Senin, 24 November 2008

Sistem pendidikan yang terlalu dipaksakan berbasis telematika justru berpotensi menghasilkan generasi Dumbest alias sontoloyo.



Arah Telematika Pendidikan dan Generasi Dumbest

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
( Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung )


Dunia pendidikan di Jawa Barat mulai mengarah kepada pemanfaatan telematika atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pembelajaran secara elektronik. Infrastruktur telematika untuk menunjang proses pendidikan sebenarnya bukan hal baru. Sayangnya, hingga saat ini pembelajaran elektronik belum bisa optimal. Malah dikawatirkan akan menimbulkan generasi Dumbest yang bisa memperpuruk daya saing bangsa.

Langkah pemda Jabar yang ingin membenahi sekolah terpencil dengan pembelajaran elektronik hendaknya jangan sebatas seremonial belaka. Kondisinya semakin buruk jika langkah itu ternyata digunakan untuk ajang politik praktis dan kepentingan bisnis semata. Harus ada arah dan langkah yang jujur, konsisten dan hati-hati. Infrastruktur telematika pendidikan ibaratnya seperti jalan tol dalam proses pendidikan. Jalan tol itu kurang ada artinya jika tidak banyak muatan yang lewat. Mestinya para guru dan praktisi pendidikan di Jabar didorong sekuat tenaga agar proaktif memanfaatkan telematika pendidikan yang sudah eksis. Hingga saat ini partisipasi guru dan praktisi pendidikan di Jabar terhadap infrastruktur Jardiknas ( Indonesia Education ICT Network ) masih rendah. Padahal infrastruktur itu telah dirancang sebagai media yang ideal bagi sekolah, guru dan siswa untuk meningkatkan kompetensinya. Apalagi, Jardiknas juga diwarnai dengan komunitas untuk kolaborasi. Juga telah mengakomodasikan blog guru, blog siswa dan kaedah wikipedia.
Mestinya Jardiknas bisa menjadi platform yang kokoh untuk membenahi sekolah terpencil berbasis telematika. Dinas Pendidikan di Jabar tidak perlu lagi merekayasa sistem pembelajaran elektronik dari nol. Karena hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan pemborosan anggaran. Arah telematika pendidikan di Jabar sebaiknya difokuskan kepada Jardiknas. Disdik Provinsi Jabar dan Kabupaten sebaiknya tidak perlu lagi repot-repot terlibat pembuatan situs online untuk pembelajaran elektronik. Yang terpenting adalah bagaimana mengarahkan dan menggencarkan partisipasi guru dan siswa untuk memanfaatkan secara aktif dan kolaboratif berbagai fasilitas yang telah tersedia di Jardiknas. Partisipasi guru dan siswa, utamamya untuk mengunggah ( up load ) karya dan portofolionya dalam Jardiknas seharusnya menjadi target utama telematika pendidikan di Jabar. Selain itu materi ajar lewat modul online dalam portal Edukasi Net ( E-Dukasi.net ) sudah sangat memadai untuk bahan mengajar di kelas sehari-harinya. Pada saat ini juga sudah ada situs-situs pembelajaran elektronik kolaboratif yang sangat bagus dan telah menjadi partner Jardiknas. Seperti OKE ( Open Knowledge & Education ), JENI ( Java for Edu Network in Indonesia ), Ilmu Komputer ( komunitas e-Learning gratis ilmu komputer dan teknologi informasi Indonesia ), Pesona Edu, dan Sekolah Maya atau Sekolahmaya.Net yang merupakan situs percontohan untuk sistim pembelajaran elektronik. Praktisi pendidikan di Jabar patut mengapresiasi dan mengunduh nilai tambah yang diberikan oleh OKE yang merupakan media untuk saling berbagi ilmu pengetahuan. Situs tersebut juga menampung materi ajar apapun baik itu modul pelatihan, materi pembelajaran, contoh-contoh soal, aplikasi pembelajaran, dan presentasi. Sedangkan JENI merupakan modul on-line yang siap dikembangkan, dengan pemrograman berbasis objek. Selain itu JENI juga merupakan bank soal dan pembahasan masalah pembelajaran perangkat lunak yang berbasis Java.
