Selasa, 23 Februari 2016




Menyoal Wisata Maritim Jabar Selatan

Pikiran Rakyat,         2015







"Reformasi Total PSSI dan Signifikansi Ekonomi Olahraga"

Oleh : Harjoko Sangganagara *) 
Daily Investor                  2015

 

Presiden Joko Widodo menyatakan perlu reformasi total terhadap PSSI. Sangsi sepihak yang kurang obyektif telah dijatuhkan oleh FIFA terhadap Indonesia. Hal itu tidak perlu diratapi karena justru memberikan makna yang besar dan menjadi momentum untuk menata kembali sepak bola di tanah air. Apalagi selama satu dasawarsa terakhir, PSSI selalu busung prestasi dan berada diperingkat bawah. Reformasi total yang paling ideal adalah melahirkan kembali organisasi federasi sepak bola dengan nama baru maupun tetap bernama PSSI tetapi dengan pengurus yang benar-benar baru.
Saatnya mengubur berbagai macam penyakit kronis sepak bola di negeri ini, khususnya modus korupsi dan sepak terjang mafia sepak bola. Reformasi total juga meliputi pengembangan potensi dan nilai tambah ekonomi olahraga. Reformasi total relevan dengan kondisi FIFA yang kini reputasinya sedang jatuh terpuruk akibat skandal korupsi yang dilakukan oleh petingginya. Insiden penangkapan beberapa pimpinan FIFA di Zurich terkait dugaan korupsi, penyuapan hingga pemerasan telah mencoreng citra federasi sepak bola dunia. Penangkapan petinggi FIFA yang diprakarsai FBI, berhasil menjaring sembilan nama diantaranya Jeffrey Webb, yang menjabat posisi wakil presiden FIFA dan ketua Federasi Concacaf yang mencakup Amerika Utara dan Tengah. Para pejabat FIFA itu dituduh melakukan pemerasan, penipuan dan pencucian uang yang melibatan puluhan juta dolar. Tuduhan yang dilontarkan diantaranya termasuk menerima suap untuk memberikan hak media dan pemasaran untuk turnamen sepakbola, menerima suap untuk mempengaruhi keputusan lokasi turnamen. Termasuk Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan Copa America 2016 di AS.
Ada baiknya kita menengok kembali penyelengaraan Piala Dunia 2014 di Brasil yang semakin membuktikan bahwa sepak bola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian. Sepak bola bisa menggoyang sekaligus menggairahkan perekonomian global dan lokal. Begitu pesta Piala Dunia dunia bergulir, maka efeknya langsung merembet ke perdagangan saham global. Olahraga bisa menggairahkan perekonomian dunia dan lokal. Belanja iklan dan promosi produk mengalir deras. Tak terkecuali di Indonesia. Pesta olahraga membuat denyut ekonomi semakin berdenyut hal itu terlihat dengan volume penjualan televisi dan perangkat pendukungnya yang meningkat pesat serta semakin banyaknya usaha nonton bareng dengan LCD layar lebar. Usaha kafe dan restoran semakin kebanjiran pengunjung yang akan nonton bareng sambil menikmati menu makanan dan sajian musik serta hiburan lainnya. Selain itu usaha kerajian rakyat terkait dengan olahraga dan souvenir juga mengalami kenaikan oplah. Seperti kaos berlogo peserta olahraga dan pesertanya, slayer, gelas, piring dan barang merchandise lainnya.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pembangunan infrastruktur olahraga khususnya stadion sepak bola bisa menjadi faktor pendorong ekonomi dan kemajuan bangsa. Sayangnya, pembangunan infrastruktur olahraga di negeri ini justru telah menjadi ajang korupsi. Sisi lain yang menyedihkan terkait dengan infrastruktur olahraga adalah mengenai utilitas dan biaya operasional stadion yang mengalami salah urus. Banyak Infrastruktur olahraga yang pada awalnya terlihat megah akhirnya menjadi sepi karena manajemen kompetisi cabang olah raga yang kurang baik. Dalam rangka reformasi total sepak bola Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi membentuk tim transisi sepakbola Indonesia. Tim itu menggantikan fungsi pengurus PSSI yang dibekukan. Sebelum PSSI yang baru terlahir, tim ini bertugas sementara sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia. Masyarakat berharap agar PSSI terlahir kembali dengan postur yang lebih bersih dan memiliki integritas serta haus prestasi. Tim transisi memiliki anggota dengan ragam profesi yang eksistensinya sangat dibutuhkan oleh sepak bola nasional. Sosok seperti Bibit Samad Rianto yang pernah menjadi komisioner KPK sangat tepat untuk membangun integritas di domain sepak bola nasional. Selain itu perlunya sosok yang tegas, disiplin dan penuh nilai kejuangan untuk memperbaiki mentalitas pemain dan pengurus sepak bola. Kriteria tersebut melekat pada Letnan Jenderal Lodewijk Freidrich Paulus yang telah ditunjuk langsung oleh Panglima TNI untuk menjadi salah satu tim transisi. Letjen Paulus adalah mantan Danjen Kopassus dan Pangdam I/Bukit Barisan, yang kini menjadi Dankodiklat (Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan) TNI AD.
Tim Transisi diharapkan bisa membidani kelahiran PSSI yang baru dengan kondisi sehat dan selamat. Untuk melahirkan PSSI yang baru diharapkan tim transisi bersinergi dengan pemain lintas generasi dan para tokoh sepak bola yang saat ini memiliki reputasi dan berkiprah di tingkat global. Salah satunya adalah Erick Thohir yang beberapa waktu lalu mengakuisisi 70 % saham Inter Milan, klub papan atas Seri A Italia. Kini Erick telah memiliki mayoritas kepemilikan Nerazzurri setelah menggelontorkan dana sekitar Rp 5,2 triliun.
 Masyarakat berharap PSSI yang baru bebas konflik dan kepentingan kelompok. Juga diharapkan bebas dan bersih dari aksi mafia sepak bola yang selama ini penyebab kekisruhan sehingga prestasi sepak bola nasional terus terpuruk. PSSI baru sebaiknya fokus untuk merumuskan tata kelola sepak bola nasional yang lebih baik serta menata ulang sistem kompetisi Liga Indonesia yang lebih fair dan adil. Perlu kerjasama dengan penyelenggara liga sepak bola di Eropa yang selama ini telah sukses menyelenggarakan turnamen dan sukses mengembangkan profesi dan prestasi. Para pemain atau atlet sepak bola nasional lintas generasi diharapkan turut membidani kelahiran PSSI baru bersama tim transisi. Langkah Kemenpora yang membekukan PSSI dan keputusan PSSI versi La Nyalla Mattaliti yang secara sepihak menghentikan kompetisi Liga Indonesia lalu mempengaruhi FIFA agar menjatuhkan sangsi kepada Indonesia merupakan langkah kontra produktif yang sekaligus mendatangkan hikmah besar. Yakni hikmah untuk segera menghilangkan penyakit struktural di tubuh PSSI.
Kemenpora sebaiknya segera memberikan peran yang luas kepada para pemain sepak bola lintas generasi untuk terlibat langsung membidani PSSI baru lewat Munaslub dan memilih kepengurusan baru serta menyehatkan dan memperbaiki budaya organisasi. Saatnya membentuk lembaga independen untuk mengawasi kinerja dan budaya organisasi PSSI yang baru. Sejak berdiri pada 19 April 1930 sebenarnya PSSI telah memiliki budaya organisasi yang cukup kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama untuk mendapatkan momentum dengan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun dalam dua dasa warsa terakhir ini budaya organisasi PSSI telah terkoyak-koyak karena telah digerogoti oleh konflik dan penyakit struktural. Eksistensi PSSI baru juga harus mampu menjadikan sepak bola sebagai entitas industri yang tangguh dengan nilai tambah ekonomi yang lebih signifikan dan menetes ke bawah. Banyak warga negara Indonesia yang sebenarnya mampu mewujudkan PSSI baru yang lebih berprestasi dan ekonomi sepak bola menjadi lebih bergairah.
Terpuruknya prestasi sepak bola nasional dan beberapa cabor olahraga lainnya merupakan indikasi bahwa etos kerja dan kualitas SDM bangsa ini juga belum baik. Idealnya olahraga juga berfungsi untuk merevolusi mental bangsa yang bisa membuahkan daya saing dan budaya unggul. Untuk itulah perlunya langkah debirokratisasi olahraga di Indonesia agar tidak mengalami kelangkaan prestasi terus menerus. Debirokratisasi pada prinsipnya membebaskan atlet cabang olahraga dari belitan birokrasi dan intrik politik praktis dan selanjutnya mengembangkan profesionalitas atlet dan pengurus cabang olahraga sesuai dengan tren global. Betapa pentingnya figur dan reputasi seorang Ketua Umum PSSI yang baru.
Sangat relevan pendapat pakar manajemen modern Peter Drucker yang mendefinisikan bahwa sebuah organisasi pada saat ini lebih membutuhkan leader ketimbang manager. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Leaders finds the right things to. Sedangkan manager adalah mereka yang try to do things right. Korelasinya terhadap PSSI selama ini lebih banyak memiliki pengurus yang bertipe manager tetapi tidak memiliki leader yang mampu memusatkan perhatian pada aspek efektivitas. Utamanya efektivitas kompetisi dan pembinaan. Jelaslah sudah, yang lebih dibutuhkan oleh PSSI baru adalah leader atau pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan tangguh. Pemimpin yang bebas konflik yang pernah terjadi, pemimpin yang tidak menjadi kaki tangan parpol atau ormas. Ketepurukan prestasi olahraga nasional tidak boleh berlarut larut. Pemerintah dalam hal ini Kemenpora harus berani menyehatkan dan merampingkan birokrasi olahraga yang spektrumnya membentang dari KONI Pusat hingga daerah. 

