Jumat, 07 Desember 2018

Ujung Tombak Negara



Pendidikan dan Kebudayaan Ujung Tombak Negara

2 Mei 2018 Nasional, Umum10 Views


Ket Foto: Dr. Harjoko Sangganagara M.Pd

Suaraborneo.com – Ketua Bidang Pendidikan DPN ISRI, Dr Harjoko Sangganagara MPd, mengatakan melalui UU No 7/1994 Republik Indonesia meratifikasi kesepakatan WTO (World Trade Organisation) yang di dalamnya ada GATS (General Agreements on Tariff and Services) kesepakatan umum di bidang tarif dan pelayanan yang di dalamnya mencakup 12 pelayanan global yang dibolehkan beroperasi di Indonesia atau sebaliknya. Dari 12 pelayanan itu pelayanan pendidikan termasuk di dalamnya. Sejak itu sudah banyak sekolah dan guru asing masuk ke negri ini. Kini beberapa Perguruan Tinggi LN kelas dunia akan masuk ke sini disertai dosen-dosennya.

Di sisi lain PT dan dosen kita juga bisa memiliki peluang go global. Jika hal itu bisa dilakukan sebenarnya kita bisa menawarkan nilai nilai Indonesia bagi dunia seperti Pancasila dan Islam yang moderat. Hal itu sebenarnya sudah dilakukan Indonesia saat mengirim para guru ke negara tetangga di masa lalu, ujarnya.

Demikian juga dengan pengiriman guru-guru kesenian ke berbagai negara yang mengajarkan seni tari, wayang, gamelan, angklung dan lain lain. Dalam era soft politic seperti sekarang peran pendidikan dan kebudayaan seharusnya menjadi ujung tombak negara. Karena investasi terbaik pada masa berkembangnya artifisial intellegence adalah human invesment yang menjadikan human capital sebagai modal yang paling berharga.

Harjoko menekankan yang terpenting negara mengutamakan kepentingan nasionalnya. Sementara di sisi lain kita pun harus ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia. Kehadiran Grand Syaikh Universitas Al Azhar ke Indonesia merupakan sebuah legitimasi nilai nilai Indonesia.

Sudiyanto, M.Pd, Ketua II Bidang Pendidikan DPN ISRI juga menyampaikan produk pendidikan harus menghasilkan SDM yang mampu menjaga NKRI,  berbudaya Pancasila.

Sudiyanto menyatakan mencerdaskan bangsa adalah tugas pemerintah, oleh karenanya bantuan pemerintah kepada penyelenggaraan Pendidikan oleh swasta perlu di kaji ulang karena penyelenggaraan pendidikan swasta memungut dobel counting atau dua pintu, memungut/minta rakyat, ia juga minta pada pemerintah, pada hal dana dari pemerintah berasal dari rakyat juga, sedangkan sekolah negeri hanya satu pintu yaitu pemerintah.

Ia juga menyoroti ketimpangan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (education density), sebagai catatan bahwa seorang siswa SD di pulau Jawa & Bali hanya membutuhkan jarak rata-rata ke sekolah 1,5 km dan SMP hanya 5,94 km. Sedangkan, siswa di regional Nusa Tenggara, Maluku dan Papua membutuhkan jarak 49,06 km dan 168,22 km.

Ketimpangan yang sangat mencolok ini, sebaiknya menjadi perhatian pemerintah, selain ketimpangan tenaga pendidik, kemampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan dan kualitas pendidikan, walaupun pembagian urusan tersebut berdasarkan UU 23/2004 kewenangan untuk mengatur dan mengurus bagian urusan bidang ini ada di Kabupaten. Namun yang jadi persoalan saat ini, daerah belum mampu karena kapasitas fiskalnya tidak cukup atau juga karena pendidikan bukan prioritas pemerintah, atas kondisi seperti ini, pemerintah diharapkan intervensi (dalam kerangka NRI) meskipun bukan kewenangannya menurut UU, Namun hal tersebut masih bisa di intervensi melalui dana alokasi khusus bidang pendidikan, terutama untuk daerah-daerah yang kontribusi PADnya di bawah 15% terhadap APBD ujarnya

Harjoko menambahkan oleh karena itu pemerintah melalui Kemenkeu, Bappenas, Kemendagri dan Kementerian Teknis duduk bersama untuk memecahkan persoalan tersebut. contoh case nya adalah pembagian urusan Pemerintahan konkuren ini belum disertai dengan rincian yg teknis sehingga muncul kerancuan dan ketakutan di daerah-daerah yaitu di daerah2 kab/kota melaksanakan WAJAR 12 tahun yg berarti sampai menjangkau SMA. Konsekuensinya kan harusnya dialokasikan biayanya. Tetapi ketika akan dianggarkan terkena aturan batas wewenang hanya sampai SMP. Kemudian di sisi lain faktanya di Kab/kota banyak gedung-gedung SMA yg rusak parah. Tetapi tidak bisa direhab dg APBD Kab/kota karena provinsi bilang itu kewenangannya, sementara di provinsi tidak dialokasikan dalam APBD Provinsi, hal spt ini membuka ruang dan peluang KKN. (adw/isri)

