Kamis, 28 Maret 2013

Administrasi Keamanan Pangan


Dimuat : KORAN JAKARTA | 15 Maret 2013
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
SERBUAN produk pangan impor semakin gencar. Beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, India dan Korea Selatan telah mengalihkan tujuan ekspornya dari Eropa ke tempat lainnya termasuk Indonesia. Kondisinya akan semakin fatal karena produk diatas masuk secara ilegal dan pemerintah kurang berdaya memberantasnya.
Celakanya lagi produk pangan impor baik yang masuk secara legal dan ilegal kurang sesuai dengan aspek keamanan pangan. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan. Pemenuhan standar keamanan pangan dan mutu pangan dilakukan melalui penerapan sistem jaminan keamanan pangan dan mutu pangan. Ketentuan diatas sering kali dilanggar karena lemahnya lembaga yang berkompeten. Dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dalam kondisi negeri ini yang tengah dikepung dan dibanjiri oleh produk pangan atau makanan impor, dibutuhkan infrastruktur sistem informasi yang bisa digunakan BPOM secara efektif. Terutama untuk mengatasi rekam jejak suatu produk pangan. Pada saat ini produk pangan yang ilegal dari luar negeri juga sudah merambah hingga pasar-pasar tradisional. Sehingga meminggirkan produk lokal dan bisa membahayakan kesehatan masyarakat luas. Kondisi pasar domestik sangat rentan terhadap produk pangan ilegal. Personel yang bertugas untuk mengawasi barang yang beredar di pasar domestik juga kurang efektif karena terbatasnya infrastruktur dan peralatan. Kondisinya semakin runyam karena otoritas kepabeanan dan keamanan juga kurang mampu mengawasi pelabuhan dan kawasan yang rawan penyelundupan. Jangan heran jika bahan pangan dalam bentuk curah, seperti produk permen atau gula-gula, biskuit, sarden, buah-buahan, obat-obatan, dan-lain lain begitu leluasa membanjiri pasar domestik. Akibatnya sangat mengerikan, karena menghancurkan produk pangan dalam negeri sekaligus menutup lapangan kerja. Begitupula dengan industri dan UMKM yang bergerak di sektor makanan dan minuman juga mengalami kebangkrutan.
Belum ada totalitas dari pemerintah untuk melaksanakan sejumlah aturan yang terkait dengan persyaratan suatu produk impor yang masuk ke pasar lokal pada era perdagangan bebas. Disisi yang lain pemerintah pusat dan daerah juga belum optimal dalam meningkatkan produk pangan domestik sehingga bisa bersaing dan menembus pasar dunia. Selain itu sudah saatnya pemerintah melindungi dan memberikan insentif kepada usaha pangan tradisional. Antara lain dengan cara memperbaiki mutu, volume produksi dan kemasan sehingga lebih kompetitif dipasaran.
Masalah mutu, standardisasi, labelisasi dan pengawasan produk pangan hingga saat ini belum tertangani secara baik. Masalah diatas semakin hari semakin terkooptasi oleh praktik bisnis yang culas. Kondisinya semakin runyam karena kinerja BPOM belum bisa dibanggakan. Lembaga ini belum mampu menjalankan misinya dengan baik, yakni melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan. Untuk mengakselerasikan misi tersebut dibutuhkan kelembagaan yang kokoh dan prasarana yang memadai. Rakyat berharap agar kinerja BPOM bisa andal dalam mengatasi masalah produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya.Terutama untuk kasus yang kemungkinan terjadi dalam skala luas dan berlangsung cepat.
Kita semua masih prihatin, melihat langkah pemerintah yang masih setengah hati dalam melindungi konsumen. Belum ada totalitas dari pemerintah untuk melaksanakan sejumlah aturan yang terkait dengan persyaratan suatu produk impor yang masuk ke pasar lokal pada era perdagangan bebas. Disisi yang lain pemerintah pusat dan daerah juga belum optimal dalam meningkatkan produk pangan domestik sehingga bisa bersaing dan menembus pasar dunia. Para pengusaha pangan lokal masih terkendala oleh faktor hegienis, kandungan gizi dan pengemasan.
Tidak berlebihan jika sekarang ini ada yang menyebutnya jaman edan yang sarat dengan kepalsuan produk. Sungguh mengerikan, produk obat-obatan, kosmetik, hingga telur tidak lepas dari modus pemalsuan. Bahkan, produk telur palsu kini telah menjadi industri berskala besar. Seperti terjadi di Tiongkok beberapa waktu yang lalu, dimana produk industri telur palsu yang mengandung melamin dengan mata telanjang sulit dibedakan dengan telur yang asli. Seseorang yang mengkonsumsi telur palsu bisa terkena penyakit fisik dan mental yang sangat fatal.