Penting untuk digarisbawahi, bahwa modul online sebagai materi ajar tidak sekedar buku elektronik atau e-Book. Modul online itu hendaknya bisa memesona dan memacu rasa ingin tahu para siswa. Jika tidak memesona maka modul elektronik itu akan “dilibas” oleh eksistensi game komputer yang telah mendominasi pikiran anak. Untuk itulah modul online juga harus dilengkapi dengan alat peraga elektronik, animasi, dan bentuk-bentuk multimedia lainnya dengan tampilan menarik. Selain itu modul online juga harus bisa memberikan arahan bagi siswa untuk mendayagunakan mesin pencari ( search engine ) internet sehingga bisa lebih berdaya guna dalam proses pendidikan. Apalagi, dalam era konvergensi telematika sekarang ini otoritas pendidikan di negara maju seperti Amerika Serikat sudah mengkawatirkan timbulnya generasi Dumbest. Telematika Pendidikan yang salah arah, serta kondisi menjamurnya warnet, play station dan arena hot spot hingga ke pelosok, semakin menjadi stimulus timbulnya generasi Dumbest. Fenomena generasi Dumbest yang keranjingan games dan internet menimbulkan prilaku serba jalan pintas, kurang menghargai waktu dan minus nilai tambah. Hal itu akan menjadi persoalan bangsa yang sangat serius.
Ikwal tentang generasi Dumbest tergambar dalam karya Mark Bauerlein lewat bukunya yang berjudul “The Dumbest Generation”, yang diterbitkan oleh Barnes & Nobles. Buku tersebut mengulas tentang pembodohan anak-anak Amerika akibat akses internet dan permainan lewat komputer. Buku itu menggugat janji-janji teknologi informasi dengan berbagai idiom seperti “knowledge sharing”,“information superhighway” dan lain-lain, yang ternyata sulit terbukti alias palsu. Hal itu akhirnya menciptakan generasi muda Amerika yang bodoh dan pemalas. Secara lugas buku itu juga mengkaji generasi muda Amerika menjadi generasi yang sibuk mengirim e-mail tanpa konteks intelektualitas dan melakukan chatting basa-basi sepanjang waktu. Tesis Mark Bauerlein diatas sangat mencemaskan, apalagi tesis itu merupakan hasil riset yang sulit disanggah. Timbulnya generasi Dumbest membuat otoritas pendidikan disana kebakaran jenggot lalu mencari berbagai solusi.
Tidak mustahil generasi Dumbest akan tumbuh di negeri ini. Disisi yang lain ada kecenderungan penerapan telematika pendidikan yang salah arah. Telematikanisasi sekolah jangan hanya untuk gengsi-gengsian yang pada akhirnya hanya menjadi sampah teknologi dan hanya memberikan keuntungan bisnis bagi segelintir orang. Pada tahap sekarang ini peran telematika untuk sekolah terpencil sebaiknya hanya sebatas support saja. Telematika jangan dipaksakan menjadi enabler dan transformer bagi dunia pendidikan karena bisa menimbulkan pemborosan yang luar biasa.
Ada baiknya sekolah untuk daerah terpencil di Jabar dibenahi dengan prinsip Sekolah Alam. Karena prinsip itu bisa impresif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Sejatinya, sekolah di daerah terpencil dengan kondisi geografinya masing-masing justru sangat ideal untuk mengembangkan kecerdasan dan budi pekerti siswa. Bahkan, bangunan atau infrastruktur sekolah tidak perlu dipaksakan mirip di kota. Sekolah Alam sebaiknya memiliki bangunan sekolah tradisional yang lebih ergonomik, yang dikelilingi oleh rimbunnya aneka tumbuh-tumbuhan. Ruang kelas di Sekolah Alam tidak perlu terkurung tembok, cukup dengan dinding semi terbuka yang bercorak arsitektur tradisional. Sarana belajar seperti meja, kursi, papan tulis, alat penerangan dan lain-lain dibuat se-ergonomik mungkin sehinga tubuh siswa tidak merasa terpaku selama belajar. Dalam situasi dunia sekarang ini, Sekolah Alam membawa optimisme baru karena berpotensi mencetak siswa seperti Lintang sang tokoh dalam cerita Laskar Pelangi. Dilain pihak sistem pendidikan yang terlalu dipaksakan berbasis telematika justru berpotensi menghasilkan generasi Dumbest alias sontoloyo. (*)

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi JABAR dari PDI Perjuangan
**) Artikel ini telah dimuat di harian KOMPAS Lembar Jawa Barat tgl 18 Desember 2008

Memperjuangkan kesejahteraan kaum penglaju yang terpaksa "tua dan menderita" di jalanan



