Minggu, 04 Mei 2008

Langkah Jitu "Menggairahkan" Pintu Gerbang Ekonomi Jawa Barat


Optimalisasi Pelabuhan Cirebon

Oleh HARJOKO SANGGANEGARA *)

Pelabuhan Cirebon hingga saat ini belum memberikan kontribusi ekonomi yang berarti bagi propinsi Jawa Barat. Pelabuhan yang selalu didera oleh kerugian dan konflik manajemen tersebut selama lima tahun terakhir ini mengalami “gegar” orientasi. Berbagai proyeksi terhadap pelabuhan Cirebon telah dilakukan, dari pelabuhan internasional hingga Agriport. Namun, berbagai proyeksi tersebut selalu kandas akibat kurang sinerginya antara Pelindo II dengan Pemprov Jawa Barat dalam hal strategi pengembangan dan pengelolaan pelabuhan Cirebon.

Pada saat bisnis pelabuhan internasional sedang bergairah seharusnya pelabuhan Cirebon tidak boleh termenung lesu sekedar menjadi penonton. Keinginan berbagai investor asing untuk mengoperasikan pelabuhan di Indonesia serta kegairahan pemerintah pusat untuk melakukan privatisasi pelabuhan seharusnya dijadikan momentum untuk mengoptimalkan pelabuhan Cirebon. Optimalisasi pelabuhan Cirebon selama ini hanya sebatas wacana karena terbentur oleh beberapa aspek yang antara lain sulitnya pelabuhan ini melepaskan diri dari predikat “shadow” atau bayang-bayang dari pelabuhan Tanjung Priok. Karena “shadow” itulah yang membuat pelabuhan Cirebon seolah-olah di-bonsai. Itulah sebabnya berbagai produk ekspor Jabar sebagian besar masih dikirim lewat Tanjung Priok. Bahkan produk-produk agrobisnis dari Jabar juga tidak banyak yang dikirim lewat pelabuhan Cirebon, padahal pelabuhan ini telah direncanakan sebagai Agriport atau pelabuhan khusus produk-produk pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Pelabuhan Cirebon pertama kali dibangun tahun 1865, pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pada tahun 1890 diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan. Sejak saat itu Pelabuhan Cirebon terus dikembangkan sejalan dengan bertambahnya investasi di wilayah Cirebon, yang meliputi pabrik gula, pabrik rokok British American Tobacco (BAT) dan perkebunan tebu. Pada tahun 1927, Pelabuhan Cirebon masih berada di dalam struktur organisasi Pelabuhan Semarang, kemudian sejak tahun 1957 berada di bawah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sejak tahun 1983 Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu Cabang Pelabuhan PT. Pelindo II yang berkantor pusat di Jakarta.

Mencari Saudara Kembar

Pelabuhan Cirebon idealnya merupakan pintu gerbang perekonomian Jawa Barat. Namun belum matangnya konsep dan strategi pengembangan pelabuhan Cirebon baik yang dilakukan oleh Pemda maupun Pelindo II membuat pelabuhan yang dibangun pada tahun 1865 itu kondisinya masih merana. Mestinya Pemprov Jabar membuat langkah progresif dan inovatif untuk membangunkan pelabuhan Cirebon sehingga menjadi potensi ekonomi yang luar biasa. Untuk itu perlunya membuat jaringan kota kembar ( Sister City ) bagi kota Cirebon dengan kota pelabuhan dunia yang sudah maju yang memiliki kemiripan geografis, sosial, ekonomi, dan budaya. Yang tepat dijadikan saudara kembar adalah Busan ( Korea Selatan ), atau Kochi ( Jepang ). Adanya kesamaan geografis dan tipologi kota akan mendorong terwujudnya kerjasama untuk saling belajar dan kerjasama di pelbagai bidang. Kochi rnerupakan pusat aktivitas administrasi daerah di pulau Shikoku, Jepang. Yang memiliki industri utama dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kochi rnerupakan kota pelabuhan yang dibuka sejak 400 tahun yang lalu. Sejak tahun 1994 Kochi memfokuskan perkembangannya berdasarkan promosi ekonomi dengan modernisasi kelengkapan sarana dan prasarananya. Saat ini Kochi berkembang menjadi kota perdagangan, kebudayaan dan juga menjadi barometer sosial-politik di Jepang. Kota di benua Asia yang lainnya yang ideal untuk dijadikan saudara kembar Cirebon adalah Busan. Adalah kota terbesar kedua di Korea Selatan dan rnerupakan salah satu kota pelabuhan terbesar yang terletak di semenanjung di Korea Selatan. Karena letaknya yang dekat dengan Lautan Pasifik, secara historis Pusan memiliki peran penting sebagai pintu masuk budaya dan perdagangan dari luar negeri. Sejak dibuka sebagai pelabuhan pada tahun 1876, Busan berkembang menjadi kota perdagangan, pusat industri perkapalan, dan rnerupakan kota wisata yang menjadi pintu gerbang mernasuki Korea Selatan.
Komplikasi Kelembagaan