Hingga saat ini para pelaku usaha produk makanan dan minuman impor di negeri ini seringkali tidak memiliki sertifikat analisa dan sertifikat mengenai kesehatan dari produk-produk yang diimpor. Atau jika memiliki, ada yang didapat dengan cara yang tidak fair. Padahal, kedua sertifikat itu merupakan persyaratan mutlak produk makanan dan minuman impor agar produk-produk itu dapat dipasarkan. Selain itu prosedur registrasi produk yang memerlukan sertifikat analisa produk dan sertifikat kesehatan juga sering diabaikan oleh pengusaha. Masalah sertifikasi produk pangan belum ditangani secara serius. Kinerja BPOM pusat dan daerah harus terus ditingkatkan.
Sudah saatnya eksistensi BPOM ditingkatkan hingga kemampuannya setara dengan FDA ( Food and Drug Administraion ) dari Amerika Serikat. Selama ini bermacam fasilitas laboratorium dan SDM dari FDA mampu menangani secara detail semua produk pangan. Langkah dan strategi yang dilakukan oleh FDA antara lain. Pertama, membuat prosedur registrasi bagi industri pangan. Seluruh fasilitas industri atau perusahaan pangan yang memproses, mengemas atau menyimpan pangan untuk konsumsi di Amerika Serikat harus diregistrasi oleh FDA. Registrasi tersebut terdiri dari penyediaan informasi mencakup nama perusahaan, alamat dan faktor lain yang terkait. Kedua, ketentuan tentang pembuatan rekam jejak produk. Setiap industri yang melakukan pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan bahan pangan diharuskan membuat dan memelihara rekam jejak produk yang terus diperbarui. Hal itu penting untuk menentukan identifkasi sumber pangan secara cepat dari mana asal-usulnya. Ketiga, tentang notifikasi sebelum pengapalan bahan pangan impor. Notifikasi harus mencakup gambaran detail bahan pangan impor, perusahaan dan kapal pembawa bahan pangan impor,negara asal bahan pangan impor, serta negara dimana bahan pangan impor tersebut dikapalkan. Keempat, tentang kewenangan dari FDA untuk menahan secara administratif terhadap bahan pangan yang bisa menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lain.
Pasar produk pangan global semakin sarat dengan masalah keamanan. Bahkan di negera-negara maju yang notabene pengawasannya lebih baik juga mengalami masalah pengawasan pangan. Seperti kasus yang menghebohkan baru-baru ini di Eropa. Dimana daging kuda yang dalam etiket dinyatakan sebagai daging sapi, beredar sebagai makanan beku siap saji yang dijual secara luas di supermarket Irlandia dan Inggris. Selain itu juga kasus jutaan telur diberi etiket yang salah sebagai telur organik. Padahal telur tersebut bukan produk organik. Sekedar catatan, telur yang diproduksi di Uni Eropa harus diberi kode produksi. Yakni, kode 3 berarti telur dari ayam ternak di kandang, kode 2 telur yang diproduksi di peternakan tertutup, kode 1 untuk telur yang berasal dari ternak ayam kampung dan kode 0 untuk telur organik atau Bio Eier. Ketentuan tentang produk telur sangat ketat hingga adanya pengawasan tentang jenis makanan, cara berternak ayam dan tingkat kepadatan ayam dalam kandang.
Semua itu untuk menentukan apakah telur yang diproduksi memenuhi kriteria ekologis. Sebab jika tidak memenuhi kriteria bisa berakibat fatal. Seperti kasus ditemukannya bahan beracun dioxin pada makanan ternak di Jerman baru-baru ini yang sangat menggemparkan. Akibat kasus diatas, ribuan usaha peternakan ditutup, ratusan ribu telur ditarik kembali dari pasaran dan ribuan ayam dimusnahkan. Racun berbahaya dioksin ditemukan pada makanan ternak yang dijual ke ribuan peternakan di berbagai negara bagian di Jerman. Dioxin adalah bentuk senyawa kimia dengan banyak variasi, tapi tingkat kadar racunnya berbeda. Dampak jangka panjang dioxin antara lain gangguan pada sistem imunitas, penyakit kulit parah, gangguan pernafasan, penyakit amandel dan gangguan pencernaan. Kasus dioxin di Jerman merupakan pelajar mahal terkait dengan kompleksitas pengawasannya, terutama dalam produksi makanan ternak dan pemasok bahan makanan ternak. Kompleksitas pengawasan karena menyangkut keseluruhan sistem pada produksi industri pertanian yang sangat luas.
Keamanan produk pangan adalah masalah yang sangat serius sehingga pemerintah tidak boleh bertindak setengah hati. Keseriusan negara lain harus menjadi catatan penting kita. Seperti halnya langkah Amerika Serikat yang memberlakukan Undang-Undang Bioterorisme untuk menjerat pelaku yang terkait produk pangan ilegal. Sudah saatnya membenahi secara total sistem pengawasan produk pangan yang dilakukan oleh BPOM dan lembaga lain yang terkait. Dibutuhkan langkah yang konsisten dan tegas terkait registrasi pabrik produk pangan baik yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri maupun asing. Registrasi harus komprehensif sehingga bisa mencakup ketentuan tentang rekam jejak produk. Rekam jejak itu mencakup aspek pengolahan, pengemasan, transportasi, distribusi, dan pengapalan.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung, Doktor Administrasi Pendidikan UPI Bandung

