Minggu, 04 Mei 2008

Mewujudkan Kemandirian Bangsa

Menyelamatkan Usaha Garam Rakyat

Oleh : Harjoko Sangganagara *)

Kebutuhan garam untuk industri nasional yang terus meningkat belum memberikan arti yang signifikan bagi usaha garam rakyat. Bahkan, pada saat panen puncak, harga garam rakyat justru anjlok ke titik nadir. Seringkali petani garam dibuat frustasi dengan anjloknya harga. Kekecewaan itu pernah ditunjukkan oleh petani garam di Kabupaten Cirebon dengan cara membuang garamnya ke jalan. Untuk membantu petani garam dalam menggapai harga yang wajar serta meningkatkan prosentasi serapan garam rakyat untuk industri domestik diperlukan Badan Penyelamat Garam Rakyat. Badan tersebut diharapkan juga mampu menerobos “sindikasi” garam industri yang selama ini telah memarjinalkan garam rakyat. Selain itu Badan tersebut juga berfungsi sebagai pengontrol regulasi garam di lapangan. Karena selama ini regulasi yang dibuat oleh pemerintah belum efektif dan eksistensinya sering dilecehkan oleh sindikasi yang berkedok importir garam.

Membanjirnya garam impor memperparah penderitaan petani garam. Harga garam rakyat pada masa panen tahun ini anjlok. Kelewat rendah jika dibandingkan dengan harga dasar menurut Kepmendag No.20/2005 yang telah menetapkan harga untuk garam jenis K-1 sebesar Rp 200,- per-kilogramnya. Kebutuhan garam sebagai konsumsi rumah tangga sebenarnya sangat kecil bila dibandingkan dengan sebagai bahan baku untuk proses pengolahan dan industri. Terutama untuk pabrik pulp dan jenis industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda. Menurut data stastistik, penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai lebih dari 2 juta ton per-tahun. Sedangkan untuk konsumsi dapur hanya menyerap sekitar 0,8 juta ton per-tahun. Konsumsi garam nasional idealnya berasal dari garam rakyat tradisional yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket untuk bahan pengawet dan keperluan industri, garam halus untuk garam meja atau dapur dan sangat halus untuk bahan baku hujan buatan.
Langkah petani garam pada saat ini menjadi serba salah dalam rangka meningkatkan kualitas produknya. Meskipun dengan langkah swadaya yang terseok-seok sebenarnya petani sudah mampu meningkatkan mutu garamnya. Namun, peningkatan tersebut masih dilihat sebelah mata oleh kalangan industri. Untuk itu, pemerintah dituntut untuk sungguh-sungguh membantu inovasi teknologi produksi pergaraman rakyat. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi kalangan industri yang menolak produk garam rakyat. Eksistensi SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mengatur tentang kewajiban bagi industri untuk membeli minimal 50% dari kebutuhannya terhadap garam lokal sebelum melakukan impor garam tidak efektif dan sering dilanggar. Ketentuan dalam SK yang melarang impor garam pada masa tertentu yakni 1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat juga dilecehkan begitu saja oleh “sindikasi” importir garam. Kewibawaan pemerintah dalam hal impor garam sering direndahkan kalangan industri dengan seringnya pelanggaran SK diatas dengan alasan semu mutu dan volume garam rakyat dianggap berpotensi menghambat kelancaran industri. Kewibawaan pemerintah semakin jatuh dengan ulah kalangan industri yang beramai-ramai membentuk asosiasi importir garam guna menjamin kebutuhannya.
Teknologi industri pergaraman di pesisir Cirebon pada khususnya, serta di sentra-sentra garam lainnya di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain seperti Australia dan India kondisinya boleh dikatakan masih sangat ketinggalan. Begitupula fungsi PT Garam yang merupakan BUMN yang dituntut bekerjasama yang saling menguntungkan dengan petani garam tradisional hingga saat ini masih gagal dan tidak berdaya menjalankan misinya. Apalagi BUMN garam itu juga masih didera oleh krisis manajemen dan keuangan sehingga belum mampu memposisikan perseroan sebagai pelaku bisnis yang handal sehingga mampu mendorong harga jual yang ideal. Proses produksi garam sejak proses sortasi bahan baku hingga proses pengemasan belum terlihat kemajuan yang berarti hingga saat ini. Untuk itu sangat diperlukan solusi teknologi yang diharapkan akan membantu proses pemilihan bahan baku garam rakyat yang mutunya tidak seragam. Masalah lain yang memerlukan solusi teknologi adalah proses penguapan atau kristalisasi yang digolongkan menjadi garam muda dan garam tua. Garam muda adalah proses penguapan air laut pada media kristalisasi yang dilakukan secara total dengan waktu yang relatif pendek, sehingga hanya diperoleh garam dengan kadar NaCl yang rendah dan mengandung kadar Ca dan Mg yang relatif tinggi serta cenderung berifat impuritas tinggi atau kotor. Sedangkan garam tua adalah garam yang diperoleh dengan proses pengkristalan yang memadai pada kondisi kepekatan antara 24°-25° Be atau derajat kepekatan suatu larutan. Sudah saatnya pemerintah memberikan insentif kepada petani garam melalui solusi teknologi produksi yang saat ini kondisinya sudah usang.
Sebenarnya dari bahan baku awal yaitu garam kasar, sentra industri garam di pesisir Kabupaten Cirebon sudah mampu memproduksi berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian. Kualitas garam yang belum optimal, merosotnya harga, proses produksi yang memerlukan inovasi teknologi merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus segera dituntaskan. Sekarang ini petani garam Cirebon yang jumlahnya mencapai ratusan ribu jiwa berharap kepada pemerintah untuk segera membentuk Badan Penyelamat Garam Rakyat. Sehingga dikemudian hari “bencana” kemerosotan harga bisa dihindari. Lebih dari itu, dengan memperbaiki usaha garam rakyat secara konsisten diharapkan akan tercipta swasembada garam secara nasional.


*) Budayawan, anggota DPRD Jabar dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di Harian KONTAN

Tidak ada komentar: