Sabtu, 27 Juni 2009

Prasarana olah raga yang cerdas dapat membangkitkan etos olahraga sekaligus merupakan kunci sistem pembinaan olahraga yang berbasis ristek.


Bukan hal yang mustahil jika kota Bandung yang memiliki energi kreatif kelak bisa menjadi kota industri peralatan olahraga yang terpandang.

Program Disorda harus menyentuh esensi dan tantangan pengembangan olahraga dimasa depan yang diwarnai dengan kemampuan ristek dibidang olahraga



Kinerja Disorda dan Ristek Olahraga

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *)

Disorda ( Dinas Olahraga dan Pemuda ) Provinsi Jawa Barat jangan menjadi lembaga birokrasi yang kinerjanya minimalis. Eksistensi Disorda yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2008 tidak boleh angin-anginan dalam mengembangkan cabor (cabang olahraga). Lembaga itu harus bisa mewujudkan prestasi nyata dengan langkah yang progresif, sistemik dan berbasis ristek ( riset dan teknologi ). Mestinya, pada saat ini Disorda Provinsi Jabar sudah memiliki infrastruktur berupa sistem informasi olahraga (Sport System Information) yang bersifat elektronik. Sistem itu untuk mengelola berbagai aspek dan kajian SWOT setiap cabor. Bukan sekedar website yang memberitakan sekelumit kegiatan olahraga. Melainkan sistem cerdas (intelligent system) yang berfungsi memperbaiki atau meningkatkan prestasi sesuai dengan tingkat sport rating index yang telah atau ingin dicapai. Selain itu sistem tersebut bisa juga dimanfaatkan sebagai instrumen seleksi atau talent scouting untuk tingkat daerah.
Pada saat ini prestasi dan pengelolaan olahraga di Jawa Barat masih belum menggembirakan. Hal itu terlihat dari masalah kaderisasi, regenerasi dan seleksi atlet yang terlihat lambat dan kurang optimal. Kondisinya semakin memprihatinkan karena sistem pembinaan dan peningkatan prestasi kurang terfokus dan tidak berdasar pada skala prioritas cabor unggulan. Untuk mewujudkan prestasi olahraga diperlukan penelitian dan penetapan kinerja terukur seperti sport rating index. Pengembangan olahraga di Jabar dalam waktu lima tahun mendatang jelas akan mengalami hambatan besar karena minimnya sarana olahraga seperti stadion. Pembangunan SOR terpadu yang berskala internasional hingga saat inipun juga masih tersendat-sendat. Sebenarnya eksistensi sarana olahraga terpadu yang akan dimiliki oleh provinsi Jabar memiliki keistimewaan tersendiri. Karena dalam provinsi ini terdapat berbagai perguruan tinggi, lembaga riset, serta BUMN yang mampu membantu menciptakan stadion dan gelanggang olahraga yang modern dan cerdas. Sinergi antara Disorda dengan perguruan tinggi, lembaga riset dan entitas BUMN yang ada di kota Bandung bisa mendesain prasarana stadion atau lapangan olahraga yang lebih cerdas. Bukan hal yang mustahil jika sarana olahraga terpadu Gedebage yang akan dibangun dengan kecerdasan buatan serta adaptif terhadap berbagai event pertandingan. Menyerupai kecerdasan yang dimiliki oleh stadion sepakbola di Italia yang pada saat ini telah menerapkan instrumen canggih seperti peralatan telekamera digital untuk membantu wasit dan penjaga garis yang kesulitan atau tidak bisa melihat dengan pasti pergerakan bola. Prasarana olah raga yang cerdas dapat membangkitkan etos olahraga sekaligus merupakan kunci sistem pembinaan olahraga yang berbasis ristek.
Provinsi Jabar khususnya kota Bandung memiliki peluang menjadi pusat ristek olahraga. Berbagai laboratorium teknik yang dimiliki oleh perguruan tinggi dan BUMN yang ada di kota Bandung bisa membantu mendukung misi diatas. Selain itu berbagai aktivitas penelitian yang telah dilakukan terhadap berbagai alat olahraga bisa meningkatkan mutu produksi peralatan buatan dalam negeri. Jenis peralatan olahraga seperti raket, sepeda balap, kano, parasut terjun payung, peralatan selam, dan lain-lain dapat diproduksi didalam negeri dengan standar internasional. Perlu digarisbawahi bahwa peralatan olahraga selalu berkembang dari waktu kewaktu untuk menyempurnakan permainan olahraga dan regulasinya. Tentunya penyempurnaan itu melalui kegiatan riset dan inovasi yang konsisten. Salah satu contohnya adalah bola untuk permainan basket. Selama bertahun-tahun Molten berinovasi lalu menciptakan bola basket seri GL yang merupakan pola baru dengan jumlah panel bola berjumlah 12 buah. Dengan bola jenis baru diatas, gerakan-gerakan dasar olahraga bola basket seperti, dribling, passing, catching dan shooting diharapkan semakin baik karena permukaan bola yang enak untuk digenggam.
Kinerja Disorda bisa dikatakan berhasil jika mampu menggelorakan kompetisi olahraga hingga kepelosok desa dan menemukan bibit-bibit unggul berbagai cabor. Selain itu program Disorda harus menyentuh esensi dan tantangan pengembangan olahraga dimasa depan yang diwarnai dengan kemampuan ristek dibidang olahraga. Ristek tersebut juga akan menumbuhkan industri olah raga serta melakukan banyak eksperimental tentang alat-alat olahraga. Seperti bagaimana mendesain alat olahraga seperti raket, bola, dan perlengkapan lain sesuai dengan standar internasional. Entitas industri di Jawa Barat harus didorong untuk memproduksi peralatan olahraga dengan mempergunakan hasil riset tentang ilmu bahan atau material untuk alat-alat olahraga terutama yang berasal dari bahan komposit.
Ada baiknya entitas industri di Jawa Barat belajar dari keberhasilan perusahaan Cabela’s dari kota kecil Sidney di dataran Nebraska Amerika Serikat. Perusahaan itu memproduksi berbagai peralatan olahraga sekaligus merupakan pusat riset dan teknologi olahraga yang didirikan oleh Dick Cabela seorang penggemar kegiatan alam. Pada awalnya perusahaan itu memproduksi alat untuk memancing. Kini Cabela’s tumbuh menjadi usaha terbaik dan tersehat di Amerika Serikat. Dengan produknya yang sangat dibutuhkan rakyat disana dan mampu menjadi komoditas ekspor yang tangguh. Kantor pusatnya yang besarnya enam kali lapangan sepak bola merupakan pusat ristek sekaligus museum olahraga yang menjadi daya tarik turis yang luar biasa. Bukan hal yang mustahil jika kota Bandung yang memiliki energi kreatif kelak bisa menjadi kota industri peralatan olahraga yang terpandang.

