Senin, 12 Desember 2011

Kesiapan Daerah Hadapi Bencana Alam

Oleh Harjoko Sangganagara | Daily Investor. Sabtu, 10 Desember 2011 | 22:46


Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan ambruknya bangunan mulai sering terjadi. Celakanya, sistem mitigasi untuk bencana di daerah masih amburadul.

Kesiapan daerah untuk menghadapi bencana alam masih sangat rapuh. Pemerintah daerah justru banyak menggantungkan pemerintah pusat dalam hal mitigasi maupun penanganan bencana. Mestinya pemerintah daerah harus mampu memotivasi dan memfasilitasi rakyat agar bisa mengatasi dan mereduksi dampak bencana alam.

Sebaiknya, ada social engineering bagi semua elemen masyarakat sehingga mereka paham ancaman dan karakter bencana yang mengancam. Hal itu mestinya menjadi tradisi modern.

Masyarakat mesti memiliki nalar ilmiah dan teknologi tepat guna dalam menghadapi bencana. Diperlukan program daerah yang kokoh dan sistemik dalam menghadapi bencana alam. Secara definitif bencana alam adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, nonalam dan manusia, yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Tanggung Jawab Negara
Secara regulatif, sudah dibentuk Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang itu dibuat karena negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Karenanya negara harus memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.

Namun, masih ada kepincangan di sana-sini ketika bencana alam datang menerjang. Prinsip-prinsip dasar dalam penanggulangan bencana yang seharusnya bersifat cepat dan tepat, koordinasi dan keterpaduan, transparan dan akuntabel selama ini belum bisa diwujudkan. Padahal, tujuan penanggulangan bencana adalah untuk melindungi masyarakat dengan menyelaraskan peraturan, membuat langkah-langkah yang terencana dan sinergis, menguatkan budaya dan kearifan local hadapi bencana, dan mengembangkan semangat gotong-royong.

Mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana masih sebatas teori di atas kertas. Padahal, kegiatan mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Perlunya sosialisasi tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana alam.

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan, pendidikan mengenai penanggulangan bencana, memperoleh informasi, dan berperan serta dalam program bantuan pelayanan kesehatan dan dukungan psikososial, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan melakukan pengawasan.

Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan berhak memperoleh ganti kerugian karena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi. Langkah dasar yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam meliputi penjaminan pemenuhan hak pengungsi dengan standar pelayanan minimum; pengurangan risiko bencana yang dipadukan dengan program pembangunan; serta pengalokasian dana penanggulangan bencana alam dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara memadai.

Begitu pula fungsi DPRD dalam penanggulangan bencana harus dioptimalkan. Fungsi itu meliputi, pertama, membuat peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Kedua, mengawasi kinerja pemerintah daerah. DPRD melalui berbagai alat kelengkapan dewan seperti komisi dan kepanitiaan khusus harus mencermati masalah penanggulangan bencana mulai dari aspek kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaannya.

Ketiga, mengalokasikan dana melalui APBD. Dana tersebut digunakan untuk membantu korban bencana dan perbaikan infrastruktur yang rusak akibat bencana.

Jiwa Gotong-Royong
Seluruh pemerintah daerah harus secepatnya menata sistem dan mengokohkan kebijakan. Dalam skala bencana yang besar, anggaran APBD sering kurang memadai. Untuk itu, perlu dibangkitkan jiwa gotong royong untuk menghadapi bencana. Potensi rawan bencana suatu daerah yang telah dideteksi oleh lembaga ilmiah hendaknya diperkuat jiwa gotong royong masyarakatnya untuk membuat prasarana dan prosedur mitigasi dalam menghadapi bencana.

Gotong-royong yang telah digali oleh pendiri Republik Indonesia menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Selain itu, juga pentingnya pemerintah daerah untuk mengonsolidasikan Taruna Siaga Bencana (Tagana).

Tagana adalah suatu organisasi atau gugus tugas berbasis masyarakat yang berorientasi di bidang kesejahteraan sosial untuk menangani penanggulangan bencana. Seorang anggota Tagana harus mendapat pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana berkala oleh Balai Diklat Departemen Sosial berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dan mendapatkan sertifikat.

Berbagai biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan operasional Tagana dibebankan kepada anggaran APBN dan APBD Penanggulangan Bencana, tentu berdasarkan usulan yang disampaikan oleh kecamatan, kabupaten/kota, atau provinsi yang disampaikan secara berjenjang.

Selanjutnya, usulan tersebut disahkan guna mendapatkan penetapan dari Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial atas nama Menteri Sosial. Menguatkan kebijakan daerah hadapi bencana alam selain dengan regulasi, konsolidasi SDM, memompa jiwa gotong royong juga dibutuhkan perangkat teknologi informasi.

Dalam hal ini, teknologi sistem informasi geografis (SIG) yang bisa diakses publik secara mudah sangat berguna untuk membantu antisipasi bencana serta perencanaan yang cepat dalam hal tanggap darurat saat terjadi bencana alam.