*) Dosen STIA Bagasasi Bandung.

Kamis, 18 Februari 2016


Hari Tembakau Sedunia dan Paradoks Industri Rokok

Tribun Jabar        April 2015




Menyoal Kluster Industri Rokok di Jabar Oleh : Harjoko Sangganagara *) Kluster baru industri rokok di Jawa Barat yang berada di Kabupaten Karawang dibangun untuk tujuan ekspor. Dengan demikian kluster industri yang dibangun oleh PT HMSP dengan nilai investasi sekitar Rp 2 triliun itu kinerja ekspornya harus bisa konsisten. Sehingga produk yang ditujukan untuk ekspor itu tidak malah diam-diam merembes lalu membanjiri pasar domestik, khususnya di Jawa Barat. Apalagi selama ini kontribusi penjualan ekspor jauh lebih kecil dibandingkan penjualan rokok dipasar domestik. Sangat disayangkan kluster industri rokok di Jabar tersebut tidak banyak menyerap tenaga kerja. Pasalnya jenis kluster tersebut adalah memproduksi sigaret kretek mesin (SKM) yang mengandalkan mesin dan menghindari tenaga kerja lokal. Kluster industri rokok di Jawa Barat bisa mendongkrak konsumsi rokok dan menyebabkan persoalan kesehatan yang sangat serius. Apalagi kontribusi pajak dan cukai rokok untuk Jawa Barat kurang signifikan. Pemerintahan diharapkan mengawasi secara ketat bagi industri rokok agar konsisten mengembangkan pasar keluar negeri. Selain itu pemerintah juga dituntut segera meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control –FCTC) yang dibuat oleh WHO. Ironsinya, hingga kini Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC meskipun sudah ditandatangani 168 negara dan resmi mengikat total 178 di antara 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebaiknya memperhatikan Global Adult Tobacco Survey Report yang menempatkan Indonesia urutan pertama di dunia yang memiliki persentase tertinggi penduduk laki-laki perokok, 67 persen. Sedangkan dari jumlahnya, Indonesia masuk peringkat ketiga setelah Tiongkok dan India. Belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor dua (10,4 persen) setelah makanan pokok (11,3 persen). Pada saat ini kluster industri rokok di Jateng dan Jatim sedang melakukan proses PHK atau pensiun dini terhadap ribuan pekerja. Celakanya PHK besar tersebut tanpa disertai program transformasi profesi buruh pabrik rokok. Sehingga buruh kesulitan alih pekerjaan lalu menganggur. Ironisnya para investor justru mengalihkan pabrik rokoknya ke Jabar tetapi tanpa banyak menyerap tenaga kerja karena pabrik tersebut mengguankan mesin-mesin otomatis yang tidak membutuhkan tenaga kerja. Perlu menata struktur industri rokok yang lebih adatif dengan regulasi dan tuntutan jaman terkait aspek kesehatan bangsa. Dibutuhkan peta jalan baru untuk optimasi perolehan cukai dan struktur ketenagakerjaan yang ideal. Kota dan kabupaten yang selama ini menjadi kantong buruh industri rokok yang terkena program PHK masal atau pengrumahan perlu mengantisipasi dampak jangka panjang. Meskipun ribuan buruh tersebut mendapat pesangon yang memadai, namun dibutuhkan program pengarahan agar uang pesangon tersebut tidak cepat ludes untuk hal-hal yang konsumtif. Dibutuhkan pelatihan kewirausahaan bagi buruh rokok yang sesuai dengan kondisi daerah. Tak bisa dimungkiri, industri rokok, khususnya jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada saat ini menghadapi berbagai masalah serius. Antara lain kenaikan upah minimum regional dan perubahan preferensi konsumen dari yang dulunya menggemari rokok kretek menjadi ke rokok mild yang diproduksi mesin. Keputusan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang menyatakan