Saatnya “Memanjakan” Penglaju Bandung Raya

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA

Bandung bisa dikatakan merupakan kota metropolitan yang semu dan menyimpan segudang persoalan sosial yang bisa meledak setiap saat. Tak bisa dimungkiri, kota Bandung berkembang tanpa karakter yang jelas. Tekanan jumlah penduduk tidak disertai dengan pembangunan infrastruktur perkotaan yang memudahkan mobilitas pekerjaan, perumahan dan perjalanan bagi para penglaju. Bandung berkembang menjadi kota besar yang egois, karena kurang memperhatikan daya dukung kota-kota di sekitarnya seperti Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi.

Kota Bandung yang ingin meraih predikat sebagai kota modern bisa terganjal tanpa daya dukung yang ideal dari kota-kota di sekitarnya. Apalagi, fenomena jentrifikasi (gentrification) sudah mulai tampak. Jentrifikasi merupakan fenomena dalam sebuah kawasan atau komunitas kota di mana warga miskin dan mereka yang lemah akses akan terdisplasi atau terpindahkan ke luar kota secara tidak manusiawi. Pakar perencanaan kota Neil Smith menyatakan bahwa jentrifikasi sebagai dua mata sisi pedang yang tajam. Di satu sisi jentrifikasi bersifat sebagai frontier untuk optimalisasi ruang kota. Dan di sisi lain jentrifikasi juga memicu ketimpangan pembangunan fisik, budaya, maupun sosial dalam ruang kota yang bisa memicu gejolak sosial yang sangat serius. Sebelum berubah menjadi “monster” yang kejam, proses jentrifikasi harus segera ditanggulangi dengan langkah konkrit. Antara lain dengan memperbaiki dan membangun infrastruktur bagi para penglaju. Sudah saatnya kita “memanjakan” penglaju di Bandung Raya dengan berbagai jasa dan pelayanan. Kawasan Bandung Raya yang dibelah oleh jalur kereta api yang membentang dari Cicalengka hingga Padalarang mestinya menjadi faktor penting untuk “memanjakan” para penglaju sehingga sehari-harinya mereka bisa beraktifitas secara nyaman dan efektif.
Sangat menyedihkan jika selama sepuluh tahun terakhir ini nasib para penglaju di Bandung Raya masih tetap merana karena belum ada kemajuan yang berarti dalam pembangunan infrastruktur. Fasilitas angkutan KA yang mestinya bisa menjadi solusi jitu ternyata masih dikelola secara tambal-sulam. Pemerintah Provinsi masih menutup mata dan belum berkontribusi secara konkrit terkait sistem transportasi KA komuter di Bandung Raya. Kondisinya semakin menyedihkan ketika kita menengok komplek-komplek pemukiman para penglaju di Kabupaten Bandung, Cimahi dan Bandung Barat. Kawasan yang dahulu menjadi “satelit” kota Bandung perkembangannya menjadi stagnan dan tengah mengalami kehancuran prasarana disana sini tanpa ada pihak yang mau bertanggung jawab. Begitu pula bagi para penglaju yang jauh dari jalur KA, mereka terpaksa naik angkot sambung-menyambung yang berakibat menguras isi dompet. Mestinya ada kebijakan pemerintah daerah yang berani menata kembali jalur atau trayek angkutan umum di Bandung Raya sehinga sesuai dengan kondisi masyarakat terkini. Kondisi jalur atau trayek angkutan yang semakin acak-acakan dan lepas kendali semakin membuat para penglaju menderita. Tanpa ada kebijakan yang “memanjakan” para penglaju di Bandung Raya, maka perkembangan Kota Bandung akan terus tersandera dengan berbagai masalah sosial.
Strategi pengembangan wilayah Bandung Raya khusunya kota Bandung mestinya menuju kearah metropolitan dalam arti yang sejati. Arah tersebut bersandar kepada istilah metropolitan yang mengambil kata dari sistem perkereta-apian komuter atau light train system. Sistem KA komuter yang baik akan memudahkan kota metropolitan menjadi pusat aktivitas yang mampu membagi fungsi keruangannya secara ideal. Sehingga terciptalah integrasi yang kokoh antar kawasan permukiman dan tempat kerja. Menurut pakar perkembangan kota Angotti, karakter kota metropolitan terlihat dalam tiga aspek yang ideal, yakni terciptanya mobilitas pekerjaan (employment mobility), mobilitas perumahan (residential mobility) dan mobilitas perjalanan (trip mobility). Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja. Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, tetapi sering kali juga terjadi karena digusur oleh dinamika pembangunan. Mobilitas perjalanan lebih mudah dilakukan di metropolitan karena ketersediaan sarana transportasi yang berbasis KA komuter. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa karakter metropolitan dicirikan dengan adanya mobilitas dari modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi. Apakah karakter tersebut sudah dimiliki oleh kota Bandung ?
Perencana dan pelaksana pembangunan kota mestinya memperhatikan secara seksama pembangunan kawasan asal para penglaju. Salah satu contoh kawasan asal penglaju di Bandung Raya adalah Kecamatan Rancaekek. Kita semua menjadi prihatin melihat kondisi Perumnas Bumi Rancaekek Kencana yang dahulu direncanakan menjadi semacam kota satelit. Namun, setelah 15 tahun berlalu masih tetap merana dan belum menjadi kawasan pemukiman yang nyaman. Bahkan, infrastruktur seperti jalan, saluran dan fasilitas umum lainnya banyak yang dibiarkan rusak karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Setelah lama tinggal di Perumnas Rancaekek, mestinya para penglaju merasa lebih mudah beraktifitas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Perbaikan pelayanan transportasi KA masih tetap terpuruk. Mestinya waktu tempuh Rancaekek ke kota Bandung dengan KA komuter cukup menyita waktu 20 menit saja. Nyatanya, para penglaju dari Rancaekek waktunya masih tersita lebih banyak lagi jika ingin menuju kota Bandung. Infrastruktur KA double track atau jalur ganda dari Stasiun Hall Bandung sampai Stasiun Cicalengka yang telah direncanakan sejak puluhan tahun yang lalu, hingga kini belum mampu diwujudkan. Begitu pula dengan kondisi fisik stasiun dan gerbong KA komuter seperti KRD Ekonomi dan Patas selama sepuluh tahun terakhir belum ada perubahan signifikan. Gerbong-gerbong yang sudah tua, kotor dan tidak aman itu masih menjadi pemandangan hingga kini. Mestinya Pemprov Jabar bersama dengan PT KAI segera membenahi stasiun KA yang menjadi kantong-kantong penglaju di sepanjang jalur antara Cicalengka dan Padalarang. Penataan stasiun dan penyediaan gerbong KA yang cukup sudah sangat medesak. Emplasemen seluruh stasiun KA mestinya ditata secara baik dan asri. Serta disterilkan dari aktifitas PKL sehingga tidak menjadi kumuh dan kotor. Untuk “memanjakan” penglaju yang terdiri dari para pekerja, PNS, profesional, pelajar dan mahasiswa, alangkah baiknya kalau di stasiun KA disediakan koneksi internet secara gratis dengan sistem Wajanbolic. Sistem Wajanbolic yang harganya murah itu mestinya tersedia di setiap stasiun KA. Agar para pengunjung stasiun atau orang-orang yang berada di radius satu kilometer dari stasiun KA dapat menadah WiFi ( wireless fidelity ) alias hot spot sehingga bisa mengakses jaringan intenet secara gratis sambil menunggu jadwal KA. Masih ada seribu satu cara untuk “memanjakan” para penglaju di Bandung Raya. Masalahnya, tinggal sampai sejauh mana empati dan kecerdasan dari pejabat daerah dalam memperbaiki nasib kaum penglaju yang setiap harinya harus berjuang.