Penulis dosen STIA Bagasasi Bandung

Kamis, 24 November 2011

Museum, Pusat Ekonomi Kreatif

Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor, Sabtu, 19 November 2011 | 22:19




Penggabungan bidang kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional menimbulkan keruwetan dan tumpang tindih di lapangan. Restrukturisasi organisasi tersebut di level bawah bisa menyebabkan pemborosan dan disorientasi program.

Selain itu, penggabungan bisa menyebabkan terjadinya devaluasi atau penurunan nilai ekonomi kreatif nasional. Akhir-akhir ini kebudayaan nasional mulai bergairah karena tatakelolanya mulai menyentuh aspek komersialisasi yang sistemik.

Banyak entitas kebudayaan seperti museum, taman budaya, sanggar seni tradisi dan lain-lain mulai menggeliat ketika diurus oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata. Namun, dengan berpindahnya urusan kebudayaan ke Kementerian Pendidikan, dikhawatirkan terjadi perlambatan dalam mengurus entitas kebudayaan. Karena untuk mengurus pendidikan saja sudah kalang kabut, apalagi politik anggaran di daerah selama ini kurang berpihak terhadap entitas kebudayaan. Dengan demikian entitas kebudayaan diibaratkan seperti hidup segan mati tak mau.

Entitas kebudayaan, seperti halnya museum yang di negeri ini jumlahnya ribuan, dikawatirkan akan mengalami kesulitan dana lalu telantar. Ini benarbenar terjadi pada waktu yang lalu, ketika entitas kebudayaan membeku karena terkalahkan oleh sektor pendidikan.

Lembaga Nonprofit
Setelah terpisah dari sektor pendidikan, entitas kebudayaan mulai menggeliat, seperti terlihat dengan adanya program Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) terkait dengan 90% dari jumlah museum di Indonesia pemeliharaannya masih jauh dari harapan.

Gerakan tersebut pada prinsipnya merupakan revitalisasi museum untuk mewujudkan museum Indonesia yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Ini karena para pengelola museum di negeri ini kebanyakan kurang kreatif dan inovatif.

Akibatnya, kesan museum tetap saja usang dan membosankan. Eksistensi museum belum mampu mencuatkan nilai-nilai unggul koleksi yang tersimpan dan tersaji kepada publik. Karena itu, betapa pentingnya mentransformasikan sistem pengelolaan museum agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman serta kompatibel dengan ekonomi kreatif dan industri pariwisata.

Sistem pengelolaan museum harus bisa mengemas koleksi, sehingga bisa mendongkrak segmentasi pasar, promosi, serta nilai estetika dan ilmiahnya. Transformasi pengelolaan museum hendaknya jangan mengganggu fungsi dasar museum dalam konteks keilmuan, yakni museologi.

Ini berarti mencakup penelitian, konservasi atau pelestarian, serta komunikasi yang merupakan aspek mediasi dengan masyarakat. Fungsi dasar tersebut menempatkan museum sebagai lembaga nonprofit yang bertugas menyimpan, merawat, meneliti, dan memamerkan koleksi.

Pada era konvergensi teknologi informasi sekarang ini pentingnya repositioning museum sebagai pusat industri kreatif dan sebagai wahana untuk memicu daya kreativitas. Dengan demikian fungsi yang hakiki dari museum bisa terwujud, yakni museum sebagai inspirator bagi warga bangsa dalam berkreasi dan berinovasi sehingga tangguh menghadapi persaingan global.

Entitas kebudayaan mestinya bisa menjadi leverage atau daya ungkit kemajuan bangsa. Masalah kebudayaan menjadi hal yang strategis bagi perjalanan bangsa ke depan, terutama usaha untuk menumbuhkan budaya inovasi sebagai kunci persaingan bangsa ke depan. Selain itu, kebudayaan juga bisa membentuk dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Oleh sebab itu pentingnya strategi kebudayaan yang fokus terhadap pertumbuhan industri kreatif dan peningkatan daya inovasi.

Menumbuhkan daya inovasi hendaknya jangan hanya bersifat seremonial dan terlalu birokratif. Kegiatan untuk menumbuhkan daya inovasi sebaiknya dilakukan oleh masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi. Pada prinsipnya, sumber inovasi, baik itu produk atau proses merupakan proses belajar. Dalam konteks ekonomi makro, learning itu sebagai salah satu komoditas ekonomi yang penting sementara prosesnya dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, baik secara perorangan, kelompok, maupun kelembagaan.

Agar rakyat mampu melakukan kegiatan inovatif yang bernilai tambah maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya yaitu dengan memperkuat kapasitas learning-nya. Jadi, aliran informasi dan knowledge dari sumber-sumber ilmu dan teknologi ke masyarakat perlu terus menerus difasilitasi lewat wahana pendidikan formal maupun yang berupa pendidikan non-formal.

Tumbuhkan Daya Kreatif
Di negara-negara maju, tak bisa dimungkiri bahwa entitas kebudayaan, seperti halnya museum, merupakan wahana untuk menumbuhkan daya kreativitas dan inovasi bagi warganya. Oleh sebab itu pentingnya langkah untuk menjadikan museum sebagai kiblat kebudayaan dan ekonomi kreatif.