Gubernur Jawa Barat yang pada waktu itu Nuriana pernah menyodorkan konsep bahwa pembangunan pelabuhan Cirebon terkendala oleh lokasi pelabuhan yang dinilai berada di tengah kota sehingga terlalu kecil untuk dikembangkan. Untuk itulah dicari alternatif membangun pelabuhan baru. Namun, kondisi pada saat ini sangat sulit mencari model pembiayaan pembangunan pelabuhan baru pengganti pelabuhan Cirebon. Apalagi positioning pelabuhan Cirebon dalam tarik menarik ekonomi nasional masih sangat lemah. Untuk itulah perlunya motifasi yang kuat dari Propinsi Jabar untuk mempertinggi bargaining position sehingga status pelabuhan Cirebon bisa berkembang dan meningkat dari pelabuhan domestik yang profitable lalu menjadi pelabuhan internasional yang sangat feasible sebagai pintu kegiatan ekspor-impor. Dari berbagai kajian telah menunjukkan bahwa optimalisasi pelabuhan Cirebon bisa menghemat biaya dan jarak pengiriman. Dilain sisi, pengiriman barang dan jasa lewat Pelabuhan Tanjung Priok membuat komoditas ekspor kurang kompetitif. Selain itu pelabuhan Cirebon sebenarnya lebih menguntungkan kalangan pengusaha dari Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Karena komoditas ekspor yang berasal dari Tegal, Brebes, Kuningan, Indramayu, dan Cirebon sendiri, tidak lagi harus ke Tanjung Priok yang sering terkendala kemacetan lalu lintas jalur Pantura. Sebagai contoh kalkulasi sederhana, selama ini cost yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk mengangkut rotan dari Cirebon ke tempat tujuan lewat pelabuhan Tanjung Priok sekitar 3.000 dollar AS per kontainer, padahal harga jual barangnya hanya sekitar Rp 18.000 dollar AS. Kalau melalui Pelabuhan Cirebon ongkosnya hanya sekitar 800 dollar AS. Sehingga bisa menghemat 2.200 dollar AS setiap kontainernya.
Hingga saat ini “komplikasi” kelembagaan masih mewarnai pengelolaan kepelabuhan. Fenomena “komplikasi” tersebut juga terjadi dalam pengelolaan pelabuhan Cirebon. Bahkan perang dingin antara PT Pelindo dengan pihak Pemerintah daerah acap kali mencuat. Seperti yang terjadi dengan pembangunan JNP ( Jakarta New Port ) yang tengah gencar dilakukan oleh Pemda DKI. Seperti diketahui bahwa pembangunan JNP merupakan jawaban terhadap kinerja Pelabuhan Tanjung Priok yang jauh dari harapan. Selama ini, dalam menghadapi Pemda pihak. Pelindo II selalu berlindung dengan argumentasi bahwa pembangunan pelabuhan nasional yang bersifat internasional berada di bawah pengawasan Menteri Perhubungan sebagaimana ditetapkan pasal 11 PP No. 69/2001, yang mana pengelolaannya berada dibawah PT Pelindo (BUMN). Padahal, pembangunan pelabuhan oleh Pemda seperti halnya JNP tidak bertentangan dengan ketentuan PP No.69/2001. karena berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya Pemprov memiliki wewenang mengatur dan menyelenggarakan jasa kepelabuhan. Apalagi dengan adanya monopoli pengelolaan jasa pelabuhan nasional oleh Pelindo selama ini maka produktivitas pelabuhan menjadi rendah dan port-days ( lama sandar ) masih tinggi. Dengan semakin berperannya pihak Pemprov untuk masuk ke pasar pelabuhan, dari aspek persaingan usaha diharapkan menjadi lebih baik. Karena persaingan akan mendorong terjadinya efisiensi dan inovasi.
Dalam konteks optimalisasi pelabuhan Cirebon diharapkan adanya hubungan yang lebih baik antara Pemprov Jabar dengan Pelindo II. Masalah yang mendesak adalah bagaimana melakukan efisiensi dan inovasi. Serta membangunan fasilitas dan teknologi yang lebih maju. Untuk itulah Pelindo II harus berbenah diri untuk meningkatkan kualitas produknya, seperti menurunkan port-days sesingkat mungkin. Sedangkan pihak pemprov Jabar berkewajiban untuk mengarahkan para pengusaha di Jabar untuk memakai jasa pelabuhan Cirebon dengan berbagai insentif. Selain itu pihak Pelindo II juga memiliki kewajiban untuk selalu bersikap ecoport atau peduli lingkungan pelabuhan. Sehingga masyarakat Cirebon lebih merasakan manfaat pasti. Tidak malah terkena dampak negatifnya, seperti halnya pencemaran debu batu-bara yang terjadi baru-baru ini.

*) Budayawan, Anggota DPRD Propinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan.
**) Artikel pernah dimuat di harian KOMPAS

Tidak ada komentar: