Jumat, 27 Juni 2008

Selamatkan harta karun Jawa Barat yang tak ternilai harganya


Meneguhkan Ekowisata Jabar Selatan

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *]

Perkembangan industri pariwisata dunia menunjukkan pilar barunya yang bernama ekowisata. Potensi wisatawan asing untuk mengunjungi obyek ekowisata selalu meningkat. Seperti dilansir oleh The Internatioanl Ecotourism Society yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah wisatawan dunia sekitar lima persen setiap tahunnya. Dari jumlah itu sektor ekowisata mengalami pertumbuhan hingga 30 persen. Fakta diatas mestinya memotifasi segenap komponen di Jawa Barat untuk meneguhkan potensi ekowisatanya. Utamanya potensi yang membentang di wilayah Jawa Barat bagian selatan. Peneguhan itu tidak cukup dengan euforia saja tetapi mesti berupa langkah strategis yang didasari oleh faktor terjadinya perubahan consumers behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan asing. Karena mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand. Saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih komplek. Meskipun tetap santai tetapi selera dan tuntutan mereka lebih menantang. Perubahan pola wisata ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata maupun promosi baik dari sisi pemerintah maupun swasta. Pemerintahan perlu melakukan perubahan skala prioritas kebijakan sehingga peran sebagai fasilitator dapat dioptimalkan. Disisi lain ada menu kegiatan yang harus disiapkan dan dilaksanakan oleh pihak swasta yang lebih mempunyai sense of business karena memang sifat kegiatannya berorientasi bisnis.

Provinsi Jawa Barat bagian selatan memiliki potensi ekowisata yang luar biasa. Sayangnya potensi itu terus terdegradasi. Kurangnya niat dan langkah strategis dalam mengembangkan ekowisata. Penting untuk kita renungkan bahwa secara filosofis potensi ekowisata adalah “lukisan” Tuhan yang eksistensinya mesti kita jaga sekuat tenaga. Namun, fakta menunjukkan bahwa lukisan itu mudah rusak dan musnah oleh tangan manusia dan kegiatan berdalih pembangunan. Hati kita seperti teriris sembilu ketika obyek ekowisata yang sekaligus cagar alam dan cagar budaya hutan Sancang di Garut Selatan sekarang ini dalam kondisi rusak parah. Dahulu, ribuan Banteng Sancang terlihat begitu riang dan bebas berkeliaran di hutan itu. Sekarang satwa itu benar-benar musnah. Ekosistem hutan yang dahulu begitu perawan kini menjadi gersang meradang. Hutan Sancang sebenarnya sarat dengan nilai spiritual dan daya magis. Apalagi tempat itu dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat ngahiyang (lenyapnya) Prabu Siliwangi. Namun, sekarang ini menjadi kawasan kritis yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan bencana ekologis. Betapa pongahnya kita semua sehingga Jawa Barat kehilangan begitu saja “harta karun” yang luar biasa nilainya. Sementara, bangsa lain sekarang ini begitu getolnya menciptakan hutan buatan lengkap dengan aneka satwa di dalamnya dengan tujuan untuk mengeruk devisa dari kantong wisatawan. Seperti halnya langkah Singapura yang telah merancang ekowisata buatan untuk paket wisata Safari Night yang beroperasi pada malam hari. Dalam paket itu para wisatawan dibawa masuk hutan belantara di waktu malam sehingga bisa menyaksikan tajamnya kilau mata Harimau dan hiruk pikuk satwa lainnya di kegelapan malam. Setiap harinya ribuan wisatawan dari mancanegara rela antri untuk menjelajah dan menikmati atraksi satwa. Bahkan, bisa juga melakukan perjalanan di antara kerimbunan pohon bakau dan berbaur dengan kelelawar di sepanjang Leopard Trail.

