir, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Dimuat Harian KONTAN, 24 Desember 2009

Sabtu, 05 Desember 2009

The importance of education outside the school in accordance with the spirit of the times


Movement Anti-Unemployment and the Role of Non-Formal Education

By : HARJOKO SANGGANAGARA
(Cultural, Participant S-3 Program Graduate School of UPI Bandung)

Step Ministry of Manpower and Transmigration (Depnakertrans) which launched the movement of unemployment reduction (GPP) should not be limited to programs that only excessive distributing the money a la Santa. GPP program that made the early breakthrough Muhaimin Iskandar minister look less systemically so that the impact is less widespread. Can not be denied, the movement that proclaimed anti-unemployment Muhaimin minister for the new limited-ceremonial for money in the form of deconcentration funds and ketransmigrasian manpower and funds perbantuan task.
Unemployment anti conditions should be based on objective and qualifications of the unemployed today. Data Central Statistical Agency (BPS) shows that the number of unemployed in Indonesia in February 2009 reached 9,259,000 people. Of that amount, qualified graduate unemployment reached 626,600 people, 486,400 of those diplomas, high school vocational 1,337,600 people, 2,133,600 of the general high school, junior 2,054,700 people, 2,143,700 people elementary school, and did not complete primary school 450,000. Qualifications of the most critical and complex issue is the junior secondary school graduates to not complete primary school. They had not received a scheme and a decent employment programs. Their fate and abandoned by the state simply allowed to earn a livelihood if possible. Unemployment should have anti reinventing education begins with the formal charge nor productivity and creativity in accordance with the progress of time. Reinventing the meaning of rediscovering the importance of non-formal education in accordance with the spirit and the progress of time, he will be able to give practical provisions for the unemployed. Unfortunately, non-formal education on hold at the moment looking at random with a charge or outdated content. Non-formal educational organizations in the district called PKBM (community learning center) and at the district / city called SKB (studio learning activities) are not able to adapt to the progress of time. Unfortunately again, the above organizations bound by a chronic disease of bureaucracy. Seeing the above conditions the importance of synergy between Depnakertrans with reinventing the National Education Ministry to conduct non-formal education in this country.
All parties must realize that the root of the problem of unemployment was due to the education crisis. Be worthwhile to look at the history of the world, where in 1967 in Williamsburg, Virginia United States organized an international conference on "The World Educational Crisis". The initiative came from a former primary school teacher who later became President of the United States, the Lyndon B. Johnson. The conference organized by the James A. Perkin, Rector of Cornell University. Based on the working paper of the conference attended by 150 leaders in developed and developing countries, taken several steps and a global agreement. First, the importance of a united couple basic facts of the educational crisis, and make it explicit and to make strategies to deal with it. Second, a systematic search method and does not terkeping-pieces. A fantastic environmental changes caused by a number of world revolution in the field of science, politics, economics, demography and social order. Education system is also growing and changing rapidly, but not able to adapt to changes around it. Consequences arising gap between the education system and its environment, it is the essence of the world educational crisis. Although local conditions lead to different variations of the crisis from one country to another, however, seems the common thread in all nations.
Important recommendations of the conference is the above pendididkan important role in all three environments, known as community or so-called non-formal education. Environmental education through the public or non-formal education has various names, such as adult education (adult education), continuing education (further education), on-the-job training (job training), accelerated (training accelerated), farmer or worker training (training of workers for farmers), and extension service (additional educational services). Humans as social beings become part of various groups in society, either naturally or deliberately. Human itself is part of the family, city, state and religious groups. There is also a group that deliberately entered as sports associations, trade unions, cooperatives, political organizations, arts associations and others. Through these groups of non-formal education can be done. Non-formal education can be a complement of formal education, especially when associated with the limitations resulting from the crisis.
Effectiveness and implementation of non-formal education can be seen the difference in the case of developed countries / industrial and developing countries. In developed countries like Europe and North America non-formal education is seen as further education for one's life. Lifelong education (life long education) is very significant in advancing and changing society for three reasons: (1) to obtain employment; (2) maintain the availability of trained manpower with technology and new knowledge needed to continue productivity; (3) improve the quality of and comfort of individual life through cultural enrichment by utilizing free time (leisure time). In developing countries, non-formal education started at random (minimalist), new limited its role to educate the farmers, workers, small businessmen and others who could not attend school. Another role is to enhance the ability of the people who have low educational qualifications so that they work more effectively. In the current era of globalization non-formal education system in this country must be transformed so that its implementation could approach the developed countries.

