Senin, 16 Agustus 2010

















Kebangsaan

Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.



Perkembangan Nasionalisme

Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.

Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-negara (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.

Langkah awal pembentukan bangsa dimulai dari pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan untuk menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada ketika itu.

Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states) awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.

Ketika negara-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.

Di abad pertengahan national-building boleh dikata tidak ada. Kekuasaan politik di tangan kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal. Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.

Pada abad ke-18 filsuf Perancis Jean Jacques Rousseeau menekankan nilai dari persatuan massa yang menyatakan diri untuk mencapai tujuan bersama menjadi kebijakan seluruh orang. Hukum harus dibuat oleh rakyat, bukan oleh kerajaan. Doktrin Rousseau tentang kedaulatan rakyat, kemerdekaan individu, persamaan sosial dan persaudaraan diikuti oleh para pemimpin Revolusi Perancis.

Trauma terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan memunculkan kesadaran untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.

Munculnya negara bangsa yang baru merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada pandangan Sukarno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Isak, ed. 2001:160). Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah banyak negara-negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara-negara tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Kepribadian Indonesia


















Pandangan Ki Hajar Dewantara

Kepribadian menurut Ki Hajar Dewantara dipengaruhi oleh faktor dasar (bawaan, nature) dan faktor ajar (pendidikan, lingkungan, nurture). Kepribadian manusia dapat dikembangkan sampai mencapai tingkat kematangan tertentu melalui stimulus dari lingkungan berupa pendidikan. Kader Partai dididik untuk menjadi manusia berkarakter melalui ‘character building’ . Sekolah (kursus kader) secara langsung maupun tidak langsung memberikan stimulus bagi siswa (kader) untuk mengembangkan kemampuan intelektual, emosional dan spiritualnya yang berarti memberi pengayaan bagi pembentukan kepribadian mereka. Pribadi-pribadi yang telah memperoleh penambahan wawasan kebangsaan diharapkan memiliki kesadaran yang tinggi untuk mementingkan dan memperjuangkan kepentingan bangsanya di atas kepentingan diri maupun kelompoknya. Di sisi lain mereka pun mempunyai kesadaran sebagai warga dunia yang baik dalam arti ganda. Pertama, mereka tidak menjadi konsumen atau kuli di antara bangsa-bangsa (collie nation among nations). Kedua, mereka diharapkan menjadi produsen bagi kebudayaan dan peradaban dunia. Internasionalisme tidak akan tumbuh subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, seperti halnya Gandhi : my nationality is humanity (Soekarno, 2001:194).

Trisakti

Sekolah mengajarkan trilogi ajaran Bung Karno yang disebut Trisakti. Pertama, berdaulat di bidang politik. Kedua, Berdikarti di Bidang Ekonomi, dan ketiga: berkepribadian dalam kebudayaan. Berdaulat di bidang politik artinya merdeka, bebas dari kolonialisme dan imperialisme. Itu berarti bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka , mandiri dalam menentukan nasibnya sendiri. Berdikari di bidang ekonomi artinya Negara dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan keadilan,tidak tergantung pada impor dan bantuan apalagi utang dari Negara asing. Kepribadian dalam kebudayaan artinya bangsa Indonesia mengembangkan kebudayaan dari nilai-nilai Indonesia yang terbentuk sepanjang sejarahnya dari zaman pra sejarah, zaman Hindu, zaman Islam dan zaman modern. Di samping itu bangsa Indonesia membentuk kebudayaannya berdasarkan ideologi Pancasila.
Trisakti masih relevan diajarkan pada kader Partai. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa pemenang semakin kaya dan pecundang semakin miskin. Indonesia merupakan contoh negara yang dirugkan oleh globalisasi. Krisis moneter yang terjadi sejak 1997 masih berlanjut hingga sekarang, sementara utang pemerintah sampai maret 2005 telah mencapai Rp 1.282. 000.000.000.000, 00 (seribu dua ratus delapan puluh dua trilyun ) yang mau tidak mau menjadi beban bagi 220 juta penduduk (Kompas, 21 September 2005). Dari penduduk sebanyak itu 40 juta diantaranya adalah penganggur. Menurut data BPS 20 September 2005 ada 15,5 juta keluarga atau 62 juta jiwa yang termasuk kategori miskin sehingga harus mendapatkan subsidi BBM (Kompas, 17 September 2005). Thailand yang menjadi pemicu krisis moneter dunia sejak kejatuhan nilai mata uang Bath terhadap US $ pada 2 Juli 1997 sudah pulih dari krisis dan meneruskan langkahnya sebagai macan Asia.