Untuk meneguhkan obyek ekowisata Jabar selatan sehingga bisa menarik wisatawan sebanyak-banyaknya diperlukan sinkronisasi langkah pemerintah pusat dan daerah. Pembagian upaya promosi dapat ditempuh langkah-langkah dimana untuk pemerintah pusat melakukan country-image promotion, daerah melakukan destination promotion sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah itu. Sedangkan pihak swasta melakukan product promotion masing-masing. Dibutuhkan langkah yang profesional dari pemerintah daerah bersama praktisi pariwisata di Jawa Barat untuk melakukan Ecotourism Awareness Campaign ke seluruh dunia yang dilandasi prinsip-prinsip dasar ekowisata. Prinsip dasar itu sesuai dengan klausul The Ecotourism Society, yang menekankan ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi yang disertai peningkatan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE). Konservasi biodiversitas merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam sekarang dan dimasa mendatang. Pendekatan lainnya adalah Ekowisata harus dapat menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; melindungi keanekaragaman hayati; serta menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Harus diakui secara jujur bahwa banyak pemerintah daerah yang masih kesulitan dalam menerapkan kaedah-kaedah Ekowisata secara baik. Juga masih gagap alias belum mampu menggunakan perangkat canggih untuk memacu daya saing ekowisatanya. Mestinya seluruh obyek ekowisata di Jawa Barat data-datanya sudah dibuat secara detail. Kemudian dengan metode ilmiah dibuat peringkat beserta variabel daya saingnya menurut standar internasional. Sudah saatnya semua DTE di Jawa Barat diintegrasikan menggunakan perangkat canggih seperti Sistem Informasi Geografis untuk pariwisata berbasis internet yang mampu menampilkan dan menganalisa atribut dan spasial obyek ekowisata beserta tingkat daya saingnya. Sehingga berbagai informasi yang berkaitan dengan ekowisata dapat dengan cepat dipresentasikan dan diakses dari negara manapun.

Beberapa obyek ekowisata di Jabar Selatan belum tertangani potensinya. Padahal memiliki variabel daya saing yang sangat unik dan perpaduan alam ( gunung, hutan dan lautan ) yang amat menakjubkan. Ekowisata kelautan di sepanjang pantai selatan selama ini belum terkelola dengan baik. Betapa minimnya promosi untuk mendongkrak potensi di kawasan pesisir Cimanuk hingga pesisir Cipatujah di Tasikmalaya Selatan. Minimnya promosi juga terjadi untuk ekowisata Ranca Upas dan kawasan perkebunan teh warisan kolonial Belanda yang sangat eksotik. Tak jemu-jemunya dari ketinggian itu mata telanjang bisa melihat horizon garis pantai Samudera Hindia dengan deburan ombaknya. Kontur alam pantai selatan Jawa Barat yang berbukit-bukit dan secara ekstrem menurun tajam ke bibir pantai merupakan lanskap alam yang sangat indah bak nirwana. Sudah waktunya obyek ekowisata di sepanjang pantai selatan mulai dari daerah Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, sampai Ciamis dikelola secara sungguh-sungguh. Agar jutaan pasang mata wisatawan bisa menikmati panorama nirwana dan merasakan kedahsyatan tantangannya dan keunikan budaya dan ekosistemnya. Mestinya warga Jawa Barat sekarang ini merasa malu jika menengok sejarah, dimana kolonialisme Belanda saja dahulu dengan jeli mampu melihat potensi kawasan selatan Jawa Barat. Salah satu tonggak infrastruktur yang merupakan bukti kehebatan kolonial Belanda itu adalah dermaga di Cilaut Eureun. Pada saat itu Belanda sudah memproyeksikan potensi perikanan, pertanian, ekowisata dan budaya di wilayah Garut Selatan. Sayangnya, justru pada jaman reformasi sekarang ini potensi pantai Bungbulang, Sayang Heulang, dan Pantai Cilaut Eureun masih beku dan terabaikan. Provinsi Jawa Barat sudah waktunya membangun infrastruktur di sekitar Teluk Cilaut Eureun yang memiliki lebar sekitar 600 meter. Sehingga bisa dibuat dermaga dengan kapasitas sekurang-kurangnya 150.000 DWT. Dengan terbangunnya infrastruktur itu maka kapal-kapal pesiar mewah yang lalu-lalang di Samudera Hindia menuju Pulau Christmas ( Australia ) bisa berlabuh di Pelabuhan Cilaut Eureun untuk menurunkan para wisatawan kelas atas dunia. (*)