Ada baiknya kita melihat sistem dan tata kelola museum oleh Smithsonian. Berbagai macam kebudayaan yang pernah ada di bumi, fenomena alam, proses inovasi, semuanya ada dalam koleksi Smithsonian. Kita juga bisa menelusuri proses kreatif yang terkait tentang inventing yang berkontribusi terhadap kemajuan dunia. Hal itu sangat penting untuk merangsang daya pikir masyarakat mengenai bagaimana para penemu atau inovator kelas dunia bekerja.

Tak bisa dimungkiri lagi Smithsonian American Art Museum selama ini mampu menyuburkan kreativitas bangsa Amerika. Eksistensi museum tersebut juga sangat strategis untuk menumbuhkan ekonomi kreatif yang tengah dikembangkan oleh entitas pendidikan tinggi terkemuka di Amerika Serikat seperti contohnya Massachusetts College of Art. (*)

Penulis dosen STIA Bagasasi Bandung

Minggu, 20 November 2011

Ketahanan Pangan dan Budaya yang Terabaikan

Oleh Harjoko Sangganagara
| Dimuat Investor Daily Kamis, 3 November 2011 | 8:55

Dunia mulai diadang oleh krisis pangan. Sayangnya, belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan. Mestinya ada terobosan yang esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan kepada rakyat secara gratis.

Hal lain yang perlu dilakukan yakni mendayagunakan pekarangan rakyat yang masih kosong dan lahan-lahan tidur yang tidak produktif. Selain itu, pentingnya inovasi daerah tentang teknologi tepat guna, yakni mesin penepung. Ini akan sangat membantu peningkatan produksi tepung yang berbasis tanaman lokal, seperti singkong, ubi jalar, garut, dan sebagainya.

Dengan demikian ketergantungan terhadap tepung gandum bisa berkurang. Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) mestinya juga menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari GP3K cukup besar.

BUMN saja bersedia mengucurkan hingga Rp 1,5 triliun pada 2011. Ketersediaan dana tersebut mestinya sebagian bisa dipakai untuk membangun infrastruktur untuk memproduksi benih yang bermutu.

Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana yang sangat besar, seperti halnya rencana mendirikan BUMN pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu yang cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara kebutuhan perut rakyat tidak bisa menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek tersebut, jika tanpa penataan corporate farming yang baik, hal itu justru akan mengakibatkan kegagalan.

Pemuliaan Benih Tanaman
Dalam mengantisipasi krisis pangan ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan, yakni budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayangnya, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas oleh kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya harus digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai serta pekarangan rumah rakyat di Pulau Jawa yang belum tergarap secara baik. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan yang luar biasa jika kondisinya berkecukupan benih.

Sekadar gambaran, di Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbanyak di negeri ini, masih ada sekitar 400 ribu hektare lahan kritis yang potensial untuk ditanami tanaman pangan. Kemudian juga masih banyak pekarangan rakyat yang dibiarkan kosong. Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah menyediakan benih unggul dan mendorong budaya pemuliaan benih.

Sebagai negara agraris Indonesia sudah seharusnya memiliki kemajuan dalam rekayasa perbenihan. Kemajuan itu ditandai dengan kemampuan pemerintah menyediakan secara gratis benih unggul apa saja kepada rakyat luas. Atau setidak-tidaknya dengan harga yang murah.

Dengan langkah itu maka program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya, hingga kini masalah benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini Indonesia masih sangat tergantung pada impor benih, seperti misalnya padi hibrida dari Tiongkok. Sudah waktunya pemerintah daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga.

Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong melompong karena kesulitan mendapatkan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan rakyat akan menjadi produktif.

Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara pemuliaan benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi saja, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Sejarah telah mencatat bahwa rakyat biasa pun mampu melakukan pemuliaan benih. Seperti contohnya, Pak Mukibat yang berhasil menemukan benih singkong unggul. Apalagi nenek moyang kita juga mewariskan budaya pemuliaan benih.

Tata kelola dan program pemuliaan benih hingga saat ini masih memprihatinkan. Akibatnya, ketersediaan benih unggul tanaman secara nasional maupun daerah sering kedodoran pada musim tanam. Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah yang tidak berfungsi secara normal karena salah urus.

Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di beberapa daerah, seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura milik daerah bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasil pemuliaannya bisa disebarkan kepada masyarakat. Namun kenyataannya balai semacam itu kini kondisinya kurang produktif dan SDM-nya hanya duduk di belakang meja.

Bentuk Corporate Farming
Fakta menunjukkan, sebagian besar kebutuhan benih, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, tidak bisa terpenuhi dengan baik. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Brasil adalah contoh negera yang sukses dalam program seperti itu.

Di Brasil dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif yang cukup besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi pemuliaan benih dengan teknologi transgenik pada saat ini perkembangannya sangat pesat. Sementara usaha benih secara konvensional berjalan lambat akibat biaya produksi yang cukup tinggi.

Bangsa Indonesia hendaknya serius menghadapi masalah benih. Apalagi data menunjukkan setiap tahun petani padi hanya menggunakan sekitar 40% benih bersertifikat dari kebutuhan total nasional.