MDG’s

Pertemuan negara-negara maju di Lyon untuk mengatasi kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin lebih merupakan lips service belaka. Kemiskinan terus bertambah bahkan semenjak itu. ADB menyatakan 1,9 miliar penduduk di Asia harus hidup dengan biaya kurang dari 2 dollar AS per hari. Karenanya PBB mencanangkan “Tujuan Pembangunan Abad Milenium” (Millenium Development Goals) yang harus dicapai 191 negara anggotanya pada tahun 2015. Ada delapan target yang harus dicapai, yaitu (1) Meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; (2) Mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) Meningkatkan kesetaraan jender dan memberdayakan wanita; (4) Mengurangi tingkat kematian anak; (5) Memperbaiki kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lainya; (7) menjamin kelestarian lingkungan hidup; (8)Membentuk sebuah kerjasama global untuk pembangunan (Kompas, 4 Agustus 2005).
Menurut Sachs, yang merupakan Direktur proyek Millenium PBB, saat ini kemiskinan ekstrem merupakan tentangan yang harus bisa diatasi oleh pembangunan ekonomi dan para ilmuwan. Menurutnya, di planet ini antara 8 hingga 11 juta orang meninggal setiap tahunnya-sebagian besar anak-anak-karena terlalu miskin untuk bisa bertahan hidup. Ini berarti sekitar 20.000 orang meninggal setiap harinya karena kemiskinan ekstrem.Lebih lanjut Sachs mengatakan bahwa negara-negara maju sepakat untuk mengurangi kemiskinan ekstrem, terutama di Afrika. Namun sejak 11 September 2001 mereka lebih bersatu untuk memerangi terorisme. Rekomendasi yang diberikan Sachs untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan menekankan pembangunan transportasi, pengadaan pangan, pemberantasan penyakit dan pendidikan (Kompas, 5 agustus 2005).

Internalisasi Nilai-nilai

Menghadapi ketimpangan dalam kehidupan antar bangsa para kader perlu mengembangkan dirinya, memberdayakan potensi kepribadiannya antara lain dengan memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam ideologi Pancasila.
Ideologi dalam teori berisi cita-cita yang terstruktur, pengetahuan dan keberpihakan ( Ginting: 2006: 2) . Sedangkan dalam praktek merupakan penuntun dan tolok ukur dalam penyelenggaraan Negara, bingkai tatanan kehidupan masyarkat dan arah dinamika politik, ekonomi dan sosial (2006). Adapun elemen-elemen ideologi adalah : deskripsi, analisis, cita-cita, negasi (penolakan) dan preskripsi (jalan ke luar).
Dilihat dari pohon besar ideologi yang berasal dari sosialisme dan liberalisme, maka Pancasila dapat digolongkan dalam ideologi nasionalisme, yaitu ideologi tentang adanya suatu rasa, semangat, dan wawasan tentang identitas diri yang mengikat sekolompok orang yang menamakan dirinya “bangsa”, dengan kedaulatan sebagai unsur esensial yang melekat (2006).
Bangsa menurut Ernest Renan (Soekarno, 2001: 189)) adalah le desir d’etre ensemble (persatuan yang muncul dari kehendak bersama), sedangkan Otto Bauer mengatakan “eine nation ist eine aus schiksalsgemeinschaft erwachsene charactergemeinschaft” (bangsa adalah adalah persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Soekarno beranggapan teori tersebut sudah tua (verourderd) dan menggunakan teori geopolitik yang berpandangan bahwa bangsa adalah persatuan manusia dengan tanah airnya, persatuan tempat dengan orang. Hatta (1991) pun menyetujui pandangan geopolitik seperti Soekarno meskipun dia berpandangan teori geopolitik pun memiliki kelemahan jika diterapkan bagi Indonesia .
Dalam rangka pembentukan karakter siswa pandangan-pandangan kebangsaan tersebut oleh para guru dikaitkan dengan kedaulatan di bidang politik untuk membangun jiwa kemandirian.
Dengan kemandirian itulah eksistensi bangsa dan standar kesejahteran yang tinggi dari setiap warga Negara dapat dijamin pencapaiannya. Membangun kemandirian bangsa juga memiliki arti meningkatkan integritas dan kapabilitas bangsa untuk dapat secara cerdas menentukan pilihan dan mewujudkan cita-cita membangun Negara modern, yang bertumpu pada kemampuannya sendiri, seraya mewujudkan dirinya sebagai warga dunia yang terhormat dalam pergaulan internasional. Kemandirian dengan semangat globalisasi dan modernisasi.
Kemandirian politik tidak dapat dilepaskan dengan kemandirian ekonomi, sehingga para guru menganggap perlu menanamkan kemandirian ekonomi pada siswa dengan mencermati adanya bentuk penjajahan baru yakni penjajahan ekonomi. Hal ini dibenarkan oleh siswa yang mengatakan bahwa negara Indonesia sudah mengalami penjajahan ekonomi.
Ciri negara terjajah adalah :sumber daya alam dikuras habis; rakyat dipekerjakan dengan paksa atau setengah terpaksa, dengan upah sekedar untuk dapat hidup hari itu agar tidak mati; Negara terjajah dijadikan sarana perputaran uang penjajah (penanaman investasi); Negara terjajah dijadikan pasar Negara penjajah; Rakyat dibiarkan “hidup segan mati tak mau”.
Perlawanan yang dapat dilakukan adalah dengan melawan agenda-agenda globalisme secara umum dan yang paling merugikan rakyat, lawan ideologi yang melatarbelakanginya ,ubah globalisme menjadi Internasionalisme serta jangan hanya menjadi bangsa konsumtif.