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel telah dimuat di harian KOMPAS, 10 Juli 2008


Setiap bangun pagi kita harus berpacu dengan gazela dan mencari rezeki bersanding dengan singa, itulah GLOBALISASI !!!


Nasehat ”Leprechauns” Untuk Jawa Barat

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA *]

Kita semua dibuat penasaran bercampur sedih ketika CIEL ( Center for Innovation, Enterpreneurship & Leadership ) melansir hasil kajiannya tentang ”negeri” Jawa Barat yang kondisi daya saingnya berada di nomor sepatu. Beberapa waktu yang lalu CIEL yang merupakan bagian dari Sekolah Bisnis Manajemen ITB menyatakan bahwa daya saing ”negeri” Jawa Barat (jika provinsi ini diasumsikan sebagai negara tersendiri) peringkatnya berada di urutan ke-85 dari 118 negara yang diukur. Padahal negeri Indonesia yang dirasa tingkat korupsinya masih tinggi, daya saingnya berdasarkan kajian WEF masih berada di urutan ke-50 dari 125 negara. Urutan ke-85, merupakan potret kurang kompetitifnya ”negeri” Jawa Barat dalam mengarungi era globalisasi. Beberapa pihak sempat meragukan atau menyanggah kajian CIEL diatas sebab lingkupnya hanya sebatas aspek industri kreatif. Namun, trend global menunjukkan bahwa industri kreatif merupakan kunci persaingan masa depan dan sangat berpengaruh terhadap aspek lainnya.

Hikmah yang mesti dipetik dari hasil kajian CIEL adalah pentingnya mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan ”negeri” Jawa Barat agar sepadan dengan semangat jaman. Biasanya para pakar suka menganalogikan strategi pembangunan yang progresif dan transformatif dengan istilah Leapfrogging atau lompatan katak. Menurut Murphy (2001) istilah Leapfrogging pada mulanya digunakan untuk menunjukkan betapa cepatnya dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang dalam mengejar kemajuan teknologi dan industri. Disaat dunia diguncang oleh harga minyak yang sangat tinggi sekarang ini, mestinya negara berkembang melakukan lompatan katak di bidang teknologi energi. Hal itu sebagai sebuah strategi negara berkembang untuk menguasai, menggunakan, dan mengembangkan teknologi hemat energi dan ramah lingkungan tanpa harus melalui tahapan-tahapan rumit yang pernah dilewati oleh negara maju. Pada era rezim orde baru lompatan katak sering digembar-gemborkan sebagai strategi transformasi teknologi dan industri. Namun, seiring dengan waktu, strategi lompatan katak dari para teknolog orde baru ternyata gagal. Bahkan, pada saat ini beberapa industri yang dahulu dipakai sebagai wahana transformasi justru melompat ke belakang agar bisa bertahan hidup. Contohnya, PT Dirgantara Indonesia yang terpaksa mengais kembali produk-produk lawas ( tahun 80-an ) agar cashflow-nya bisa bertahan.

