Selasa, 24 Juli 2012

Jokowi dan Strategi Leapfrogging



Oleh Harjoko Sangganagara | Investor Daily. Minggu, 15 Juli 2012 | 0:35

Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta telah melucuti kredibilitas lembaga survei. Betapa melesetnya analisis dan prediksi lembaga survey terkait dengan hasil Pemilukada DKI.

Tampaknya industri polling dan lembaga survei telah tertampar oleh fenomena tipping point yang kini digenggam oleh Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Jika kita simak buku best seller karangan Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point, fenomena itu akan tergambar secara gamblang. Pada prinsipnya fenemona tipping point adalah saat ajaib ketika sebuah ide, perilaku, pesan, atau produk bisa menyebar seperti virus ganas yang mampu menduplikasi dirinya secara deret ukur.

Untuk mengenali tipping point secara mendalam, sebaiknya kita memahami istilah The law of the few (hukum tentang yang sedikit/ kecil), The stickiness (faktor kelekatan), dan The Power of context (kekuatan konteks). Tiga unsure itu akan menular, membesar, dan radikal.

Jokowi memiliki kar ya atau produk yang disasar dengan tepat yang menyebabkan terciptanya tren atau popularitas yang luar biasa. Salah satunya adalah baju kotak- kotak sebagai ikon kampanye. Sepak terjang Jokowi selama ini juga telah menguraikan beberapa fenomena tipping point dalam berbagai bentuk.

Fenomena itu telah mengubah cara berpikir semua pihak di negeri ini tentang bagaimana idealnya menyebarkan sebuah ide dan melakukan marketing politik secara efektif dan berbiaya murah. Mengingat selama ini betapa besarnya ongkos politik bagi peserta pemilukada.

Fenomena Getok Tular
Pasangan Jokowi-Ahok selama kampanye larut di tengah kehidupan rakyat secara apa adanya dengan pemikiran yang sangat generik, sehingga semuanya bisa dicerna oleh rakyat kecil sekalipun. Strategi kampanye Jokowi yang rendah hati dan mengedepankan nilai gotong royong telah melahirkan fenomena word of mouth atau getok tular.

Strategi kampanye Jokowi mengandung sesuatu yang bernama faktor kelekatan dan kekuatan konteks. Faktor kelekatan adalah sejumlah cara tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat. Faktor kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi langsung dan berulang-ulang untuk memicu epidemik positif. Strategi kampanye dengan fenomena word of mouth atau getok tular itu sesuai dengan teori Gladwell yang mengkaji tren-tren dalam dunia untuk menemukan petunjuk-petunjuk tentang cara membuat sebuah ide menjadi sangat menular.

Hasil Pemilukada DKI Jakarta putaran pertama juga mengindikasikan bahwa rakyat kini membutuhkan kepemimpinan yang transformatif, yakni kepemimpinan yang tidak sekadar kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan daya kreativitas. Tampaknya kepemimpinan yang transformatif telah diidam-idamkan oleh warga Ibu Kota. Apalagi masa depan suatu bangsa ditentukan oleh sumber daya kreatifnya.

Ekonomi kreatif akan menjadi pilar kelangsungan hidup bangsa. Tentunya, mulai sekarang para pemimpin bangsa mesti berpikir keras dan cerdik. Selain itu, mereka harus memiliki konsep pembangunan yang hebat untuk mengarahkan dan memfasilitasi rakyat untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang menjadi andalan masa depan. Ekonomi kreatif yang berbasis lokalitas akan menjadi mata pencaharian sebagian warga negara. Dengan demikian ekonomi kreatif harus bisa bersaing secara global.

Konsepsi dan langkah inovasi dari Jokowi yang ditumpahkan dalam entitas Solo Technopark telah berlangsung secara sukses. Ini akan menjadi modal kepercayaan rakyat bahwa dirinya merupakan pemimpin yang transformatif. Dukungan Jokowi terhadap mobil Esemka hasil karya anak negeri semakin memperbesar kapasitas kepemimpinan transformatif itu.

Pemikiran dan agenda aksi Jokowi terkait dengan kreativitas dan daya inovasi warga kota sejalan dengan pemikiran Lester Carl Thurow, seorang guru besar dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat. Dia mengatakan, di masa mendatang peran sumber daya alam sebagai modal dasar untuk keunggulan suatu bangsa akan berkurang bahkan akan habis. Peran itu akan berada di tangan sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif.