*) Anggota DPRD Provinsi Jabar, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Artikel telah dimuat di koran KOMPAS, Jawa Barat 25 Juni 2008

Kamis, 18 Juni 2009

Membenahi Kedokteran Wisata di Jawa Barat


Potensi wisata di Provinsi Jawa Barat diwarnai dengan wisata petualangan yang menyerempet bahaya serta membutuhkan kemampuan fisik dan mental yang prima dari para wisatawan. Sehingga berbagai risiko kecelakaan dan serangan penyakit mesti diantisipasi secara baik. Pentingnya membenahi kedokteran wisata untuk mendukung kegiatan wisata alam yang berisiko tinggi alias berbahaya seperti surfing, diving, arung jeram, buggy, jetski, dan rafting adventure.

Membenahi kedokteran wisata di Jabar juga bisa meningkatkan reputasi sekaligus akan mendongkrak pemasaran industri wisata. Selama ini para wisatawan masih kawatir jika melakukan aktivitas petualangan karena masih buruknya berbagai aspek kedokteran wisata. Sebetulnya, para wisatawan dunia telah mengetahui dari berbagai sumber tentang kehebatan dan eksotisme beberapa obyek wisata alam di kawasan sepanjang pantai Jawa Barat bagian selatan. Namun, mereka masih ragu-ragu untuk mendatangi karena berbagai hal, antara lain faktor kedokteran wisata yang belum memadai. Mereka kawatir jika terjadi kecelakaan atau gangguan kesehatan tidak bisa tertangani secara baik. Padahal, kawasan Jabar Selatan yang boleh dikatakan sebagai surga wisata bahari belum berhasil menyedot devisa yang berarti. Ada baiknya kita membandingkan antara obyek wisata bahari Jabar selatan seperti Batu Karas di Kabupaten Ciamis dengan obyek wisata bahari di sekitar Manado ( Sulawesi Utara ) yang angka kunjungan wisatanya jauh berbeda. Karena otoritas industri wisata disana telah menyiapkan aspek kedokteran wisata secara baik. Dari infrastruktur, SDM hingga fungsi prevensi sangat diperhatikan. Bahkan otoritas pariwisata di Manado telah melakukan kontak dan kerjasama dengan klinik-klinik perjalanan di benua Eropa dan Amerika. Serta memberikan informasi yang akurat dan kondisi terkini. Para wisatawan yang mengalami kecelakaan atau terserang penyakit akan mendapat penanganan yang cepat dan tepat dari praktisi kedokteran wisata di sana. Bahkan, jika ada wisatawan yang mengalami decompression sickness sewaktu diving, telah tersedia chamber atau ruang hiperbarik untuk menormalkan kondisi pasien. Bandingkan jika kecelakaan serupa terjadi di Batu Karas atau obyek wisata lain di Jabar Selatan. Tentunya para wisatawan akan kebingungan mengatasi masalahnya.