Dalam konteks lompatan diatas ada baiknya ”negeri” Jawa Barat menyimak nasehat Leprechauns si pelompat yang luar biasa. Seperti halnya Sangkuriang sang tokoh sakti dalam legenda di tatar Sunda, Leprechauns telah menjadi legenda bangsa Irlandia yang sekaligus merupakan ikon kemajuan dan kemakmuran bagi negeri itu. Irlandia merupakan negara yang berhasil melakukan lompatan besar hingga sampai kepada taraf kemakmuran dan kemajuan hanya dalam waktu yang singkat ( kurang dari satu generasi ). Negeri yang bangga mendapat julukan sang Leprechauns itu berhasil menjadi bangsa terkaya di Uni Eropa setelah Luxemburg. Kini memiliki pendapatan nasional per kapita yang lebih tinggi dari Jerman, Perancis, dan Inggris. Padahal, sebelumnya negara itu selama empat abad dalam kondisi terpuruk dan penyandang masalah sosial yang pelik seperti penghasil imigran gelap, sering perang saudara, dan kantong kemiskinan dimana-mana. Bagaimana sang Leprechauns dapat bangkit dari keterpurukan lalu melompat menjadi negara kaya di benua Eropa kurang dari satu generasi merupakan sebuah cerita sekaligus nasehat yang amat menakjubkan. Nasehat sang Leprechaus sangat sederhana; buatlah pendidikan menengah dan tinggi gratis; buat pajak korporasi yang rendah, sederhana, dan transparan; aktif mencari relasi perusahaan global dalam bentuk outsourcing; semua pihak diwajibkan berbicara bahasa Inggris; menciptakan kebijakan fiskal yang tertib; dan menciptakan konsensus antara serikat buruh dan manajemen. Sehingga serikat buruh tidak melakukan gerakan yang kontraproduktif. Nasehat yang tidak kalah pentingya adalah selalu ada peluang emas dari globalisasi.

Titik balik atau momentum lompatan sang Leprechauns dimulai pada pertengahan 1960-an dengan program pemerintah yang merombak secara mendasar sistem pendidikan dengan menggratiskan biaya pendidikan sekolah menengah, kejuruan dan perguruan tinggi. Bahkan sejak 1996 memberikan uang saku dan bebas biaya kuliah kepada seluruh mahasiswa yang diperlukan untuk proses outsourcing dari perusahaan multinasional yang akan mendirikan pabrik di negaranya. Kemudian juga melakukan audit teknologi untuk mengetahui kapasitas nasional lalu mendirikan semacam Balai Latihan Kerja dalam bidang khusus sebagai penunjang teknologi produk yang dibutuhkan oleh perusahaan multinasional. Irlandia memiliki kebijakan industri dan sistem pajak yang sangat pro-bisnis. Pembangunan ekonomi benar-benar dipisahkan dan dilidungi dari intrik-intrik politik. Irlandia juga memiliki sistem transportasi dan logistik yang sangat baik, sehingga mudah bagi perusahaan apapun mendistribusikan produknya dipasar. Hasil lompatan sang Leprechauns sangat fenomenal. Sekarang, 9 dari 10 perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki pabrik disana. Begitu juga 16 dari 20 industri peralatan medis serta 7 dari 10 perusahaan pembuat piranti lunak kelas dunia. Selama tiga tahun terkahir ini, Irlandia mendapat investasi Amerika lebih banyak dari Cina.