Di samping perlu berdaulat di bidang dan ekonomi maka siswa pun perlu “Berkepribadian Dalam Kebudayaan”. Penanaman nilai-nilai kebangsaan dalam kebudayaan adalah untuk membentuk manusia yang berkepribadian nasional yang sanggup hidup dalam globalisasi dengan berpegang pada identitas / jatidiri kebangsaan yaitu dengan berpegang pada sistem nilai bangsa Indonesia.Sistem Nilai Bangsa Indonesia tersebut oleh Sukarno disebut Pancasila yaitu : Bisa juga disebut Trisila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sosio-nasionalisme dan sosio- demokrasi. Bisa juga disebut Ekasila, yakni Gotong Royong atau semua untuk semua.
Gotong Royong menurut Soekarno (2001:203) adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia .
Para guru juga menanamkan karakter kerakyatan pada Kebudayaan Indonesia dan menghindari sifat hedonistik :
Kebudayaan bukan hanya berupa kesenian. Itu adalah pandangan yang sempit. Kebudayaan sangat luas menyangkut politik, ekonomi, sosial, teknologi, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Kebudayaan Indonesia bukan seperti yang dikatakan Koentjaraningrat yaitu merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi budaya yang dicita-citakan seperti dikatakan Sitor Situmorang. Kebudayaan global dicirikan oleh Fun, Fashion, Film. Pengaruh kebudayaan Barat dalam fashion sangat nampak di kota besar seperti Bandung.
Pandangan para guru tentang kebudayaan ini dibenarkan oleh Kluchohn (Koentjaraningrat, 1980:7) yang menyebutkan adanya cultural universals yaitu: sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan religi.
Kebudayaan Indonesia bersifat kerakyatan. Kader Partai juga harus bersifat kerakyatan, dalam arti hidup merakyat. Misalnya memilih untuk mengkonsumsi makanan di warung-warung daripada makanan Barat seperti hamburger, hotdog dan lain lain. Dengan mengkonsumsi produk dalam negeri maka usaha dan industri kecil menengah akan tumbuh.
Asas Kerakyatan (Hatta) mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum (recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan-aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat . Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Kebudayaan dalam pendidikan umum memiliki akar yang kuat. Ideal-ideal kebudayaan Yunani seperti sejak dulu digunakan dalam konteks pendidikan umum yaitu Septem Artes Liberales (tujuh mata pengetahuan umum) yang terdiri dari Trivium (gramatika, dialektika, dan retorika) dan Quadrivium (aritmatika, geometri, astronomi dan musik).
Internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang dikaitkan dengan kedaulatan serta kebudayaan tidaklah mudah. Dari pengamatan kelas, peneliti melihat suatu realitas yang menunjukkan bahwa globalisasi telah mempengaruhi pola pikir siswa yang kemudian berimbas pada cara pandang terhadap sikap, perilaku, gaya hidup dan pola konsumsi. Persepsi bahwa untuk menjadi pejabat di eksekutif maupun legislatif harus melakukan praktek money politic sudah merata di kalangan siswa. Guru dan siswa yang peneliti minta pendapatnya mengenai money politic membenarkan hal tersebut.