Strategi Lompatan Katak
Kepemimpinan transformatif Jokowi juga mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan daerah agar sesuai dengan semangat zaman. Bahkan boleh dikatakan strategi pembangunan Jokowi lebih membumi dan lebih rasional dibandingkan dengan strategi pembanguan pemerintah pusat yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Strategi pembangunan Jokowi berhasil mentransformasikan pasar tradisional di Solo menjadi entitas ekonomi yang modern dan berdaya saing. Tak mengherankan jika Jokowi kemudian berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu walikota terbaik di dunia. Sementara itu, strategi MP3EI yang terkesan eksklusif dan texbook thinking itu hingga kini belum menjadi strategi yang ampuh untuk meningkatkan nilai tambah bangsa.

MP3EI masih menjadi barang asing bagi rakyat dan kurang menarik bagi kalangan investor. Kita bisa analogikan strategi pembangunan Jokowi yang progresif dan transformatif di atas dengan istilah leapfrogging atau lompatan katak. Menurut Murphy, istilah leapfrogging pada mulanya digunakan untuk menunjukkan betapa cepatnya dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang dalam mengejar kemajuan teknologi dan industri.

Dalam konteks lompatan katak di atas, jika Jokowi nantinya terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta, ada baiknya ia harus membebaskan dirinya dari beban dan jeratan partai politik. Ini penting, agar dia bisa memperbaiki strategi sebelumnya, untuk selanjutnya mampu melakukan lompatan besar demi kemajuan DKI Jakarta.

Senin, 02 Juli 2012

Eupsychian Management dalam BUMN


Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor.  Kamis, 14 Juni 2012 | 10:31

Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, hanya 30% badan usaha milik negara (BUMN) mendapatkan proyek dengan cara jujur. Selebihnya, para pengelola BUMN itu kongkalikong alias menyuap calon mitra kerja untuk mendapatkan proyek.

Kondisi BUMN yang rawan suap dan intervensi politik itu disebabkan oleh pola rekrutmen direksi dan komisaris yang mengabaikan aspek moralitas, kejiwaan, dan gaya hidupnya. Padahal, betapa pentingnya aspek moralitas dan kejiwaan dari pengelola BUMN.

Arti penting kejiwaan dan moralitas seorang eksekutif juga sangat relevan dengan kondisi korporasi global saat ini. Para eksekutif perusahaan multinasional akhir-akhir ini memang sering dituding culas dan tidak peka terhadap kondisi yang tengah mendera perekonomian global.

Tak kurang dari Presiden Amerika  Serikat Barack Obama sering mengecam sikap para eksekutif perusahaan yang suka bancakan bonus, padahal perusahaannya minta bailout. Publik di sana juga berang melihat gaya hidup supermewah para chief excecutiv officer (CEO) yang notabene adalah pengemis dana talangan.

Jangan Hanya Kulitnya
Moralitas dan kejiwaan para eksekutif BUMN di negeri ini harus segera dibenahi. Searah dengan tren global, pentingnya pengelola BUMN yang memiliki tingkatan eupsychian management. Istilah eupsychian berasal dari akar kata eu yang berarti baik dan psyche yang berarti jiwa. Eupsychian management menjadikan korporasi bisa survive di tengah krisis dan semakin kompetitif dalam persaingan global.

Beberapa korporasi yang boleh dikatakan kebal krisis adalah korporasi yang para CEO-nya memiliki tingkatan eupsychian management yang sudah teruji. Mereka antara lain Google, Apple, dan IBM. Jiwa korporasi Google tercermin dalam slogan “Don’t be evil”, yang mengokohkan dirinya dalam tren ekonomi dunia ke knowledge based economy.

Selama ini, Menteri BUMN Dahlan Iskan kerap mencuri perhatian public dengan pernyataannya yang khas. Sebaiknya gaya manajemen Dahlan Iskan untuk membenahi BUMN jangan hanya menyentuh kulit-kulitnya saja. Perihal praktik suap yang banyak dilakukan oleh pengelola BUMN, proses hukum sebaiknya diterapkan secara keras kepada mereka.