Pada prinsipnya ”negeri” Jawa Barat bisa menjalankan nasehat-nasehat Leprechauns diatas. Apalagi Jawa Barat memiliki perguruan tinggi, berbagai diklat dan lembaga Iptek yang cukup banyak sehingga bisa menopang proses investasi. Selain itu pembangunan infrastruktur di Jawa Barat hendaknya tidak mengabaikan aspek sosioteknologi bagi masyarakat. Serta harus dibarengi dengan proses transformasi dan audit teknologi ( Auditek ) secara baik. Proyek-proyek infrastruktur dalam skala besar seperti bendungan Jatigede, bandara internasional Kertajati dan proyek infrastruktur lainnya hendaknya menekankan aspek transformasi dan auditek yang bisa meningkatkan kualitas teknologi dan memperluas lapangan kerja. Prosedur auditek bagi produk teknologi asing yang masuk ke Jawa barat harus dilaksanakan secara konsisten untuk menjamin keandalan dan nilai ekonomisnya dibelakang hari. Hal itu juga dapat menumbuhkan industri lokal serta melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak negatif penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan sosial. Selain itu dengan auditek bisa mengoptimalkan SDM teknologi yang pada gilirannya akan memperluas spektrum lapangan kerja. Prosedur auditek hendaknya bukan hanya yang bersifat technoware dari aspek teknologi perangkat keras dan lunaknya, tetapi sekaligus juga harus mencakup aspek infoware, orgaware, dan humanware. Pembangunan infrastruktur di ”negeri” Jawa Barat sebaiknya berbasis sosioteknologi yang merupakan relasi daripada keilmuan sosial (social sciences) dengan teknologi (engineering). Sehingga aspek teknologinya memperhatikan berbagai perspektif.
Pemerintah daerah bersama-sama dengan lembaga Iptek, perguruan tinggi dan BUMN/BUMD yang ada di Jawa Barat hendaknya lebih intens melakukan kegiatan auditek sembari meningkatkan kapasitas inovasi daerah. Auditek bukan dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi suatu proses umpan balik dalam siklus pemanfaatan teknologi global yang berpotensi memberikan nilai tambah berarti. Begitu pentingnya peran auditek dalam meningkatkan daya saing industri lokal. Karena fungsinya dapat mengidentifikasi posisi teknologi suatu industri (technology positioning). Pada prinsipnya tahapan Pelaksanaan Auditek ( audit teknologi ) dibagi dalam tiga tahapan, yaitu : tahapan Pre-Audit, On-site Audit dan Post-Audit. Dalam Tahapan Pre-Audit penentuan tujuan dan lingkup audit harus dirumuskan secara spesifik apakah tujuan Auditek ini untuk memotret performance, current positioning, compliance, prevention atau planning. (*)

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di harian KOMPAS lembar Jawa Barat

...biarpun diatas kuburan, tak ada maut bagi cinta, tak akan layu bunga-bunga kehidupan...



Usaha Florikultura Menggapai Aalsmeer

Oleh : HARJOKO SANGGANAGARA *)