pemerintah akan menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen sebaiknya segera dikonkritkan. Kenaikan itu untuk memenuhi target penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar Rp 120 triliun dari cukai rokok. Pentingnya kementerian perindustrian, perdagangan, dan keuangan untuk segera berkoordinasi guna merombak atau menyusun kembali peta jalan industri rokok. Pemerintah harus punya kebijakan agar pertumbuhan produksi rokok bisa terkendali. Sebaiknya kemenperin menghitung tingkatan pertumbuhan yang tepat bagi industri rokok. Sesuai dengan aspirasi terkait dengan masa depan kesehatan rakyat. Perlu kebijakan baru seperti misalnya mengurangi ukuran atau panjang SKT untuk memperpendek waktu isap seperti halnya rokok buatan mesin. Secara geografis, selama ini kluster industri rokok kretek di Indonesia ada di Pulau Jawa, yaitu di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya di daerah Kudus, Kediri, Surabaya, dan Malang. Keberadaan industri rokok di negeri ini memang dilematis. Di satu sisi, masalah kesehatan rakyat sangat rentan terhadap prilaku merokok. Dilain pihak industri rokok menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Telah terjadi tren penurunan produksi, terutama sejak pemerintah menerapkan pemberlakuan gambar peringatan rokok. Yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Yang memberikan batasan sangat ketat bagi peredaran, penjualan dan iklan dari produk tembakau. Pada 2012 produksi rokok mengalami kenaikan 9 persen, tetapi pada 2013 mengalami penurunan 7 persen. Dan pada 2014 berdasarkan estimasi Direktorat Bea Cukai diperkirakan tumbuh 3 persen. Target penerimaan cukai rokok dalam APBN 2014 sekitar Rp 110,5 triliun ternyata sulit tercapai. Pada 2013 penerimaan cukai rokok sekitar Rp 100 triliun. Pada 2013 produksi rokok mencapai 341 miliar batang. Maka untuk mendapatkan tambahan Rp 10,5 triliun pada 2014, paling tidak dibutuhkan 358 miliar hingga 360 miliar batang rokok. Betapa riskan jumlah yang sangat besar tersebut terhadap aspek kesehatan bangsa. Untuk memenuhi target diatas harga jual eceran per batang dinaikkan, karena sudah dua tahun tidak naik. Sedangkan struktur tarif cukai dipertahankan tetap dengan 13 layer. Batasan produksi SKM tetap 2 golongan, bila ada perubahan batasan produksi Golongan II SKM minimal tidak kurang dari 2 miliar batang dan Golongan III SKT agar diselamatkan karena sebagai jaring pengaman agar bisa membendung peredaran rokok ilegal. *) Dosen STIA Bagasasi Bandung.

 Memacu Gerakan Wiraswasta

Daily Investor 10 April 2015


Rabu, 17 Februari 2016



"Greget LSI 2015 dan Kapasitas Menpora"

Tribun Jabar,  4 April  2015

Oleh : Harjoko Sangganagara *)



Penyelenggaraan Liga Super Indonesia (LSI) 2015 dalam kondisi kurang greget alias kurang darah. Kondisinya kian menyedihkan terkait dengan rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang hanya memberi penilaian layak terhadap 16 klub. Dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh BOPI sebagian klub masih sarat dengan masalah. Bahkan dua klub kenamaan, yakni Arema Cronus dan Persebaya Surabaya tidak direkomedasikan mengikuti kompetisi. Saat ini juga ada klub yang pengurusnya terjerat oleh kasus korupsi dan harus berurusan dengan otoritas hukum. Selain itu ada beberapa klub yang rentan dengan masalah pembiayaan kompetisi sehingga bisa macet ditengah kompetisi yang berakibat terancamnya hak-hak atlet. Yang paling krusial terkait ancaman diatas adalah tidak terbayarnya gaji dan bonus atlet secara tepat waktu.