Selasa, 04 Desember 2018

Guru Sebagai Simbol Pancasila

 Pendidikan

ISRI: Guru Harus Berperan Sebagai Simbol Pancasila

25/11/2017 - 23:36 | Views: 4.02k
ILUSTRASI: Kegiatan belajar mengajar. (FOTO: wawasanpendidikan)
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Bidang Pendidikan Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI), DR. Harjoko Sangganagara, MPd., menekankan bahwa peran guru pada era revolusi mental saat ini sangat menentukan untuk membentuk masa depan bangsa.  
"Pertama guru harus berperan menjadi simbol Pancasila yang hidup di tengah-tengah siswanya," katanya dalam sebuah pernyataan resminya, di Jakarta, Jumat (24/11).
Seorang guru, tambahnya, juga harus mampu menghidupkan semangat kebangsaan yang sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan NKRI.
Dia meminta agar guru unutk mampu mendorong seluruh anak didiknya untuk tampil dengan penuh percaya diri dengan segenap kemampuannya di kancah persaingan global.
"Selain itu, seorang guru memiliki kemampuan untuk menumbuhkan nilai-nilai moral yang diperlukan untuk hidup sebagai manusia maupun bangsa merdeka yang berperadaban. Seorang guru juga harus punya kemampuan untuk menghidupkan jiwa siswa untuk menghargai tanah airnya dengan segala kekayaannya dan mampu mengelolanya untuk kesejahteraan bangsa sambil menjaganya tetap lestari," tambahnya.
Di hari Guru Nasional yang jatuh pada hari ini, Harjoko juga menekankan peran dasar guru sebagai sumber inspirasi dalam memajukan ilmu teknologi dan seni. Di samping peran penting lain untuk menumbuhkan dan membina jiwa satria dan perwira pada diri siswanya.
"Seorang guru harus mampu menyiapkan siswanya untuk optimistis menghadapi masa depan.
Selamat Hari Guru Nasional, Jadilah Guru di Masa Kebangunan!" pungkasnya. (*)

Pendidikan Yang Mencerdaskan Bangsa

Gelar Diskusi Tematik, ISRI: Pendidikan Nasional Masih Jauh dari Pancasila

Selasa, 04 Desember 2018 | 21.54 WIB

Bagikan:
Diskusi Tematik ISRI
Editorial.co.id - Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) mengadakan Diskusi Tematik V dengan Tema “ Pendidikan Yang Mencerdaskan Bangsa”. Adapun sebelum kegiatan para pembicara dan peserta menikmati pemeriksaan dan konsultasi kesehatan gratis yang di fasilitasi Armando, yang merupakan Penasehat DPC ISRI Kota Bekasi.

Dalam Diskusi yang dipandu oleh Dr. Tarto Sentono, ST., M.Pd., Wakil Ketua Umum ISRI yang juga Mantan Panitera Taman Siswa Yogyakarta ini dalam paparan awal diskusi mengatakan pendidikan nasional masih jauh dari Pancasila, pendidikan nasional harus mampu membangun komitmen kebangsaan, setia kepada bangsa dan negara  yang berdasarkan  Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan nasional haruslah dapat  mencerdaskan  bangsa dan menjadikan masyarakat Indonesia yang merdeka, mandiri, jujur, berbudi pekerti luhur, tanpa dendam, dan toleran, mempunyai komitmen pribadi dan kebangsaan. maka oleh karena itu pentingnya pendidikan karakter, pendidikan yg memiliki efek positif sebagai dasar pembentukan kepribadian, pendidikan yg mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan membentuk peradaban yang mana fenomena saat ini sangat jauh dari hal tersebut misal koruptor tertangkap KPK masih bisa senyum - senyum, sekolah negeri memisahkan ruang parkir antara laki-laki dan perempuan, kurikulum yang berubah ubah, banyaknya juara di lingkup dunia namun belum ada produksi nasional untuk kehidupan masyarakat sehari-hari terkait teknologi serta sekolah seharusnya tidak berbayar karena merupakan layanan publik negara.

Ir. Rudianto Handako, IPM., Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia menyampaikan bahwa Bangsa yang Cerdas yang kuat Tehnologi nya seperti Korea, China India, Jepang, Jerman, USA.