Dalam situasi dunia yang semakin sengit, komoditas florikultura tetap mekar, semerbak dan mewangi. Tidak ada istilah resesi bagi usaha florikultura. Karena warna-warni bunga bisa menyihir, mencerahkan suasa hati dan melahirkan segudang inspirasi bagi warga dunia. Potensi usaha florikultura kususnya bunga potong (cut flower) di Jawa Barat sebenarnya sangat besar. Untuk itulah pentingnya upaya keras yang cerdas sesuai dengan proses bisnis modern untuk mendongkrak usaha tersebut. Bantuan permodalan usaha yang selama ini sering diributkan memang perlu, tetapi ada faktor yang lebih utama yakni pentingnya menciptakan leverage atau daya ungkit usaha.
Bisnis florikultura di tanah air hingga saat ini masih tergantung kepada hari baik. Pada saat hari baik seperti hari besar keagamaan, musim pesta pernikahan atau hari besar nasional, pasar sangat bergairah. Namun, selain hari itu pasar domestik sangat lesu. Meskipun permintaan bunga potong untuk konsumsi di dalam negeri terus meningkat hingga 15 % per tahun, namun jumlah tersebut masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan potensi pasar dunia. Sebagai gambaran potensi ekspor dunia untuk florikultura pada 2007 mencapai 120 miliar US dollar. Sedangkan permintaan dalam negeri pada 2007 mencapai Rp 600 miliar. Ironisnya, negara-negara yang menikmati rezeki ekspor florikultura justru mereka yang wilayahnya tidak terlalu luas dengan kondisi alam yang kurang bersahabat. Produsen florikultura yang terbesar di dunia adalah negeri Belanda. Sejak 1995, negeri kincir angin itu telah menguasai sekitar 59 % dari pangsa pasar dunia. Negara lain yang berhasil dalam ekspor florikultura antara lain Kolumbia (10 %), Italia (6 %), Israel (4 %), Spanyol (2 %), dan Kenya (1 %) Di kawasan Asia Tenggara, negara yang berhasil menjadi produsen florikultura adalah Thailand dan Malaysia.
Keberhasilan negeri Belanda menjadi eksportir florikultura terbesar di dunia mestinya menjadi inspirasi bagi negeri kita untuk mendongkrak usaha florikultura. Apalagi usaha tersebut merupakan sektor padat karya yang mengedepankan imajinasi dan inovasi. Program untuk mengembangkan sektor usaha florikultura khususnya bunga potong tidak cukup hanya dengan bantuan permodalan. Dibutuhkan juga pengetahuan praktis seperti proses kreatif, manajemen mutu, pencitraan produk, jaringan pemasaran dan teknik pengemasan. Selain itu pentingnya pola kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara para petani dan pengusaha, karena pada umumnya pengusaha besar bunga potong selain menguasai pasar juga menguasai teknik budidaya. Pola kemitraan mengarah kepada simbiosis mutualisme dimana pengusaha besar akan mendapatkan pasokan bunga yang bermutu dengan volume yang cukup, sehingga pengusaha tidak perlu harus mengeluarkan dana untuk membuka kebun sendiri. Sementara bagi para petani, pemasaran hasil produksinya akan lebih terjamin dan juga adanya pembinaan untuk alih teknologi budidaya yang lebih maju. Selain itu pengusaha besar tersebut juga dapat bertindak sebagai avalis kredit bagi para petani sebagai mitra usahanya.
Menciptakan daya ungkit bisnis adalah salah satu tantangan bagi seorang entrepreneur dalam menjaga stamina bisnisnya. Menurut pakar entrepreneur Robert Kiyosaki dan pengusaha kelas dunia Donald Trump untuk bisa survive dan berkembang, seorang pengusaha harus kreatif menciptakan daya ungkit dan menjaga reputasi perusahaannya. Lebih lanjut menciptakan daya ungkit inovasi dengan trik-trik bisnis yang kreatif merupakan kiat yang lebih efektif ketimbang dua faktor lainnya yakni finansial dan fasilitas fisik. Untuk mewujudkan daya ungkit inovasi harus memaksimalkan lahirnya ide-ide kegiatan. Diperlukan perhatian khusus yang didasarkan atas ketrampilan seni, penguasaan teknologi budidaya dan kemampuan dalam memperdagangkan hasil produksi. Pengusaha bunga potong juga dituntut untuk dapat memperdagangkan produksinya dalam keadaan segar. Konsumsi bunga potong lokal, nasional dan global semakin meningkat. Namun tantangannya juga semakin kompleks, untuk itu diperlukan teknologi yang bisa menghasilkan bunga potong berwarna-warni, bentuk yang menarik, tahan lama dan harganya kompetitif. Juga adanya segmen pasar untuk masyarakat golongan tertentu yang mempunyai selera eksklusif dan fanatik terhadap jenis bunga tertentu yang belum dapat dihasilkan di dalam negeri, hal itu menyebabkan semakin meningkatnya impor bunga potong. Di lain pihak, lembaga-lembaga penelitian dan para nursery di dalam negeri telah mengembangkan varietas-varietas baru yang mempunyai daya saing yang kuat dengan produk impor, juga dengan adanya teknologi budidaya yang semakin dikuasai dan efisien menyebabkan harga jual bunga potong mampu bersaing dengan produk impor.