Selasa, 01 Desember 2009

Sejarah Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat ditetapkan pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat beribukota di Kota Bandung dan pusat pemerintahannya berada di Gedung Sate, memiliki wilayah seluas 3.709.528,44 hektar yang secara administratif terdiri dari 17 kabupaten, 9 kota, 527 kecamatan, 468 kelurahan dan 5312 desa.
Kabupaten dan kota di Jawa Barat dalah sebagai berikut : (1)Kabupaten Bandung; (2) Kabupaten Bandung Barat; (3) Kabupaten Cianjur; (4) Kabupaten Sukabumi; (5) Kabupaten Bogor; (6) Kabupaten Bekasi; (7) Kabupaten Karawang; (8) Kabupaten Purwakarta; (9) Kabupaten Indramayu; (10) Kabupaten Cirebon; (11) Kabupaten Sumedang; (12) Kabupaten Subang; (13) Kabupaten Majalengka: (14) Kabupaten Kuningan; (15) Kabupaten Ciamis; (16) Kabupaten Garut; (17) Kabupaten Tasikmalaya; (18) Kota Bandung; (19) Kota Cimahi; (20) Kota Sukabumi; (21) Kota Bogor; (22) Kota Depok; (23) Kota Bekasi; (24) Kota Cirebon; (25) Kota Tasikmalaya; (26) Kota Banjar.

Sejarah

Di lihat dari sudut pandang sejarah, Provinsi Jawa Barat sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Berdasarkan “Provincie Ordonantie”, di Jawa dan Madura dibentuk provinsi-provinsi antara lain Provinsi Jawa Barat pada tanggal 26 Januari 1926 (Stb. 1925-378), yang merupakan provinsi pertama. Provinsi Jawa Barat membawahi lima Karesidenan, yaitu Banten, Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon. Gubernur Jawa Barat yang pertama bernama W.P. Hilten. Pada zaman pendudukan Jepang, Jawa Barat dipimpin dengan sistem militerisme oleh seorang Gunseikan yang memimpin Gunseibu (setingkat provinsi). Kepala Gunseibu Jawa Barat adalah Kolonel Matsui, dengan wakilnya sebanyak dua orang yaitu Raden Suradiningrat dan Atik Suwardi.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda masih mencoba untuk menguasai Indonesia. Dr H.J. van Mook mencoba memecah Indonesia menjadi Negara federal (serikat) dengan mendirikan Negara Pasundan (1948) yang memilih R.A.A. Wiranatakusumah sebagai Wali Negara. Namun sebelum itu pada tanggal 4 Mei 1947, Ketua Partai Rakyat Pasundan yang juga sebagai Bupati Garut, R.A.A. Moesa Soeriakartalegawa memproklamasikan berdirinya “Negara Pasundan” dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Di sisi lain, akibat pro kontra Perjanjian Renville pada Januari 1948, maka dalam Masyumi terjadi perpecahan. Sekar Marijan Kartosuwiryo yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, karesidenan Batavia kemudian menjadi Daerah Khusus Jakarta yang setingkat dengan provinsi. Karesidenan Banten yang mencakup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Provinsi Banten beribukota di Serang. Jabatan residen pun dihapus diganti dengan Kepala Bakorwil (Badan Kordinasi Wilayah), yaitu Bakorwil Bogor, Bakorwil Purwakarta, Bakorwil Priangan yang berkedudukan di Garut dan Bakorwil Cirebon.

Visi dan misi

Provinsi Jawa Barat memiliki visi : “ Dengan iman dan taqwa sebagai Provinsi termaju dan mitra terdepan Ibukota Negara tahun 2010” dengan misi sebagai berikut : (1) Menciptakan situasi kondusif melalui terselenggaranya reformasi politik yang sehat; (2) Mendorong berkembangnya masyarakat madani yang dilandasi nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya daerah (Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, pikeun ngawujudkeun masyarakat anu cageur, bageur, bener, pinter tur singer); (3) Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat melalui terselenggaranya pemerintahan yang bersih terbuka; (4) Memanfaatkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ; (5) Menjadikan Jawa Barat sebagai kawasan yang menarik untuk penanaman modal; (6) Memberdayakan potensi lembaga keuangan untuk mendorong usaha ekonomi masyarakat; (7) Memberdayakan masyarakat melalui pemanfaatan IPTEK yang bersumber dari Perguruan Tinggi serta Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Pola Dasar Pembangunan Provinsi Jawa Barat, 2003).