Belajar "Hidden Champions" dari Jerman


Dimuat di Daily Investor|  6   Maret 2013
Oleh : Harjoko Sangganagara *)

Kunjungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Republik Federal Jerman diharapkan bisa segera menghasilkan manfaat konkrit bagi rakyat. Agenda kunjungan ke Jerman itu jangan hanya berwacana ria dengan para CEO perusahaan besar disana. Ada aspek penting yang tidak boleh diabaikan terkait dengan kemajuan dan kemakmuran bangsa Jerman. Aspek penting itu adalah tentang perekonomian Jerman yang pertumbuhannya justru ditopang oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mestinya, Presiden SBY menjadikan UMKM sebagai agenda utama kunjungan tersebut serta mengajak pelaku UMKM negeri ini ikut dalam rombongannya. Dengan demikian rombongan Presiden RI itu tidak didominasi oleh kalangan konglomerat dan pejabat pemerintahan.

Kontribusi luar biasa dari UMKM Jerman terhadap ekonomi negaranya telah dikaji oleh Profesor Hermann Simon. Dia adalah pemikir manajemen yang sangat berpengaruh setelah Peter Drucker. Pernah menjabat kepala European Marketing Academy (EMAC). Selain itu dia juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas terkemuka seperti Harvard Business School, London Business School, Universitas Keio di Tokyo dan Massachusetts Institutes of Technology. Prof Hermann menyebut UMKM di Jerman sebagai hidden champions atau juara tersembunyi yang mampu mendongkrak perekonomi suatu bangsa secara signifikan. 

Hidden champions adalah jawaban mengapa Jerman selama bertahun-tahun mampu menjadi negara pengekspor terbesar di dunia. Ternyata eksportir Jerman tidak hanya oleh perusahaan besar seperti Volkswagen atau Siemens. Tetapi juga dilakukan oleh ribuan UMKM. Patut dicatat, setengah dari UMKM yang unggul di dunia adalah berasal dari Jerman. Data demografi menunjukkan bahwa ada 20 UMKM per-seribu penduduk di Jerman. Itulah mengapa Jerman memiliki tingkat pengangguran pemuda yang rendah dibawah rata-rata negara maju di dunia yang mencapai sekitar 8 %. Apalagi kondisi Eropa masih dalam bayangan krisis. Sehingga di Spanyol dan Yunani yang terkini, satu dari tiga orang pemuda di bawah usia 25 adalah pengangguran. 