Tak pelak lagi, ada beberapa klub yang kesulitan keuangan dan manajemen yang rapuh tetapi memaksakan diri untuk mengikuti LSI 2015. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi diharapkan bersikap tegas terhadap ketentuan profesionalitas klub peserta LSI. Sehingga tidak terjadi lagi hal-hal yang bisa merugikan atlet. Saatnya manajemen klub diawasi secara ketat dengan melibatkan KPK sehingga tidak terjadi kasus-kasus korupsi dan penyelewengan uang rakyat.

Kini Menpora memikul beban yang sangat berat terkait dengan masalah kompleks kepemudaan dan prestasi olahraga nasional yang hingga kini tidak kunjung membaik. Menpora Nahrawi harus bisa membuktikan bahwa kementerian yang dipimpinnya memiliki strategi dan terobosan terkait dengan pembinaan dan peningkatan prestasi seluruh cabang olahraga.

Program Kemenpora sebaiknya terfokus kepada dua aspek strategis yakni peningkatan prestasi berbagai cabang olahraga dan mengembangkan industri peralatan olahraga. Selama ini peralatan olahraga di negeri ini rasionya belum memadai. Banyak cabang olahraga yang tidak mampu mengatrol prestasi karena terkendala oleh peralatan olahraga. Ironisnya pengadaan peralatan olahraga selama ini justru sarat penyelewengan. Seperti kasus peralatan olahraga untuk latihan dan pertandingan Asian Games Incheon.

Dimasa mendatang kasus semacam ini tidak boleh terulang lagi. Menpora harus ikut bertanggung jawab karena yang melaksanakan lelang dan memutuskan pemenangnya adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kasus penyelewengan peralatan olahraga tersebut sangat menggangu berbagai cabang olahraga yang membutuhkan peralatan baru jauh hari sebelum event dimulai.

Menpora Nahrawi sebaiknya napak tilas sejarah Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 1948 dan peristiwa yang sangat membanggakan yakni pada peristiwa Asian Games 1962 yang diselengarakan di Jakarta. Selain sukses sebagai tuan rumah dan sukses membangun infrastruktur olahraga, pada saat itu juga sukses dalam hal prestasi. Indonesia berhasil menduduki peringkat kedua setelah Jepang dalam mengumpulkan medali.

Olahraga bukan semata untuk menciptakan pola hidup sehat dan mencapai prestasi. Sejarah menunjukkan bahwa olahraga adalah media perjuangan dan sarana pemersatu bangsa. Hal itu terbukti dengan penyelenggaraan PON pertama yang digelar di Stadion Sriwedari Solo. Kini olahraga telah mengalami transformasi menjadi industri yang sangat signifikan bagi reputasi dan perekonomian suatu bangsa.
Publik berharap Menpora memiliki langkah progresif dan mampu mentransformasikan entitas olahraga di negeri ini menjadi industri yang tangguh. Tren global menunjukkan bahwa industri olahraga semakin berpotensi untuk menambah devisa negara. Sayangnya, pengembangan industri olahraga nasional kini sedang stagnan. Belum ada terobosan kebijakan dan inisiatif model bisnis luar biasa terkait dengan industri olahraga di negeri ini.

Sudah ada landasan yuridis terkait dengan pengembangan industri olahraga, yakni Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Namun, undang-undang tersebut kurang diimplementasikan secara baik dan masih miskin inisiatif dan sepi inovasi. Dalam UU SKN dijelaskan bahwa industri olahraga adalah kegiatan bisnis bidang olahraga dalam bentuk produk barang dan atau jasa.
Industri olahraga dapat berbentuk prasarana dan sarana yang diproduksi, diperjual belikan, dan atau disewakan untuk masyarakat. Industri olahraga juga dapat berbentuk jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai produk utama yang dikemas secara profesional yang meliputi; kejuaraan nasional dan internasional, pekan olahraga daerah, wilayah, nasional, dan internasional, promosi, eksibisi, dan festival olahraga; atau keagenan, layanan informasi, dan konsultasi keolahragaan.

Tak bisa dimungkiri lagi bahwa industri olahraga selain bisa memberikan nilai tambah berarti juga telah memperluas lapangan kerja dan menambah ragam profesi. Sehingga portofolio ketenagakerjaan di suatu negara spektrumnya semakin luas. Sebagai gambaran di Korea Selatan, profesi yang terkait olahraga semakin menjanjikan. Bahkan Institut Sport Science Korea sangat serius dan fokus untuk mengembangkan job description terkait dengan industri keolahragaan.