Melihat kondisi di atas mestinya fokus sektor usaha pertanian dari pemerintah pusat hingga daerah adalah membentuk corporate farming yang dilandasi oleh usaha pemuliaan benih secara efektif. Pemerintah daerah sebaiknya membuat terobosan dan membenahi tempat atau balai-balai perbenihan. Budaya pemuliaan benih juga harus dibangkitkan kembali di tengah masyarakat.

Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung

Sabtu, 15 Oktober 2011

Seni Menghadapi Krisis

Oleh Harjoko Sangganagara | Investor Daily. Minggu, 9 Oktober 2011 | 22:35

Dalam situasi dunia yang masih dibayangbayangi resesi ekonomi, tertawa berkualitas menjadi urusan penting. Budaya tertawa berkualitas atau tertawa tulus ternyata semakin penting bagi sektor korporasi, birokrasi, dan edukasi publik pada saat seperti ini. Bahkan, menurut hasil riset kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan oleh konsultan internasional Hay Group, tipe kepemimpinan atau manajemen yang paling efektif pada era sekarang ini adalah yang sarat humoris dan bukan eksentrik.

Sekadar catatan, pada saat depresi ekonomi dunia tahun 30-an Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt begitu getolnya menumbuhkan budaya tertawa tulus di tengah bangsanya. Roosevelt juga memberikan peran yang luas kepada para seniman dan budayawan untuk menghibur sekaligus menumbuhkan optimisme rakyat.

Aktor besar Charlie Chaplin adalah sosok yang sangat berperan dalam menghalau hantu malaise dan membentang cakrawala baru. Begitupun Presiden Barack Obama juga selalu terlihat canda dan tertawa tulus menghadapi beban berat yang dipikulnya.

Masih hangat dalam ingatan kita, pada 70-an begitu populernya lagu Ayo Ngguyu (Ayo Tertawa) yang dinyanyikan oleh biduan legendaris Waldjinah. Lagu itu telah menjadi spirit bagi masyarakat, utamanya kaum tani untuk bekerja keras mewujudkan swasembada pangan atau beras. Lagu Ayo Ngguyu yang tak henti-hentinya berkumandang di perdesaan dan perkotaan itu telah mendorong berkembangnya budaya tertawa tulus dan pada gilirannya telah mewujudkan rasa tenteram, toleransi, dan percaya diri.

Positif untuk Korporasi
Kondisinya memang sangat berbeda dengan saat ini, di mana para petani terus didera gundah gulana akibat sederet persoalan, seperti kekeringan, merosotnya daya beli, hingga bencana alam. Orang di desa pun telah kehilangan budaya tertawa tulus. Selain menghadapi krisis dengan instrument keuangan dan inovasi produk, perusahaan multinasional sekarang ini juga telah menggencarkan budaya tertawa tulus. Terapi tertawa, senam tertawa, dan eksploitasi humor telah menjadi tren di perusahaan multinasional.

Dalam konteks tersebut terlihat adanya transformasi budaya kerja dari yang serba kaku dan terburu waktu, menjadi ruang atau situasi kerja yang mampu berbagi emosi. Salah satu fenomena di atas terlihat di industri otomotif Ford’s River Rouge.

Sebelumnya, tindakan tertawa, termasuk bersenandung, bersiul, dan tersenyum, yang dilakukan oleh karyawan merupakan sebuah kesalahan atau indisipliner yang harus diberi sanksi. Cukup banyak karyawan Ford yang dipecat garagara kepergok sedang tertawa bersama kawan-kawannya. Disiplin manajerial yang kaku itu adalah refleksi dari gaya manajemen Henry Ford. Namun, pada era sekarang ini, di mana industri otomotif sedang terancam kebangkrutan, ternyata terapi tertawa diperlukan untuk memelihara produktivitas dan stamina beban kerja.

Budaya tertawa tulus bagi kemajuan korporasi hasilnya sangat positif. Salah satu contohnya adalah perusahaan penerbangan Southwest Airlines yang sudah cukup lama mendorong budaya tertawa dalam mengelola SDM. Para pilot, pramugari, hingga teknisi yang sehari-harinya didera beban kerja dengan dampak yang sangat tinggi mampu bersinergi secara baik dengan terapi tertawa sebelum menjalankan tugas. Hasilnya, perusahaan itu sekarang masih bisa survive dan berkinerja sangat baik. Di lain pihak, para pesaingnya banyak yang di tepi jurang kebangkrutan.

Terapi tertawa juga sangat berguna bagi profesi kedokteran. Para dokter banyak yang belajar terapi tertawa dan terus menambah perbendaharaan humornya untuk menghadapi pasiennya. Apalagi fakta menunjukkan banyak pasien yang sembuh lebih cepat ketika mereka sering tertawa dengan tulus. Saat ini, tertawa mendapat porsi yang sangat berarti dalam penyelidikan pikiran atau otak manusia. Bahkan perguruan tinggi terkemuka di dunia, seperti Massachusetts Institute of Technology (MIT) sedang gencar melakukan riset mengenai budaya tertawa.