Lebih dari itu, proses perekrutan dan mekanisme seleksi pengelola BUMN harus dilakukan secara fair dan kredibel. Cara Dahlan Iskan yang suka main tunjuk pengelola BUMN dengan alasan masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II yang tinggal sebentar lagi memang tidak bisa diterima akal sehat. Kinerja BUMN hingga kini masih belum membaik secara signifikan, tak sebanding dengan total aset seluruh BUMN. Kontribusi melalui dividen yang mencapai Rp 29,9 triliun, pajak Rp 100,7 triliun, dan privatisasi Rp 2,1 triliun perlu diteliti lebih lanjut.

Tak bisa dimungkiri lagi bahwa kondisi BUMN di negeri ini sedang diwarnai oleh perilaku direksi dan komisaris yang gemar menyembunyikan realitas dan mengabaikan fakta buruk yang harus dihadapi. Pada era globalisasi sekarang ini sebetulnya sebuah BUMN tidak perlu dikelola oleh sosok yang kuat atau populer. Yang lebih dibutuhkan adalah pengelola BUMN yang tidak banyak bicara, tidak terlibat politik praktis, tidak suka mengeluh dan berani mendobrak birokrasi yang eksistensinya membelit jalannya korporasi.

Bahkan dalam postulat bisnisnya yang saat ini menjadi referensi utama para CEO kaliber dunia, Jack Welch secara tegas menyerukan agar para eksekutif harus bisa membebaskan diri dari belenggu birokrasi. Celakanya, pada era sekarang ini birokrasi BUMN justru menjadi semakin tambun. Birokrasi yang tambun itu, selain tidak efektif, juga bisa membangkrutkan keuangan perusahaan.

Kredo kepemimpin BUMN yang efektif adalah yang kuat mengonsumsi fakta dalam menjalankan tugasnya, bukan yang lihai merekayasa citra dirinya dengan hal-hal klise. Banyak pengelola BUMN saat iniyang menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya. Filosofi “Menyelamatkan pasien Cito” yang dulu merupakan visi dan misi Dahlan Iskan untuk membenahi ketenagalistrikan nasional masih relevan dijalankan. Istilah pasien Cito tersebut mengibaratkan BUMN seperti pasien yang harus segera dirawat secara intensif.

Jauhi Konflik Kepentingan
Konsepsi dan kebijakan tentang postur jabatan pengelola BUMN sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jumlah komisaris dan direksi BUMN pada saat ini masih terlalu banyak. Ironisnya, BUMN yang tergolong tidak sehat karena sepanjang waktu tidak bisa mencetak keuntungan juga dijejali oleh sederet komisaris dengan gaji tinggi.

Proses penjaringan komisaris BUMN pada saat ini juga seperti “arisan” bagi para mantan menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan para tim sukses pemilu presiden. Proses itu jauh dari sifat transparansi dan tanpa ukuran yang jelas. Kinerja para komisaris BUMN jadinya sulit diukur. Apalagi mereka tidak bekerja secara teratur. Kedudukan dan fungsi komisaris di BUMN dinilai oleh banyak pihak justru sering menjadi ganjalan.

Masih relevan survei terhadap ratusan perusahaan multinasional yang dilakukan oleh majalah Fortune. Hasil survei itu menyatakan bahwa 40% dewan pengawas atau komisaris di perusahaan multinasional hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Memang ada langkah reformasi BUMN, namun semuanya masih berjalan di tempat karena terbelit oleh persoalan conflict of interest dari pengelola.

Penerapan praktik good corporate governance tidak bisa berjalan dengan baik dan hanya sekadar menjadi hiasan. Kinerja komisaris BUMN terlihat mandul karena kurang memiliki kompetensi bisnis dalam mengelola perusahaan. Kondisinya sangat kontradiktif dengan definisi corporate governance yang dirumuskan Thomas L Wheelen & J David Hunger, yakni bagaimana pihak-pihak inti yang berkepentingan dengan perusahaan saling berinteraksi dan bersinergi secara cepat. Pihak-pihak itu adalah pemegang saham (shareholders), pengelola (top management), dewan pengawas atau komisaris (board of directors).

Model komisaris yang ideal bagi BUMN adalah model Catalyst, yakni model yang pro-aktif dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja korporasi. Cara yang efektif untuk mendapatkan komisaris model Catalyst adalah dengan merekrut mereka yang berasal dari luar birokrasi atau di luar sistem kekuasaan.