Tiongkok juga merupakan negara yang sangat progresif dalam mengembangkan industri olahraga. Industri olahraga di Tiongkok mulai dikembangkan secara sistemik sejak 1978. Dan terus digenjot setelah negara itu menjadi tuan rumah Olimpiade 2002. Tiongkok membagi industri olahraganya kedalam dua sektor, yakni sport service industry atau layanan industri olahraga. Dan sport good industry atau peralatan industri olahraga. Sejak 2005 industri olahraga di Tiongkok setiap tahunnya menghasilkan devisa rata-rata 30 miliar dolar. Sedangkan perputaran ekonomi dari sektor industri olahraga di Amerika Serikat mencapai 154 miliar dollar setiap tahunnya.

Keberhasilan Tiongkok dalam melakukan ekspor peralatan olahraga ke Amerika dan Eropa juga patut dicontoh. Nilai ekspor tersebut tumbuh hinggga dua digit selama lima tahun terakhir. Selain itu industri peralatan olahraga Tiongkok mampu melakukan strategi diferensiasi untuk bersaing dengan industri yang sudah memiliki nama besar. Kluster industri peralatan olahraga Tiongkok sekitar 70 % berasal dari provinsi Guangdong, Zhejiang dan Jiangsu.

Menteri Olahraga Tiongkok memiliki program nasional yang sangat ambisius yang bertujuan agar desain dan produk peralatan olahraga buatan negaranya sesuai dengan standar Olimpiade. Perguruan tinggi bersama dunia industri di Tiongkok pada saat ini sedang melakukan riset besar-besaran tentang desain produk peralatan olahraga.

Urgensi KEK Pariwisata Jabar Selatan 

( Tribun Jabar 26 Februari 2015)
Oleh : Harjoko Sangganagara *)




Presiden Joko Widodo meresmikan operasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, Banten. Eksistensi Tanjung Lesung merupakan KEK sektor pariwisata terpadu. Pembangunannya searah pengembangan industri pariwisata nasional yang kini terfokus kepada wisata maritim.
Mestinya Provinsi Jawa Barat jangan kalah dengan provinsi lainnya. Karena memiliki potensi yang luar biasa. Urgensi KEK pariwisata di Jabar Selatan yang menekankan pengembangan destinasi laut, ekowisata pantai dan pulau kecil.

Pemprov Jabar perlu membuat paket wisata kemaritiman terpadu. Perlu destinasi terintegrasi dimana setiap pulau kecil yang tergabung dalam gugusan di perairan Jabar Selatan menawarkan satu minat khusus yang masuk dalam paket wisata maritim. Paket tesebut membutuhkan kapal pesiar yang beroperasi keliling perairan dan ditunjang dengan perahu tradisional atau perahu kecil yang telah dimodernisasi sehingga bisa membawa wisatawan yang turun dari kapal pesiar.

Beberapa obyek wisata maritim dan ekowisata di Jabar Selatan belum tertangani potensinya. Padahal memiliki variabel daya saing yang sangat unik dan perpaduan alam yang luar biasa yakni antara gunung, hutan dan lautan yang amat menakjubkan.

Sungguh minim promosi untuk mendongkrak potensi di kawasan selatan Jabar dari pesisir Cimanuk hingga pesisir Cipatujah di Tasikmalaya Selatan. Minimnya promosi juga terjadi untuk ekowisata Ranca Upas dan kawasan perkebunan teh warisan kolonial Belanda yang sangat eksotik. Tak jemu-jemunya dari ketinggian itu mata telanjang bisa melihat horizon garis pantai Samudera Hindia dengan deburan ombaknya. Kontur alam pantai selatan Jawa Barat yang berbukit-bukit dan secara ekstrem menurun tajam ke bibir pantai merupakan lanskap alam yang sangat indah bak nirwana.

Sudah waktunya obyek di sepanjang pantai selatan mulai dari daerah Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, sampai Ciamis dikelola secara sungguh-sungguh. Agar jutaan pasang mata wisatawan bisa menikmati panorama nirwana dan merasakan kedahsyatan tantangannya dan keunikan budaya dan ekosistemnya.