Untuk mendorong budaya tertawa para pemimpin korporasi mempunyai tanggung jawab tertawa tiga kali lebih banyak. Secara ilmiah tertawa tulus sangat berbeda efek dan maknanya dengan tertawa palsu. Tertawa tulus sangat berguna untuk memompa motivasi diri, terapi penyembuhan jasmani dan rohani, serta obat pengusir stress atau depresi yang paling ampuh. Tertawa tulus bisa dideteksi secara ilmiah, begitu pula dengan tertawa palsu. Tertawa tulus atau senyuman sejati oleh pakar psikologi Ekman disebut dengan istilah tertawa Duchenne. Istilah tersebut diambil dari nama seorang neurologis asal Prancis Duchenne de Boulogne, yang melakukan riset pertama dalam bidang tersebut pada 1980-an.

Ampuh dan Murah
Menurut teori, senyuman yang tulus melibatkan secara simultan dua otot wajah, yakni pertama, otot zygomatic major, yang memanjang dari tulang pipi dan mengangkat sudut-sudut mulut. Kedua, bagian luar dari otot obicuralis oculi, yang mengelilingi mata, dan terlibat dalam “menarik ke bawah alis mata dan kulit di bawah alis mata, dan menarik ke atas kulit di bawah mata, dan mengangkat pipi-pipinya”.

Tertawa atau senyuman yang artificial alias palsu hanya melibatkan otot zygomatic major. Tesis menyatakan, kita dapat mengontrol otot itu, namun kita tidak dapat mengontrol bagian yang relevan dari otot obicuralis oculi. Karena otot itu berkontraksi secara spontan alias tidak bisa dimanipulasi, dan hanya ketika kita benar- benar mengalami “kesenangan” otot itu akan bergerak. Duchenne menyimpulkan, emosi dari kesenangan yang jelas diekspresikan pada wajah oleh kontraksi gabungan antara otot zygomatic major dan obicuralis oculi. Yang pertama mematuhi keinginan kita, dan yang kedua hanya dimainkan oleh emosi-emosi yang manis oleh misteri jiwa.

Tertawa tulus merupakan obat yang ampuh dan murah dalam menghadapi krisis ekonomi. Oleh sebab itu, perlunya epidemi tertawa tulus yang bisa menjaga kesehatan, bahkan tidak mustahil bisa menciptakan ketenteraman umum. Ayo tertawa tulus, harapan masih membentang luas.

Penulis dosen STIA Bagasasi Bandung

Rabu, 14 September 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN

ABSTRAK

Harjoko Sangganagara B. Sugiatmo. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN. (Studi Alokasi Anggaran dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Provinsi Jawa Barat).

Pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat hanya memperoleh alokasi anggaran kurang dari 10% dari total anggaran pendidikan. Dengan demikian masalah pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana anggaran yang relatif kecil dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan dan meningkatkan mutu pendidikan dasar sebagaimana secara normatif tercantum pada dokumen perencanaan daerah. Untuk itu diperlukan implementasi kebijakan yang memungkinkan pendidikan dasar Sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) di Provinsi Jawa Barat dapat berjalan dengan baik dan bermutu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis kebijakan atau metode post policy analysis, sedangkan teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi, focus group discussion wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah provinsi Jawa Barat dalam implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip proporsionalitas, efisiensi dan akuntabilitas namun belum sesuai dengan prinsip efektivitas. Prinsip efektivitas dilakukan dengan mengkaitkan kinerja dengan indikator yang harus dicapai yang ditentukan dalam RPJMD yang menunjukkan bahwa indikator-indikator nampaknya tidak dapat dicapai sepenuhnya oleh eksekutif.

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya belum menerapkan mutu dalam konsep absolut yang menerapkan pencapaian standar tertinggi dalam pekerjaan, produk maupun layanan, maupun mutu menurut pelanggan yang merupakan sesuatu yang memuaskan pelanggan (masyarakat, orang tua murid, dunia usaha). Mutu masih dianggap sebagai konsep relatif yang masih perlu ditingkatkan terus menerus.

Sabtu, 16 April 2011

Menyoal Retorika Rumah Murah

SINAR HARAPAN Rabu 13. of April 2011 13:30

OLEH: HARJOKO SANGGANAGARA


Pemerintah sedang berusaha mengambil hati rakyat dengan berbagai rencana pembangunan infrastruktur yang bisa langsung dinikmati rakyat kecil.
Rencana itu antara lain dengan pernyataan pemerintah yang akan menyediakan rumah yang harganya sangat murah.

Apakah rencana pemerintah tersebut realistis atau hanya pepesan kosong? Mengingat fakta di lapangan menunjukkan betapa sulitnya rakyat memperoleh rumah yang harganya murah. Apalagi, pada saat ini telah terjadi komplikasi regulasi dengan pelaksanaan pembangunan perumahan untuk rakyat. Regulasi dan kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini nuansanya justru memihak pembangunan rumah mewah dan pro pengembangan kawasan elite. Sementara itu, pembangunan perumahan rakyat kecil masih jauh dari harapan.