Upaya Mengatasi Hambatan

Upaya untuk mengatasi hambatan terhadap internalisasi tersebut adalah dengan mengajarkan Trisakti sebagai upaya pemberdayaan (empowering). Pemberdayaan (empowering) ini diperlukan karena dari ke hari ketergantungan bangsa Indonesia pada produk asing dalam bentuk pemikiran, barang-barang dan jasa, keuangan, pertahanan, dan budaya semakin menguat. Pada masa lalu Soekarno menyatukan bangsa-bangsa Asia Afrika dan Amerika Latin, Soeharto menganjurkan penggunaan produk dalam negeri, Habibie mengembangkan industri dirgantara, dan Megawati memutuskan hubungan dengan IMF. Itu semua merupakan tonggak penting dalam proses pemberdayaan bangsa menuju kemandirian. Hal-hal inilah yang ditanamkan pada siswa agar mereka melanjutkan upaya tersebut dalam langkah-langkah nyata pada kehidupan sehari-hari.
Guru memotivasi siswa untuk menggali kekayaan budaya bangsa dan mengembangnya. Betapa banyak warisan bangsa kita yang mendapatkan penghargaaan dunia (UNESCO) karena dianggap sebagai world heritage seperti candi dan wayang, beberapa lainnya menjadi komoditas yang dipatenkan Negara lain seperti batik oleh Malaysia dan tempe oleh Jepang. Bahkan Singapura yang kosmopolit menggunakan idiom budaya nusantara seperti batik dan keris seperti digunakan maskapai penerbangan resmi (flag carrier) mereka. Pada umumnya siswa dapat memahami dan mengembangkan apa yang disampaikan guru, dengan mengatakan bahwa memang bangsa kita sudah mengalami kolonialisme baru yang berkedok globalisasi. Untuk menghadapi fenomena globalisasi maka Partai melakukan upaya untuk memperkuat kepribadian kader dengan beberapa agenda di bidang budaya. Kongres PDI Perjuangan di Bali menyatakan bahwa agenda Partai di bidang kebudayaan adalah memperkokoh identitas nasional, mengembangkan multikulturalisme dan memberdayakan masyarakat adat (indigenous people).
.
Upaya mengokohkan identitas nasional, mengembangkan multikulturalisme dan memberdayakan masyarakat adat memberi peluang bagi pencarian akar sub kultur budaya daerah, yang memiliki kebijakan (wisdom) dan nilai (value) yang telah teruji oleh perjalanan waktu. Hal demikian merupakan sebuah fenomena paradoks globalisasi di mana globalisasi mendorong pula munculnya sentimen ethno nasionalisme. Bentuk negatifnya terlihat dengan runtuhnya Uni Sovyet menjadi Negara-negara kecil (banana country). Tetapi jika dikelola secara positif dan kreatif maka nilai-nilai lokal bisa memberikan sumbangan bagi perkembangan nilai-nilai kebangsaan.
Efektifitas nilai-nilai lokal dalam mengembangkan kepribadian dapat dilihat perilaku masyarakat adat dalam seluruh aspek-aspek kehidupannya seperti di Kampung Naga, Kampung Pulo dan tempat-tempat lainnya di Jawa Barat. Nilai-nilai lokal dapat mempertahankan keharmonisan kehidupan warga, melestarikan lingkungan hidup, menjaga kelestarian sumber daya dan energi yang berasal dari alam serta menunjukkan rasionalitas dalam kehidupan berekonomi sekedar memenuhi kebutuhan hidup minimalnya. Dalam beberapa kasus nilai-nilai lokal ini sekaligus bersintesa dengan nilai-nilai keagamaan seperti terjadi di Kampung Mahmud. Para kader yang telah mengikuti kursus kader mengembangkan penghargaan akan nilai-nilai lokal ini dengan membentuk paguyuban kesenian tradisional.
Dalam konteks modernitas budaya gotong royong dapat mengefisienkan perusahaan dan dalam konteks pemerintahan dapat mengefisiensikan anggaran seperti ditunjukkan di Kabupaten Subang. Para kader Partai menyadari perlunya mengembangkan kegotongroyongan ini dengan membentuk koperasi dan mengangkat kegotongroyongan sebagai nilai dalam berpolitik. Hal ini diakui oleh pimpinan Partai yang peneliti mintai pendapatnya.