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
**) Artikel diatas telah dimuat di koran KOMPAS, lembar Jabar 12 Nopember 2008

Mensejahterakan dunia dengan TERTAWA TULUS



Budaya Tertawa Tulus
Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA *)


Tertawa merupakan obat yang paling ampuh dalam menghadapi krisis ekonomi global. Krisis menyebabkan rasionalitas menjadi tumpul dan kecemasan semakin menyembul. Tertawa yang berkualitas atau tertawa secara tulus menjadi urusan penting, baik secara pribadi, korporasi maupun dalam kepemimpinan bangsa. Begitu pentingnya makna tertawa tulus, sampai-sampai dalam kesempatan jamuan makan malam antara Presiden terpilih USA ke-44 Barack Obama dengan rivalnya John McCain menjadi tontonan kelas dunia yang sangat menarik. Dalam jamuan makan malam itu keduanya melontarkan humor-humor bermutu yang bisa meledakkan tawa. Bersamaan dengan itu para pakar psikologi menganalisa apakah senyuman kubu Obama dan McCain benar-benar tulus. Berbahagialah bangsa Amerika, karena kedua pihak yang sengit dalam persaingan Pilpres itu secara ilmiah terbukti benar-benar tertawa secara tulus.
Budaya tertawa tulus ternyata semakin penting bagi sektor korporasi, birokrasi dan edukasi pada saat krisis ekonomi seperti ini. Bahkan, menurut hasil riset kompetensi SDM oleh konsultan internasional yang bernama Hay Group menyatakan bahwa tipe kepemimpinan atau manajemen yang paling efektif pada era sekarang ini adalah yang sarat humoris dan bukan eksentrik. Tak pelak lagi, budaya tertawa tulus telah menjadi obat penawar krisis ekonomi global. Sebagai catatan, pada saat depresi ekonomi dunia tahun 30-an Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt begitu getolnya menumbuhkan budaya tertawa di tengah bangsanya. Roosevelt juga memberikan peran yang luas kepada para seniman dan budayawan untuk menghibur sekaligus menumbuhkan optimisme rakyat. Antara lain aktor besar Charlie Chaplin yang sangat berperan menghalau hantu malaise dan membentang cakrawala baru. Hal serupa juga pernah dilakukan di Indonesia ketika menghadapi krisis pangan pada tahun 70-an. Lagu ”Ayo Ngguyu” ( Ayo Tertawa ) yang dinyanyikan oleh biduan legendaris Waljinah telah menjadi spirit bagi masyarakat, utamanya kaum tani untuk bekerja keras mewujudkan swasembada pangan atau beras. Lagu ”Ayo Ngguyu” yang tak henti-hentinya berkumandang di pedesaan dan perkotaan itu telah mendorong berkembangnya budaya tertawa tulus dan pada gilirannya telah mewujudkan rasa tentram dan percaya diri. Kondisinya sangat berbeda dengan saat ini, dimana para petani terus didera gundah gulana akibat sederet persoalan seperti merosotnya daya beli, kesulitan benih dan pupuk dan bencana alam. Orang di desa telah kehilangan budaya tertawa tulus. Ironisnya, pemerintah justru mengganti budaya itu dengan iklan layanan di TV berupa eufimisme program pemberdayan masyarakat yang terlihat klise dan bombastis.
Selain menghadapi krisis dengan instrumen keuangan dan inovasi produk, perusahaan multinasional sekarang ini juga telah menggencarkan budaya tertawa tulus. Terapi tertawa, senam tertawa, dan eksploitasi humor telah menjadi trend di perusahaan multinasional. Dalam konsteks tersebut terlihat adanya transformasi budaya kerja dari yang serba kaku dan terburu waktu, menjadi ruang atau situasi kerja yang mampu berbagi emosi. Salah satu fenomena diatas terlihat di industri automotif Ford’s River Rouge. Beberapa waktu yang lalu, tindakan tertawa ( termasuk bersenandung, bersiul, dan tersenyum ) yang dilakukan oleh karyawan merupakan sebuah kesalahan atau indisipliner yang harus diberi sangsi. Cukup banyak karyawan Ford yang dipecat gara-gara