Kondisinya semakin menyedihkan karena substansi UU Perumahan dan Permukiman yang baru disahkan kurang memihak kepentingan rakyat kecil. UU Perumahan dan Permukiman yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 1992 itu dirasakan tidak membumi alias kurang berpihak pada rakyat untuk mendapatkan rumah murah.
Substansi RUU di atas juga kurang sistemik, karena belum mengatur secara tegas sistem kelembagaan pelaksana pembangunan perumahan. Akibatnya, posisi lembaga pembangun perumahan seperti Perumnas masih lemah. Selain itu, substansi RUU juga belum bisa dijadikan fondasi untuk mengatasi defisit pengadaan rumah rakyat.
Dengan adanya komplikasi seperti itu, lalu dengan sistem seperti apa pemerintah bisa mewujudkan rumah murah dengan jumlah yang signifikan.
Skema yang dilontarkan oleh Menteri Perumahan Rakyat terkait hal di atas adalah dengan cara menurunkan suku bunga KPR dengan cara menyuntikkan dana APBN kepada perbankan. Skema tersebut sebenarnya bukan hal baru dan faktanya selama ini kurang efektif di lapangan. Kondisi di lapangan sangat ruwet dan di sana-sini terjadi biaya ekonomi tinggi bagi pelaksana pembangunan rumah murah.

Perumnas

Berbicara tentang rumah murah, di dalam benak rakyat tidak bisa lepas dari eksistensi Perumnas. Ironisnya, kondisi lembaga Perumnas sendiri seperti hidup segan mati tak mau. Aset dan proyek-proyek PT Perumnas terlihat stagnan dan terbengkalai. Kawasan-kawasan perumahan rakyat yang telah dibangun PT Perumnas kondisi infrastrukturnya banyak yang rusak.
Kerusakan infrastruktur itu semakin parah dan tidak ada pihak yang berusaha memperbaikinya, seperti contohnya kompleks perumahan Bumi Rancaekek Kencana. Kompleks tersebut merupakan salah satu contoh yang menyedihkan terkait terdegradasinya peran lembaga Perumnas.

Tak bisa dimungkiri lagi, pada saat ini telah terjadi degradasi kawasan yang telah dibangun oleh Perumnas. Selain itu, juga masih banyak aset dan produk Perumnas yang masih menganggur dan terbengkalai lepas dari kontrol manajemen pusat. Pengelola Perumnas belum mampu menciptakan kawasan pertumbuhan kota yang nyaman dan sarat nilai tambah ekonomi. Masih banyak aset Perumnas yang masih menganggur dan cukup banyak yang disalahgunakan pihak lain.

Terkait masalah tersebut, sebaiknya pemerintah melakukan audit investigasi guna mengetahui secara pasti berapa sebenarnya jumlah aset Perumnas yang masih menganggur serta jumlah aset yang mengalami penyimpangan. Setelah itu baru menggerakkan usaha yang arahnya ke efisiensi lahan.
Sayangnya, langkah manajemen Perumnas untuk meningkatkan kinerja korporasi di segala lini dengan menetapkan visi baru sebagai pelaku utama dalam penyediaan perumahan rakyat masih gontai dan terlihat mengalami disorientasi.

Mestinya pemerintah serius mengarahkan PT Perumnas menjadi semacam National Urban Development Corporation (NUDC) yang tangguh. Namun, kondisinya sekarang sangat ironis, karena sudah lebih dari 12 tahun PT Perumnas tidak mendapatkan alokasi kebijakan yang bersumber dari APBN seperti dalam bentuk skema PSO (Public Service Obligation ) maupun dalam bentuk insentif atau stimulus lainnya.

Kalau sudah demikian ceritanya, lantas dengan skema dan instrumen apa pemerintah sekarang ini bisa mewujudkan rumah yang murah untuk rakyat kecil? Retorika rumah murah yang telah dilakukan oleh pemerintah bisa menjadi bumerang sosial.

Langkah pembangunan perumahan rakyat pada saat ini juga terkendala aspek otonomi daerah yang berbentuk perda. Hal ini terasa memberatkan rakyat dan pihak yang terkait pembangunan perumahan. Pemerintah daerah banyak yang belum sadar bahwa masalah perumahan rakyat merupakan unsur penting dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) agar peringkat bisa naik. Mestinya kompleksitas persoalan perumahan rakyat diatasi dengan memberikan peran yang lebih besar kepada PT Perumnas dengan membentuk postur manajemen baru yang lebih bersih dan kredibel. Hal tersebut juga untuk mengatasi masalah gentrifikasi kota dengan pendekatan yang terpadu antar eselon yang terkait dengan masalah infrastruktur serta pihak pemerintah daerah. Apalagi ada disparitas yang lebar dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah untuk kalangan atas dengan rakyat kecil.

Pada saat ini pembangunan kompleks perumahan mewah sangat pesat hingga melahirkan fenomena gentrifikasi. Pembangunan perumahan mewah itu memang searah dengan filosofi kota modern yang memadukan kebutuhan hidup warganya selama 24 jam. Implikasinya, terwujudlah pusat-pusat perbelanjaan modern yang terintegrasi dengan rumah mewah. Lalu terjadilah penumpukan orang kaya di pusat kota. Terjadilah fenomena gentrifikasi (gentrification), yakni fenomena ketika warga miskin atau mereka yang lemah “terlempar” ke luar kota tanpa ada kepastian untuk mendapatkan sarana perumahan yang layak.