Membenahi kedokteran wisata di Jabar juga terkait dengan informasi dan advokasi yang lengkap terhadap daerah yang akan dikunjungi wisatawan. Kedokteran wisata atau travel medicine di negara-negara maju telah berkembang pesat guna melayani jutaan warganegara yang akan melakukan perjalanan wisata. Di Amerika Serikat ada badan khusus yang terus menerus mempublikasikan Health Information for International Travel. Pada prinsipnya, fungsi kedokteran wisata dibagi menjadi dua hal yakni pelayanan prawisata dan pascawisata. Dalam hal pelayanan prawisata lebih banyak unsur informasi, konsultasi, dan pemeriksaan risiko. Terutama yang berhubungan dengan peningkatan risiko terserang penyakit dan terkena infeksi di tempat wisata. Masalah penyakit infeksi yang prosentasenya semakin tinggi telah menjadi pokok bahasan kedokteran wisata di negara maju. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah para wisatawan dari negara maju sekitar sepertiganya mengalami sakit saat berwisata ke daerah tropis. Lebih jauh data menunjukkan bahwa setiap dua minggu perjalanan mereka akan tersita rata-rata tiga hari karena sakit.

Tak pelak lagi, biro atau klinik kedokteran wisata di negara maju terus diserbu oleh calon wisatawan. Klinik tersebut juga sangat membutuhkan partner di negara tujuan wisata. Peluang ini mestinya segera ditangkap oleh praktisi atau lembaga kesehatan di Jabar. Sekedar catatan, bahwa lingkup kedokteran wisata cukup luas serta melibatkan berbagai disiplin ilmu termasuk teknologi informasi dan komunikasi sebagai media online. Betapa pentingnya infrastruktur teknologi informasi yang mampu menjelaskan perihal daerah endemis seperti malaria. Sehingga para wisatawan sebelumnya sudah mengantisipasi antara lain dengan meminum obat antimalaria. Kedokteran wisata dalam situasi dunia yang dicekam oleh wabah flu babi sekarang ini juga memiliki peran yang amat penting. Provinsi Jawa Barat harus bersungguh-sungguh membenahi infrastruktur kedokteran wisata beserta SDM yang berkompeten. Pembenahan juga harus ditunjang dengan infrastruktur modern untuk kedokteran wisata berupa klinik dan tempat karantina di bandara, pelabuhan, dan hotel di daerah tujuan wisata (DTW). Sayangnya, eksistensi kedokteran wisata di daerah tujuan wisata Provinsi Jawa Barat masih belum menggembirakan. Karena baru sebatas memberikan pelayanan kuratif kepada para wisatawan. Belum banyak yang menyelenggarakan pelayanan untuk tujuan promotif dan preventif bagi wisatawan yang akan melakukan perjalanan. Otoritas pariwisata bersama dinas kesehatan provinsi Jabar mestinya mengadopsi agenda dan cetak biru tentang kedokteran wisata dari negara maju. Juga pentingnya mempublikasikan pembenahan kedokteran wisata untuk mendukung paket perjalanan wisata lewat berbagai media dan internet. Apalagi, bidang kedokteran wisata telah mendapat perhatian sangat serius di negara-negara maju. Kedokteran wisata telah berkembang menjadi disiplin ilmu yang kompleks, karena adanya varian penyakit yang terus menerus. Dilain pihak semakin melonjaknya jumlah wisatawan dunia dari tahun ketahun. Tuntutan menyangkut pelayanan yang paripurna terhadap wisatawan semakin kuat. Hal itu direspon oleh pemerintahan negara-negara maju untuk meningkatan mutu para dokter di bidang tersebut. Perkembangan teknologi informasi juga memberikan kemudahan bagi warga dunia untuk mengakses lewat internet tentang berbagai aspek kedokteran wisata beserta kasus-kasus aktual terkait daerah tujuan wisata. Sayangnya, gambaran tentang aspek kedokteran wisata yang terkait dengan daerah tujuan wisata di Jawa Barat masih sangat kurang. Pantas saja, para wisatawan dunia belum berketetapan hati untuk mengunjungi sepotong surga yang bernama bumi Parahyangan.

*) HARJOKO SANGGANAGARA, Anggota DPRD Provinsi Jabar, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

**)Artikel telah dimuat di harian KOMPAS, Jawa Barat, 15 Mei 2009