Sungguh ironis, pemerintah kolonialisme Belanda dahulu mampu mengembangkan potensi kawasan selatan Jawa Barat. Salah satu petanda infrastruktur yang merupakan bukti kejelian kolonial Belanda tersebut adalah pelabuhan di Cilaut Eureun. Pada saat itu Belanda sudah memproyeksikan potensi perikanan, pertanian, ekowisata dan budaya di wilayah Garut Selatan. Ironisnya, justru pada saat ini potensi pantai Bungbulang, Sayang Heulang, dan Pantai Cilaut Eureun masih terabaikan.

Provinsi Jawa Barat sudah waktunya membangun KEK berupa infrastruktur pelabuhan di sekitar Teluk Cilaut Eureun. Sehingga bisa dibuat pelabuhan dengan kapasitas sekurang-kurangnya 150.000 DWT. Dengan terbangunnya infrastruktur itu maka kapal-kapal pesiar mewah yang lalu-lalang di Samudera Hindia menuju Pulau Christmas Australia bisa berlabuh di Pelabuhan Cilaut Eureun untuk menurunkan para wisatawan dunia.

Potensi wisata maritim membentang di wilayah Jawa Barat bagian selatan hingga kini masih tertidur lelap. Pemerintah daerah perlu melakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan. Wilayah Provinsi Jawa Barat bagian selatan memiliki potensi kelautan dan ekowisata yang luar biasa. Sayangnya potensi itu terus terdegradasi. Kurangnya niat dan langkah strategis dalam mengembangkan potensi diatas. Penting untuk kita renungkan bahwa secara filosofis potensi wisata Jabar Selatan adalah lukisan Tuhan yang eksistensinya mesti dijaga dan dikembangkan sekuat tenaga. Namun, fakta menunjukkan bahwa lukisan itu mudah rusak dan musnah oleh tangan keji manusia.

Sangat memprihatinkan kondisi obyek ekowisata yang sekaligus cagar alam dan cagar budaya hutan Sancang di Garut Selatan sekarang ini yang dalam kondisi rusak parah. Dahulu, ribuan Banteng Sancang terlihat begitu riang dan bebas berkeliaran di hutan itu. Sekarang satwa itu benar-benar musnah. Ekosistem hutan yang dahulu begitu perawan kini menjadi gersang meradang. Hutan Sancang sebenarnya sarat dengan nilai spiritual dan daya magis. Apalagi tempat itu dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat ngahiyang atau sirnanya Prabu Siliwangi. Namun, sekarang ini menjadi kawasan kritis yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan bencana ekologis.

Betapa pongahnya kita semua sehingga Jawa Barat kehilangan begitu saja harta karun yang luar biasa nilainya. Sementara, bangsa lain sekarang ini begitu getolnya menciptakan hutan buatan lengkap dengan aneka satwa di dalamnya dengan tujuan untuk mengeruk devisa dari kantong wisatawan. Seperti halnya langkah Singapura yang telah merancang ekowisata buatan untuk paket wisata Safari Night yang beroperasi pada malam hari. Dalam paket itu para wisatawan dibawa masuk hutan belantara di waktu malam sehingga bisa menyaksikan tajamnya kilau mata Harimau dan hiruk pikuk satwa lainnya di kegelapan malam. Setiap harinya ribuan wisatawan dari mancanegara rela antri untuk menjelajah dan menikmati atraksi satwa. Bahkan, bisa juga melakukan perjalanan di antara kerimbunan pohon bakau dan berbaur dengan kelelawar di sepanjang Leopard Trail.

Perlu insentif untuk mengembangkan wisata maritim di Jabar Selatan. Utamanya untuk pengadaan kapal pesiar domestik. Apalagi baru-baru ini pemerintah telah menyiapkan sederet insentif untuk industri perkapalan atau galangan kapal. Insentif diharapkan bisa mendorong pembuatan kapal pesiar domestik.
Kebutuhan untuk kapal yang merupakan infrastruktur wisata maritim sebaiknya tarifnya dinolkan. Juga diikuti dengan kebijakan non fiskal antara lain berupa pengembangan SDM perkapalan. Upaya itu dilakukan dengan pengembangan pusat desain kapal nasional guna membantu industri galangan kapal terkait kapal pesiar. Apalagi kebutuhan kapal pesiar domestik tipenya sangat spesifik dan harus bernuansa destinasi wisata Nusantara

Dalam paket wisata maritim, selain kapal pesiar domestik juga harus mampu melayani kapal wisata global berukuran besar yang dapat berlabuh atau membuang sauh di pelabuhan terdekat. Selanjutnya para wisatawan dialihkan menggunakan speedboat atau perahu tradisional menuju pulau-pulau kecil yang memiliki obyek khusus dengan tema yang berlainan. Seperti diving, rafting, maupun obyek ekowisata

Selasa, 16 Februari 2016

2015 sebagai Tahun Perpindahan Moda
 (Tribun Jabar, 26 Des 2014)

Oleh : Harjoko Sangganagara *)




Bagi kota besar seperti halnya Kota Bandung, tahun 2015 diharapkan terjadi perpindahan moda transportasi. Sehingga kompleksitas masalah transportasi dan kemacetan kota bisa diatasi. Diperlukan skenario yang tepat untuk mengarahkan perpindahan moda agar lebih efektif bagi sistem transportasi kota. Tahun 2015 harus dijadikan momentum untuk mengembangkan sistem transportasi masal atau MRT.
Apalagi efek kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap prosentase penggunaan kendaraan pribadi, sepeda motor dan angkutan umum. Sehingga berimplikasi negatif terhadap kondisi perkotaan. Pola yang terjadi antara lain perpindahan mobil pribadi ke sepeda motor dan mobil pribadi ke angkutan umum. Presentase pola perpindahan diatas bisa sangat bervariasi tergantung sejauh mana pemerintah pusat dan daerah mampu memberikan insentif dan program revitalisasi angkutan masal. Dalam domain sistem transportasi yang ideal, tentunya perpindahan yang diharapkan adalah dari mobil pribadi ke angkutan umum dengan jumlah yang signifikan.
Pentingnya langkah segera untuk mencegah perpindahan ke pengguna sepeda motor secara berlebihan. Kondisi meledaknya populasi sepeda motor di jalanan tentunya tidak menggembirakan karena berakibat aspek keselamatan dan ketertiban lalu-lintas menjadi menurun. Oleh karena itu pelayanan angkutan umum perlu segera dilakukan dengan menyempurnakan pelayanan Sistem Transit dan Bus Rapid Transit (BRT) yang sudah dikembangkan di Pulau Jawa dan Bali. Meskipun belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sistem transit secara pasti bersiap menuju kondisi pelayanan BRT yang optimal. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 158 ayat 1 UU 22/2009 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan massal berbasis jalan.
Untuk mewujudkan skenario perpindahan moda yang ideal bagi berbagai aspek kehidupan rakyat adalah meningkatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk transportasi perkotaan dalam konteks sistem transit. Dengan demikian bisa ditambah volume dan diimplementasikan secara progresif sistem transit menuju BRT. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun berjalan. Pasal 162 UU No. 32/2004 10 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi antara lain penetapan di bidang transportasi.
Sistem Transit adalah bagian dari angkutan umum masal perkotaan, sebagai tahapan transisi menuju BRT. Sistem transit adalah tahapan antara bagi terbentuknya BRT. Sistem tersebut masih memiliki keterbatasan beberapa hal antara lain belum menggunakan lajur khusus. Kapasitas angkut massal tetapi headway masih cukup lama karena belum terintegrasi dengan feeder angkutan umum lain. Selain itu trayeknya masih banyak yang berhimpit dengan trayek angkutan umum yang lama.
Ada 13 kota yang sudah mengoperasikan sistem transit. Yakni Batam Bus Pilot Project, Bogor Trans Pakuan, Yogyakarta Trans, Semarang Trans, Pekanbaru Trans Metro, Bandung Trans Metro, Manado Trans Kawanua, Gorontalo Trans Hulontalangi, Palembang Trans Musi, Batik Solo Trans, Sarbagita Bali, Trans Amboina dan Trans Tangerang. Hingga kini yang dikategorikan sebagai BRT baru di kota Jakarta yakni Trans Jakarta. Meskipun BRT di ibukota itu belum mencapai standar Full-BRT. Namun begitu Trans Jakarta harus segera dipacu perkembangannya ke segala penjuru wilayah Jabodetabek.
Perlu mendorong terjadinya perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, dengan syarat pelayanan angkutan massal dikembangkan sesuai SPM (standar pelayanan minimum). Momentum kenaikan harga BBM mestinya digunakan untuk mengakselerasi sistem transit dan BRT juga perlunya memberikan insentif kepada usaha angkutan lain yang masih eksis sehingga usahanya bisa sehat. Seperti perusahaan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Namun begitu, diiperlukan kehati-hatian dalam memberikan insentif kepada pengusaha angkutan umum. Pasalnya jangan sampai insentif tersebut salah sasaran dan hanya menguntungkan pihak pengusaha.