Ada baiknya kita simak teori pakar perencanaan kota Neil Smith yang mengingatkan kita bahwa gentrifikasi bisa dianalogikan sebagai dua mata sisi pedang. Di satu sisi bersifat optimalisasi ruang kota. Tetapi, di sisi lain bisa memicu ketimpangan sosial yang bisa menjadi bom waktu. Oleh sebab itu, proses gentrifikasi harus segera ditangani dengan program pembangunan rumah rakyat yang benar-benar murah. Bukan sekadar retorika atau isapan jempol belaka.

Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung.

Kamis, 24 Februari 2011

Nilai-nilai Kepahlawanan Inggit Garnasih

Oleh : Harjoko Sangganagara *)

Sebuah pesan pendek datang sebagai undangan untuk menghadiri syukuran pembuatan film tentang kisah hidup Ibu Inggit Garnasih bertempat di Gedung Indonesia Menggugat. Ini adalah sebuah upaya untuk menggalang dukungan bagi istri pertama presiden pertama Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Ibu Inggit yang diusulkan masyarakat Jawa Barat menjadi pahlawan nasional. Sebelumnya sebuah seminar nasional menyimpulkan bahwa Ibu Inggit besar jasanya bagi Negara ini mengingat pengabdiannya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan merebut kemerdekaan sehingga layak dijadikan sebagai pahlawan nasional.

Jauh-jauh hari sebelumnya Ramadhan K.H. membuat sebuah autobiografi Ibu Inggit berjudul Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno, yang ditulis dalam bentuk roman. Poeradisastra dalam sekapur sirih roman tersebut menulis amat provokatif : “separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘Bank Jasa Nasional Indonesia’. Pernyataan Poeradisastra tersebut mungkin ada benarnya karena Ibu Inggit berperan mendampingi Bung Karno sejak masih berstatus mahasiswa di THS (sekarang menjadi ITB), hingga dipenjara di Sukamiskin dan Banceuy yang berlanjut ke pembuangan di Ende dan Bengkulu. Ketika saat Indonesia merdeka tiba dan Bung Karno menjadi presiden pertama, Ibu Inggit tidak lagi berada di samping orang yang dicintai dan dikaguminya. Perempuan perkasa itu memilih berpisah karena tidak bisa menerima kenyataan cintanya harus dibagi dengan Fatmawati, teman sekolah anak angkatnya.
Indonesia harus memberikan penghargaan yang sepantasnya. Sebuah gelar bernama pahlawan nasional bahkan belum mampu membayar dedikasi dan pengorganan yang diberikan Ibu Inggit bagi Bung Karno dan republik ini. Dedikasi dan pengorbanan Ibu Inggit merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang semakin terasa bermakna di tengah kekacauan nilai hidup berbangsa dewasa ini di tengah pusaran arus globalisasi.

Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia terutama meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti.
Untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).

Globalisasi menghasilkan paradox (Naisbitt), yaitu efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia.

Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Bangsa Indonesia harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Tokoh Ibu Inggit dengan nilai-nilai kepahlawanannya merupakan karakter yang kuat yang mampu memelihara dan berpegang pada nilai-nilai yang diyakininya benar sehingga pantas dijadikan rujukan nilai bagi bangsa Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan nasionalisme.

Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik. Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.

Ibu Inggit adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia membela Bung Karno yang dituduh menulis surat bernada minta ampun pada Jendral Verheyen dan mengatakan “itu mah pamali, itu mah mustahil”. Ia memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri. Ia memaafkan Bung Karno yang ketika masih sebagai mahasiswa disapanya dengan panggilan Kusno.

Rabu, 09 Februari 2011

Reflection

"Follow effective action with quiet reflection. From the quiet reflection will come even more effective action." - Peter Drucker

Senin, 07 Februari 2011

Kahira

padang gurun, sinar rembulan, lampu temaram
dan bayangan masa lalu
aku datang

garda keamanan menenteng senjata laras panjang berpeluru
di sudut-sudut kota bahkan dekat kamarku
yang menggigil hingga pagi tiba

"dengan ruh"
"dengan darah"
yel-yel hamas di masjid al azhar usai khutbah jumat
seperti menyadarkan eksistensiku
sang musafir
yang terlena suara omi khaltoum
di kedai kopi dekat kepala ahlul bait dikuburkan
dan ditangisi sepanjang abad

piramida penderitaan manusia
sphinx teronggok di giza
pharaoh tergeletak tak berdaya
buku-buku naguib
masjid bermenara yang menggapai langit bening
melemparku ke perang salib
dan jubah merah
salahudin al ayubi