kepergok sedang tertawa bersama kawan-kawannya. Disiplin manajerial yang kaku itu adalah refleksi dari gaya manajemen Henry Ford. Namun, pada era sekarang ini, dimana industri automotif sedang terancam kebangkrutan menimbulkan depresi yang menghantui pabrik Ford River Rouge. Ternyata, terapi tertawa untuk memelihara produktivitas dan stamina beban kerja menjadi sangat penting. Budaya tertawa tulus bagi kemajuan korporasi hasilnya sangat positif. Salah satu contohnya adalah perusahaan penerbangan Southwest Airlines yang sudah cukup lama mendorong budaya tertawa dalam mengelola SDM. Para pilot, pramugari hingga teknisi yang sehari-harinya didera beban kerja dengan impact yang sangat tinggi mampu bersinergi secara baik dengan terapi tertawa sebelum menjalankan tugas. Hasilnya, perusahaan itu sekarang ini masih bisa survive dan berkinerja sangat baik. Dilain pihak, para pesaingnya banyak yang di tepi jurang kebangkrutan. Terapi tertawa juga sangat berguna bagi profesi kedokteran. Para dokter banyak yang belajar terapi tertawa dan terus menambah perbendaharaan humornya untuk menghadapi pasiennya. Apalagi fakta menunjukkan bahwa banyak pasien yang sembuh lebih cepat ketika mereka sering tertawa dengan tulus. Ikwal tertawa pada saat ini mendapat porsi yang sangat berarti dalam penyelidikan pikiran atau otak manusia. Bahkan perguruan tinggi terkemuka di dunia seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT) sedang gencar melakukan riset mengenai budaya tertawa.
Untuk mendorong budaya tertawa para pemimpin mempunyai tanggungjawab tertawa tiga kali lebih banyak. Secara ilmiah tertawa tulus sangat berbeda efek dan maknanya dengan tertawa palsu. Tertawa tulus sangat berguna untuk memompa motivasi diri, terapi penyembuhan jasmani dan rohani, serta obat pengusir stress atau depresi yang paling ampuh. Tertawa tulus bisa dideteksi secara ilmiah, begitu pula dengan tertawa palsu. Tertawa tulus atau senyuman sejati oleh pakar psikologi Ekman disebut dengan istilah tertawa “Duchenne”. Istilah tersebut diambil dari nama seorang neurologis asal Perancis Duchenne de Boulogne. Yang melakukan riset pertama dalam bidang tersebut pada 1980-an. Teorinya menyatakan bahwa senyuman yang tulus melibatkan secara simultan dua otot wajah : yakni otot zygomatic major, yang memanjang dari tulang pipi dan mengangkat sudut-sudut mulut. Dan yang kedua bagian luar dari otot obicuralis oculi, yang mengelilingi mata, dan terlibat dalam “menarik ke bawah alis mata dan kulit di bawah alis mata, dan menarik ke atas kulit di bawah mata, dan mengangkat pipi-pipinya.” Tertawa atau senyuman yang artificial alias palsu hanya melibatkan otot zygomatic major. Tesis menyatakan bahwa kita dapat mengontrol otot itu, namun kita tidak dapat mengontrol bagian yang relevan dari otot obicuralis oculi. Karena otot itu berkontraksi secara spontan alias tidak bisa dimanipulasi, dan hanya ketika kita benar-benar mengalami “kesenangan” otot itu akan bergerak. Duchenne menyimpulkan bahwa emosi dari kesenangan yang jelas diekspresikan pada wajah oleh kontraksi gabungan antara otot zygomatic major dan obicuralis oculi. Yang pertama mematuhi keinginan kita, namun yang kedua hanya dimainkan oleh emosi-emosi yang manis oleh misteri jiwa.
Dalam krisis ekonomi global sekarang ini tertawa merupakan virus yang sangat berguna. Oleh sebab itu perlu tercipta epidemi tertawa yang bisa menjaga kesehatan, bahkan tidak mustahil bisa menciptakan perdamaian dunia. Ada yang berpendapat bahwa urang Sunda sekarang ini semakin sulit tertawa. Padahal, urang Sunda umumnya tergolong tukang heureuy. Ada apa dengan si tukang heureuy ? Ayo, tertawa tulus ! Dunia belum kiamat.

