Sabtu, 15 Oktober 2011

Seni Menghadapi Krisis

Oleh Harjoko Sangganagara | Investor Daily. Minggu, 9 Oktober 2011 | 22:35

Dalam situasi dunia yang masih dibayangbayangi resesi ekonomi, tertawa berkualitas menjadi urusan penting. Budaya tertawa berkualitas atau tertawa tulus ternyata semakin penting bagi sektor korporasi, birokrasi, dan edukasi publik pada saat seperti ini. Bahkan, menurut hasil riset kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan oleh konsultan internasional Hay Group, tipe kepemimpinan atau manajemen yang paling efektif pada era sekarang ini adalah yang sarat humoris dan bukan eksentrik.

Sekadar catatan, pada saat depresi ekonomi dunia tahun 30-an Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt begitu getolnya menumbuhkan budaya tertawa tulus di tengah bangsanya. Roosevelt juga memberikan peran yang luas kepada para seniman dan budayawan untuk menghibur sekaligus menumbuhkan optimisme rakyat.

Aktor besar Charlie Chaplin adalah sosok yang sangat berperan dalam menghalau hantu malaise dan membentang cakrawala baru. Begitupun Presiden Barack Obama juga selalu terlihat canda dan tertawa tulus menghadapi beban berat yang dipikulnya.

Masih hangat dalam ingatan kita, pada 70-an begitu populernya lagu Ayo Ngguyu (Ayo Tertawa) yang dinyanyikan oleh biduan legendaris Waldjinah. Lagu itu telah menjadi spirit bagi masyarakat, utamanya kaum tani untuk bekerja keras mewujudkan swasembada pangan atau beras. Lagu Ayo Ngguyu yang tak henti-hentinya berkumandang di perdesaan dan perkotaan itu telah mendorong berkembangnya budaya tertawa tulus dan pada gilirannya telah mewujudkan rasa tenteram, toleransi, dan percaya diri.

Positif untuk Korporasi
Kondisinya memang sangat berbeda dengan saat ini, di mana para petani terus didera gundah gulana akibat sederet persoalan, seperti kekeringan, merosotnya daya beli, hingga bencana alam. Orang di desa pun telah kehilangan budaya tertawa tulus. Selain menghadapi krisis dengan instrument keuangan dan inovasi produk, perusahaan multinasional sekarang ini juga telah menggencarkan budaya tertawa tulus. Terapi tertawa, senam tertawa, dan eksploitasi humor telah menjadi tren di perusahaan multinasional.

Dalam konteks tersebut terlihat adanya transformasi budaya kerja dari yang serba kaku dan terburu waktu, menjadi ruang atau situasi kerja yang mampu berbagi emosi. Salah satu fenomena di atas terlihat di industri otomotif Ford’s River Rouge.

Sebelumnya, tindakan tertawa, termasuk bersenandung, bersiul, dan tersenyum, yang dilakukan oleh karyawan merupakan sebuah kesalahan atau indisipliner yang harus diberi sanksi. Cukup banyak karyawan Ford yang dipecat garagara kepergok sedang tertawa bersama kawan-kawannya. Disiplin manajerial yang kaku itu adalah refleksi dari gaya manajemen Henry Ford. Namun, pada era sekarang ini, di mana industri otomotif sedang terancam kebangkrutan, ternyata terapi tertawa diperlukan untuk memelihara produktivitas dan stamina beban kerja.

Budaya tertawa tulus bagi kemajuan korporasi hasilnya sangat positif. Salah satu contohnya adalah perusahaan penerbangan Southwest Airlines yang sudah cukup lama mendorong budaya tertawa dalam mengelola SDM. Para pilot, pramugari, hingga teknisi yang sehari-harinya didera beban kerja dengan dampak yang sangat tinggi mampu bersinergi secara baik dengan terapi tertawa sebelum menjalankan tugas. Hasilnya, perusahaan itu sekarang masih bisa survive dan berkinerja sangat baik. Di lain pihak, para pesaingnya banyak yang di tepi jurang kebangkrutan.

Terapi tertawa juga sangat berguna bagi profesi kedokteran. Para dokter banyak yang belajar terapi tertawa dan terus menambah perbendaharaan humornya untuk menghadapi pasiennya. Apalagi fakta menunjukkan banyak pasien yang sembuh lebih cepat ketika mereka sering tertawa dengan tulus. Saat ini, tertawa mendapat porsi yang sangat berarti dalam penyelidikan pikiran atau otak manusia. Bahkan perguruan tinggi terkemuka di dunia, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT) sedang gencar melakukan riset mengenai budaya tertawa.

Untuk mendorong budaya tertawa para pemimpin korporasi mempunyai tanggung jawab tertawa tiga kali lebih banyak. Secara ilmiah tertawa tulus sangat berbeda efek dan maknanya dengan tertawa palsu. Tertawa tulus sangat berguna untuk memompa motivasi diri, terapi penyembuhan jasmani dan rohani, serta obat pengusir stress atau depresi yang paling ampuh. Tertawa tulus bisa dideteksi secara ilmiah, begitu pula dengan tertawa palsu. Tertawa tulus atau senyuman sejati oleh pakar psikologi Ekman disebut dengan istilah tertawa Duchenne. Istilah tersebut diambil dari nama seorang neurologis asal Prancis Duchenne de Boulogne, yang melakukan riset pertama dalam bidang tersebut pada 1980-an.

Ampuh dan Murah
Menurut teori, senyuman yang tulus melibatkan secara simultan dua otot wajah, yakni pertama, otot zygomatic major, yang memanjang dari tulang pipi dan mengangkat sudut-sudut mulut. Kedua, bagian luar dari otot obicuralis oculi, yang mengelilingi mata, dan terlibat dalam “menarik ke bawah alis mata dan kulit di bawah alis mata, dan menarik ke atas kulit di bawah mata, dan mengangkat pipi-pipinya”.

Tertawa atau senyuman yang artificial alias palsu hanya melibatkan otot zygomatic major. Tesis menyatakan, kita dapat mengontrol otot itu, namun kita tidak dapat mengontrol bagian yang relevan dari otot obicuralis oculi. Karena otot itu berkontraksi secara spontan alias tidak bisa dimanipulasi, dan hanya ketika kita benar- benar mengalami “kesenangan” otot itu akan bergerak. Duchenne menyimpulkan, emosi dari kesenangan yang jelas diekspresikan pada wajah oleh kontraksi gabungan antara otot zygomatic major dan obicuralis oculi. Yang pertama mematuhi keinginan kita, dan yang kedua hanya dimainkan oleh emosi-emosi yang manis oleh misteri jiwa.

Tertawa tulus merupakan obat yang ampuh dan murah dalam menghadapi krisis ekonomi. Oleh sebab itu, perlunya epidemi tertawa tulus yang bisa menjaga kesehatan, bahkan tidak mustahil bisa menciptakan ketenteraman umum. Ayo tertawa tulus, harapan masih membentang luas.

Penulis dosen STIA Bagasasi Bandung