senin, 25 januari 2010

Senin, 17 Januari 2011

Perlunya Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Jumlah kasus AIDS di Jabar termasuk terbanyak di Indonesia, mencapai 4.520 orang yang meliputi 2.682 pengidap AIDS dan 1.838 pengidap HIV positif. Pengidap HIV/AIDS di Kota Bandung terbanyak di Indonesia, yakni 1.763 orang, disusul kota Bekasi 589 kasus dan Kota Bogor 217 kasus. Sementara di kota-kota kecil kasus AIDS juga banyak ditemukan, di Kota Sukabumi 392 kasus, Subang 135 kasus dan Karawang 125 kasus. Selain tingginya kasus, indikator lain adalah banyaknya penduduk usia produktif yang mengidap HIV/AIDS, pengidap yang berumur 15-49 tahun mencapai 3.838 orang. Tidak seperti yang banyak diperkirakan, ternyata kasus ibu rumah tangga yang terinfeksi AIDS lebih tinggi ketimbang pekerja seks. Kasus ibu rumah tangga yang terinfeksi AIDS sebanyak 429 orang, jauh lebih besar dari penularan pada pekerja seks, yaitu 259 orang.
Masalah penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Barat tersebut mengingatkan akan arti penting Kongres IX HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali (ICAAP IX) yang bertema Empowering People, Strengthening Networks ( memberdayakan masyarakat dan memperkuat jaringan) beberapa waktu yang lalu. Kongres membahas empat agenda besar yaitu memahamai epidemi dan memperkuat upaya-upaya pencegahan; memperkuat kemitraan untuk penanganan, pengobatan dan dukungan; memahami dan membahas determinasi politik, ekonomi dan sosio-kultural; serta kepemimpinan dan perluasan respon.
Agenda pertama berfokus pada dinamika wabah AIDS di Asia Pasifik dan upaya pencegahan penularan HIV dengan perhatian khusus pada strategi pemberdayaan dan kemitraan. Strategi yang dijalankan antara lain adalah perubahan perilaku yang mencakup komunikasi melalui media, sirkumsisi (khitan), perilaku seks yang aman, penggunaan alat kontrasepsi, pendidikan life-skill, pemberdayaan dan pendidikan komunitas. Tidak lupa dibahas pula mengenai hambatan-hambatan terhadap perubahan sikap. Sedangkan yang yang berkaitan dengan komunikasi dan pesan, dibahas bagaimana komunikasi interpersonal yang efektif dan innovative serta Informasi Edukasi dan Komunikasi (IEK).
Agenda kedua berkaitan dengan peningkatan kualitas penanganan, perhatian dan dukungan melalui perluasan riset klinis, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, perbaikan system kesehatan, identifikasi yang tepat dan peningkatan kualitas pengobatan. Penemuan terbaru di bidang bio-molekuler dan klinis mendapat perhatian khusus dalam pembahasan. Beberapa isu yang dibahas adalah mengenai isu ethico-legal, akses terhadap pengobatan yang terjangkau , penanganan oleh tenaga bidan dan banyak lagi.
Agenda ketiga berfokus pada konteks HIV/AIDS dengan masalah sosio-kultural, politik dan ekonomi. Pembahasan berkaitan dengan manifestasi wabah pada seting khusus, dampak serta bagaimana determinasi struktural mempengaruhi respon terhadap HIV/AIDS. Isu-isu yang dibahas mulai dari globalisasi, liberalisasi pasar, migrasi, perubahan iklim, meningkatnya harga BBM hingga masalah kekurangan pangan yang dialami kelompok miskin serta keragaman ethnik yang kesemuanya mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi HIV, morbiditas dan mortalitas termasuk juga mempengaruhi strategi pencegahan,penanganan dan perhatian. Beberapa hal yang mengemuka adalah berkenaan dengan kelas sosial, konflik dan kekerasan, budaya, bencana, etnisitas, agama dan keyakinan, gender, sistem politik, kemiskinan, struktur kekuasaan, pengaruh dan respon struktur lembaga-lembaga pemerintahan.
Agenda keempat mencoba mengangkat contoh-contoh (best practices) kebijakan dan program pada tingkat lokal, nasional, bilateral dan multilateral yang menunjukkan komitmen para pemimpin politik, serta mitranya pada private sector dan komunitas. Fokusnya adalah pada kebijakan dan program yang membawa peningkatan pada kualitas pelayanan penanganan dan perawatan terhadap seluruh komunitas dengan menghilangkan hambatan geografis dan budaya. Setiap investasi pada infrastruktur, mekanisme, dukungan legislatif dan langkah-langkah yang mendobrak isolasi menjadi pembahasan yang penting. Meskipun agenda ditujukan pada contoh-contoh kebijakan dan program lokal dan nasional, namun kolaborasi trans-nasional juga menjadi pembahasan.Diskusi membahas kepemimpinan bagi program HIVdan AIDS seperti pentingnya jejaring antar aktor yang berbeda, hubungan dan harmonisasi antara agen donor internasional dengan organisasi nasional dan mekanisme untuk memperkuat kapasitas organisasi lokal baik pemerintah maupun ornop.
Nampaknya belum banyak perkembangan yang berarti dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Meskipun demikian upaya pemerintah provinsi untuk menanggulangi HIV/AIDS bukannya tidak ada. Sektor kesehatan yang mendapat dana 4,5 % dari APBD yang mencapai Rp. 8,6 triliun dan hampir setengahnya diperuntukkan untuk penanggulangan HIV/AIDS. Global Fund juga memberikan bantuan sebesar Rp 17 miliar hingga Juli 2011 yang akan dibagikan ke Kota Bandung, Kota Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang. Namun upaya tersebut kurang bermakna jika tidak diertai dengan melakukan empowering people, strengthening networks ( memberdayakan masyarakat dan memperkuat jaringan).

Artikel untuk Tribun Jabar