*) PENULIS, Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jabar.

Generator sosial urang Sunda tinggal satu, PERSIB !!!




Menyongsong PERSIB Incorporated
Oleh : Harjoko Sangganagara


PERSIB akan melangkah menjadi badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan demikian Persib akan menjadi korporasi atau perusahaan yang sahamnya bisa dimiliki oleh publik. Hal diatas membawa risiko bahwa Persib Incorporated harus dikelola lebih profesional dan berkinerja tinggi. Pasalnya, sebagai korporasi dirinya harus mempertanggung jawabkan kinerja lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Publik akan bersemangat membeli saham Persib Incorporated jika ada gambaran atau prospektus yang baik dan meyakinkan. Selain budaya kerja korporasi, budaya bobotoh Persib juga menjadi faktor yang sangat penting. Budaya bobotoh Persib seperti kadar sportifitas dan kreativitas mesti diperbaiki agar nilai saham Persib Incorporated tidak terpuruk.

Jaman sekarang ini sepak bola adalah industri yang luar biasa nilai tambahnya. Tak mengherankan jika banyak investor berani membeli klub sepak bola dengan harga yang fantastis. Yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah dengan membeli klub sepak bola otomatis juga “membeli” suporternya ? ..............................................................

( Telah dimuat koran TRIBUN JABAR, 16 Nopember 2008 )