Data menunjukkan bahwa UMKM menyumbang 40 % dari total jumlah penerimaan negara Jerman. Juga berkontribusi 71 % lapangan kerja dan 83 % lapangan pendidikan di Jerman. Selama ini UMKM telah menawarkan beragam jenis lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan talenta seseorang. Oleh sebab itu pemerintah Jerman dari waktu ke waktu menempuh kebijakan pasar kerja yang memperkuat posisi UMKM.
Satu dekade terakhir ini entitas UMKM Jerman sangat agresif dalam merebut peluang globalisasi.Menurut survei KfW, 67 % produk UMKM diekspor ke pasar internasional. Selain itu para UMKM Jerman juga gigih menghilangkan biaya perantara dengan mengimpor barang dan bahan baku secara langsung.

Keuletan dan daya inovasi UMKM di Jerman membuat negeri itu sangat kompetitif. Terbukti Jerman tetap konsisten menduduki 10 besar dalam Indeks Daya Saing Global. Hal itu terbukti dengan arus masuk investasi asing langsung meningkat 45 % pada 2012. Menurut Klaus Abberger, ekonom senior di Institut Ifo untuk Riset Ekonomi di Munich Kekuatan ekonomi Jerman kini terletak di UMKM sektor manufaktur. Ada banyak cluster di bidang manufaktur dengan produk berkualitas tinggi dan jaringan internasional.

Ada tren bagi UMKM Jerman yang semakin getol mencari mitra di Indonesia. Tren tersebut difasilitasi oleh Badan Kerjasama Internasional Jerman (GIZ). Salah satu contoh bentuk kemitraan adalah dengan pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah dalam mengembangkan ekonomi lokal. Salah satu agenda konkrit adalah pendirian klaster industri rotan di Gatak, Sukoharjo yang digagas bersama antara GIZ, Bank Indonesia dan Pemprov Jateng.
Pengembangan UMKM di Jerman pada awalnya terfokus pada pelatihan praktis bagi pemuda dan adanya skema pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Rekonstruksi Jerman (KfW). Bank pemerintah ini memiliki suatu cabang yang memfokuskan diri sepenuhnya pada pendanaan UMKM.

Ditinjau dari aspek ketenagakerjaan UMKM di Jerman menyerap sekitar 79 % dari total angkatan kerja. Jerman memiliki model ketenagakerjaan yang cukup ideal sehingga menjadi contoh banyak negara. Model pelatihan untuk menyiapkan tenaga kerja ahli untuk memperkuat model bisnis UMKM terus dipacu. 

Kemampuan UMKM Jerman untuk memperluas lapangan kerja menyebabkan negeri itu membutuhkan sekitar 200.000 tenaga kerja berkualifikasi dari luar negeri setiap tahunnya. Menteri Tenaga Kerja Jerman Ursula von der Leyen sempat mengeluh bahwa posisi lowongan diatas ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama hingga terisi. Sehingga bisa mengganggu produktifitas. Menurut data statistik, untuk sebuah lowongan diperlukan 72 hari. Bidang pekerjaan yang paling dicari adalah ahli teknik, dokter dan perawat orang-orang lanjut usia.

Kebijakan untuk mengundang pekerja asing ke Jerman ditempuh dengan cara pengakuan ijazah asing di bidang pekerjaan tertentu. Juga dengan adanya undang-undang yang memberikan insentif kepada tenaga kerja asing berkualifikasi dari negara-negara non Uni Eropa dalam bentuk kebijakan Blue Card yang mempermudah ijin tinggal dan sebagainya. Kebijakan diatas merupakan jawaban terhadap masalah demografi dan ketenagakerjaan. Yang mana ada ancaman menurunnya jumlah penduduk sampai tahun 2030 menjadi sekitar 77 juta. Dan sampai tahun 2060 menjadi 65 juta, sehingga dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi dan memperumit pembiayaan jaminan sosial. Jika program ketenagakerjaan di Jerman bermasalah, maka negeri ini pada tahun 2030 diprediksi akan kekurangan 6 juta tenaga kerja. Hal itu akan mengancam pertumbuhan ekonomi dan dinamika inovasi dimasa mendatang.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung, Doktor Administrasi Pendidikan UPI Bandung