Pentingnya bandingkan dengan negara lain yang mana umumnya dasar inovasi telah ditanamkan sejak usia dini dan untuk mendorong Inovasi perlu iklim yang menyebabkan Inovasi dan Keberpihakan.
Iklim ini menjadi penarik Pendidikan Cerdas., misal China, Di tingkat sekolah dasar, hanya diberikan mata pelajaran Bahasa China, Bahasa Inggris dan Matematika., USA, Di tingkat sekolah dasar, dikembangkan kerjasama, bukan suasana kompetisi untuk peringkatan., Jepang, Di tingkat sekolah dasar, selain kerjasama juga belajar menghargai yang kalah.

Selain itu Rudianto menyampaikan pentingnya pendidikan etika di segala bidang dan sertifikasi kompetensi akan menjadi modal utama bagi dunia kerja.

Pembicara HM. Bambang Sulistomo, S.IP., M.Si., Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus Jakarta dalam paparannya mengatakan bahwa kuantitas dan kualitas adalah masalah klasik dalam dunia pendidikan nasional.

Putra Pahlawan Nasional Bung Tomo ini juga mengatakan bahwa kita sekarang sedang mengalami krisis moral etika, krisis hukum sehingga diperlukan pendidikan nasional yang menyangkut integritas manusia maka pentingnya pendidikan moral dan etika sesuai pembukaan UUD 1945, oleh karenanya Revolusi Mental yang sedang dijalankan harus bersumber dan menyinggung Pembukaan UUD 1945 ujar Pembicara dari Untag Jakarta yang tergabung dalam Perhimpunan Perguruan Tinggi Swasta Nasionalis Indonesia (P2TSNI) ini.

Dr. Soenarto Sardhidatmodjo. MBA. MM., Rektor Universitas Bung Karno dalam paparannya mengatakan bahwa pendidikan nasional belum mampu membangun Ke-Indonesiaan-an, artinya pendidikan nasional masih jauh dari ajaran-ajaran Bung Karno yangmana Soebadio Sosrosatomo pernah mengatakan Sukarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Sukarno.

Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Siswa Nasional Indonesia ini mengatakan bahwa ada 3 penyakit yang sedang diderita bangsa ini yaitu pertama; korupsi, kedua; menurunnya keyakinan kepada Pancasila, ketiga; Narkoba.

Sedangkan Dr. Harjoko Sangganagara, M.Pd., Ketua Bidang Pendidikan ISRI memaparkan pendidikan melalui kesejarahan yaitu latar belakang munculnya politik etis karena tanam paksa (Cultuur Stelsel) yang dikarenakan untuk mengisi kekosongan kas. Pemikiran Politik etik berdasarkan tiga prinsip pendidikan, Pengairan dan perpindahan penduduk dikenal dengan  trias van deventer, yang mana pemerintah hindia mendapat bantuan sebesar 40 juta gulden dari pemerintah belanda untuk menjalankan politik etik namun saat itu pemerintah hindia belanda gagal membuat kebijakan yang mendorong industrialisasi, pertumbuhan ekonomi dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi berkaitan dengan projek infrastruktur saja
yang mana pemerintah hindia belanda mampu jaringan rel kereta api dan trem mencapai 7.425 km, namun projek terkait kesejahteraan adalah projek pengairan namun projek ini mangkrak setelah menghabiskan 17 juta gulden, yang mana saat itu rencana pembangunan pemerintah hindia belanda yang sangat besar dan banyak bahkan mungkin pembangunan saat ini tidak kurang dari 25% dari rencana pembangunan pemerintah hindia belanda saat itu. Pemerintah hindia belanda juga kalah berpacu dengan jumlah penduduk Jawa walau ada eksperimen transmigrasi.

Terkait dengan pendidikan pada era politik etik terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan elite, pendekatan Kerakyatan dan sekolah - sekolah alternatif serta munculnya kaum intelektual seperti Raden Ajeng Kartini, Haji Agus Salim, Pangeran Aria Husein Djajadiningrat dan Sukarno.

Politik etik juga melahirkan tokoh penggerak perubahan seperti Abdul Rivai melalui penerbit bintang hindia dan Wahidin Sudirohusodo yang melahirkan pendirian Budi Utomo yang merupakan titik awal munculnya nasionalisme.

Harjoko mengatakan bahwa pendidikan nasional harus membangun karakter kebangsaan atau Ke-Indonesiaan-an, selain itu pentingnya penanaman Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Pandangan Hidup Bangsa dalam dunia pendidikan serta pendidikan etika atau Budhi pekerti yang membentuk integritas manusia Indonesia ujar Pengamat Pendidikan ini. (ril)