Pemerintahan Daerah

Gubernur Jawa Barat masa bakti tahun 2003-2008 adalah Danny Setiawan dan Wakilnya Nu’man Abdul Hakim yang dipilih oleh DPRD Provinsi Jawa Barat. Pada pemilihan gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, terpilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur masa bakti 2008-2023 Ahmad Heryawan dan Yusuf Macan Effendi yang merupakan koalisi yang diusung PKS dan PAN mengalahkan pasangan Agum Gumelar - Nu’man Abdul Hakim yang diusung PDI Perjuangan, PPP, PBB dan PDS; dan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana yang diusung Partai Golkar dan Partai Demokrat. .Sebelum Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat sejak Indonesia merdeka adalah sebagai berikut: Mas Soetardjo Kartohadikusumo (1945), Mr Datuk Djamin (1946): Mas Sewaka (1946-1952); Ir Ukar Bratakusumah (1948-1949); R Muhammad Sanusi Hardjadinata (1952-1956); R. Ipik Gandamana (1956-1960); H. Mashudi (1960-1970); Solihin Gautama Purwanegara (1970-1975); H Aang Kunaefi (11975-1985); H R Moh. Yogie Suardi Memet (1985-1993) dan R. Nuriana (1993-2003) (Tim Pansus DPRD, 1995 : 51-185).



Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil Pemilihan Umum tahun 2004 berjumlah 100 (seratus) orang dengan komposisi keangggotaan berdasarkan kepartaian adalah sebagai berikut (Profil DPRD Provinsi Jawa Barat 2004-2009) : Partai Golongan Karya 28 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 19 orang, Partai Keadilan Sejahtera 14 orang, Partai Persatuan Pembangunan 13 orang, Partai Demokrat 9 orang, Partai Kebangkitan Bangsa 7 orang, Partai Amanat Nasional 7 orang, Partai Bulan Bintang 1 orang, Partai Kesatuan dan Persatuan Bangsa 1 orang, dan Partai Damai Sejahtera 1 orang.
Keseratus anggota DPRD tersebut berhimpun ke dalam 7 (tujuh) fraksi, yaitu Fraksi Parti Golkar 28 orang, Fraksi PDI Perjuangan 21 orang (termasuk di dalamnya anggota dari PDS dan PKPB), Fraksi PKS 14 orang, Fraksi PPP 13 orang, Fraksi PD 10 orang (termasuk anggota PBB I orang), Fraksi PAN dan Fraksi PKB masing-masing 7 orang.
Melalui pemilihan dalam Rapat Paripurna, DPRD Provinsi Jawa Barat dipimpin secara kolektif oleh 4 orang pimpinan : H.A.M. Ruslan (FPG) sebagai Ketua, H. Rudi Harsatanaya (FPDI Perjuangan) sebagai Wakil Ketua, H. Achmad Ru’yat (FPKS) sebagai Wakil Ketua dan H.Amin Suparmin (FPPP) sebagai Wakil Ketua.
Pada Pemilu legislatif 2009, PD memperoleh kursi terbanyak di DPRD Provinsi Jawa Barat diikuti PG dan PDI Perjuangan, PKS, PPP, PKB,PAN, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Partai Gerindra dan Partai Hanura adalah partai baru yang memperoleh suara secara mencolok secara nasional maupun regional. PD unggul secara nasional di bawah bayang-bayang popularitas SBY yang kemudian maju menjadi capres berpasangan dengan Boediono berhadapan dengan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Dalam Pemilihan Presiden 8 Juli 2009, Megawati Prabowo memperoleh suara sekitar 27%, SBY-Boediono 60% dan JK-Wiranto 13% berdasarkan data dari Quick Count dan Exit Poll yang dilakukan pelbagai lembaga survei dan stasiun teve.

Para anggota DPRD memiliki tiga fungsi pokok yaitu membuat peraturan daerah (legislation), membuat anggaran pendapatan dan belanja daerah (budgeting) dan mengawasi jalannya pemerintah daerah (controlling).

Good Governance

Penyelenggaraan pemerintahan diarahkan pada terwujudnya good governance yang diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance yaitu : partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis.
Agenda good governance versi Partnership for Government Reform adalah anti korupsi, reformasi birokrasi, corporate governance, reformasi hukum dan peradilan, otonomi daerah dan desentralisasi, reformasi pemilihan umum, pemberdayaan parlemen dan penguatan masyarakat madani (Masyarakat Transparansi Indonesia, 2002:10)

gelombang pasang