Peran pemerintah daerah sangat berarti dalam menciptakan leverage usaha bunga potong. Peran tersebut bisa melalui berbagai event seperti pawai atau festival bunga. Juga pentingnya peningkatan fungsi pasar bunga potong, seperti pasar Wastukencana di kota Bandung sehingga menjadi sentra perdagangan modern. Eksistensi pasar Wastukencana di kota Bandung mestinya segera direvitalisasi. Sehingga pasar ini tidak lagi termenung lesu menunggu datangnya bulan raya agung atau Dzulhijah. Sebagai salah satu leverage usaha bunga potong yang efektif dan modern adalah penerapan perdagangan dan bursa lewat internet. Sebagai contoh di benua Eropa perdagangan bunga begitu bergairah dan kemakmuran petani bunga terus terjaga sepanjang jaman. Tengok saja kota Amsterdam negeri Belanda. Negeri itu memiliki pasar bunga terbesar di Eropa sekaligus pintu gerbang ekspor-impor komoditas bunga potong, yaitu Pelelangan Bunga Aalsmeer (Aalsmeer Flower Auction). Untuk memperluas pengaruhnya di luar pasar regional, bursa bunga tersebut telah menggabungkan e-Commerce (perdagangan elektronik) ke dalam sistem lelangnya. Sekarang, para pembeli dari Jerman, Prancis, dan negara-negara Uni Eropa lainnya dapat memantau lelang Tulip, Mawar, Krisan dengan menggunakan layar komputernya tanpa perlu bepergian ke Amsterdam. Situs lelang elektronik atau e-Procurement yang disediakan oleh pemerintah kota Amsterdam juga dapat dipakai untuk melakukan pemesanan. Dengan memadukan teknologi informasi terkini ke dalam lelang tradisionalnya. Pelelangan Bunga Aalsmeer memproyeksikan dirinya menjadi pasar bunga paling penting di dunia dimasa mendatang. Begitu luar biasanya eksistensi Aalsmeer sampai-sampai Menteri Pertanian RI Anton Apriyantono berupaya mengetuk hati sejawatnya Mentan Belanda Gerda Verburg agar produk florikultura dari Indonesia bisa ikutan menangguk devisa melalui Aalsmeer. Namun, ada ketentuan teknis untuk menerobos pasar Aalsmeer yakni persyaratan Mutual Recognition Agreement (MRA) antar kedua bangsa.
Melalui situs lelang elektronik terbuka kemungkinan transaksi langsung dan transfer pengetahuan budidaya bunga potong antara petani dan pengusaha florikultura yang ada di Jawa Barat dengan petani bunga dan pembeli yang memakai jasa pelelangan bunga Aalsmeer. Pada hari-hari biasa pelelangan yang terletak di dekat Bandara Schiphol itu mampu menjual puluhan juta bunga dan tanaman, sehingga terus meningkatkan volume transaksi dan likuiditas pasarnya. Sudah saatnya Dinas Indag Agro Jawa Barat dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) mencari terobosan dan menciptakan leverage usaha bunga potong. Yang pada gilirannya nanti penciptaan leverage itu bisa mentransformasikan orientasi pasar lokal menuju pasar ekspor dengan volume yang optimal. Selain itu dengan adanya komoditas bunga potong Jawa Barat yang beragam, diantaranya kelompok Anggrek (Dendrobium, Catleya, Vanda Dauglas, James storie dll), kelompok Bunga Gunung (Gladiol, Krisant, Mawar, Sedap Malam, dll), kelompok Tanaman Hias (Palem, Cemara, Soka, Sikas dll), kelompok Bunga Rampai (Kenanga, Melati, Cempaka, Tihong, Daun Pandan dll), dan perlengkapan rangkaian bunga (Mosh, Pakis, Mayang, Pinang, Asparagus dll) dibutuhkan kios-kios pasar bunga yang lebih representatif. Ada baiknya petani dan pedagang bunga diberi dispensasi khusus untuk dapat menggunakan koridor-koridor pedestrian di beberapa ruas jalan sebagai lokasi pamer. Penggunaan koridor pedestrian tersebut tentu saja memperhaatikan aspek keindahan dan kebersihan kota, serta dikoordiansikan dengan Dinas Pertamanan dan pihak ketertiban kota. Agar dibelakang hari penggunaannya tidak menimbulkan masalah. (***)

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat