Rabu, 18 Desember 2013

Polemik Subsidi Perikanan dan Nasib Nelayan Kecil


Koran Jakarta ,  15 Desember 2013



Masalah subsidi perikanan telah menjadi polemik hebat di tingkat global. Negara-negara maju tak henti-hentinya menuntut dihapuskannya subsidi perikanan dalam berbagai forum. Ada baiknya menepis tuntutan diatas, termasuk dalam forum KTM WTO di Bali. Indonesia jangan sampai terjerumus dalam polemik subsidi perikanan sehingga usaha untu memperbaiki nasib nelayan kecil terganggu. Selama ini definisi tentang nelayan kecil di forum internasional masih bias. Begitupun di dalam negeri juga masih terjadi perbedaan pendapat terkait definisi nelayan kecil. Padahal definisi baku tersebut perlu segera ditentukan karena terkait dengan esensi Peraturan Pemerintah tentang Pembudidaya Kecil dan Nelayan Kecil. Selama ini jumlah subsidi yang diberikan pemerintah untuk usaha perikanan tidak kecil dan pada saat ini negara-negara maju cenderung beranggapan bahwa subsidi perikanan mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan dampak serius terhadap cadangan ikan. Saat Deklarasi Paracas di Peru yang merupakan forum menteri kelautan dan perikanan kawasan Asia Pasifik yang tergabung dalam forum Asia Pacific Economie Co-operation (APEC), pemerintah Indonesia memutuskan untuk tetap memberikan subsidi perikanan bagi nelayan berskala kecil meskipun hal tersebut mendapat pertentangan dari negara-negara maju. Akar persoalan subsidi perikanan tidak sama bagi negara maju dengan negara berkembang. Sehingga sulit dicari titik temu. Namun demikian Indonesia juga harus memperhatikan kaidah di dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) yang terdapat dalam dokumen WTO yang terbit 1999. 

Ada masalah yang terkait dengan pemberian subsidi perikanan yang tidak tepat sasaran. Yang menerima justru bukan nelayan kecil yang sebenarnya, tetapi jatuh kepada cukong besar. Seperti kasus subsidi BBM kepada nelayan yang justru dimangsa oleh pengusaha besar atau para penyelundup. Juga subsidi pengadaan kapal nelayan yang tidak cocok spesifikasinya sehingga kapal tersebut tidak terpakai dan sia-sia padahal sudah menghabiskan anggaran yang sangat besar. Dalam ketentuan ASCM, definisi subsidi perikanan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu pertama, subsidi yang dilarang karena dapat meningkatkan kapasitas tangkap dan mendistorsi perekonomian negara lain (prohibited subsidies). Kedua, subsidi yang diperbolehkan selama tidak ada negara lain yang dirugikan karena kebijakan itu (actionable subsidies). Dan ketiga subsidi yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut (nonactionable subsidies). Di Indonesia pemerintah menyatakan subsidi kepada pelaku pada sektor ini tidak ada hubungannya dengan kelebihan kapasitas tangkap. Namun demikian, pencurian ikan oleh pihak luar dalam skala besar dan jika dibiarkan begitu saja oleh otoritas keamanan laut Indonesia, maka hal itu bisa dianggap sebagai prohibited subsidies khususnya meningkatkan kapasitas tangkap. Apalagi kapal-kapal pencuri ikan tersebut memakai BBM bersubsidi secara ilegal lalu membanjiri pasar domestik dengan ikan hasil tangkapannya. 

Selama ini dinas Kelautan dan Perikanan di daerah belum inovatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa besarnya itu belum terkekola dengan baik akibat rintangan teknologi dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebaiknya mencakup program relokasi bagi nelayan. Kehidupan nelayan di negeri ini didera sederet persoalan krusial. Berupa serbuan ikan impor dari negara lain yang membanjiri pasar domestik. Juga masalah persediaan BBM untuk melaut. Profesi nelayan kini masih terpuruk karena insentif dan program pemberdayaan nelayan kurang menjangkau secara luas. Para nelayan sering tidak bisa memenuhi biaya operasional. Akibatnya, waktu menganggur nelayan semakin panjang. Program alih profesi bagi nelayan tangkap ke arah budidaya ternyata juga kurang efektif dan justru menyebabkan stagnasi produksi dan semakin tingginya intensitas pencurian ikan oleh pihak asing. Semua itu sebenarnya takkan bertambah parah jika para nelayan tangkap jauh-jauh hari sudah diberdayakan dengan menekankan aspek inovasi teknologi dan insentif BBM untuk melaut. Jika program pemberdayaan nelayan bisa dilakukan secara efektif, target Indonesia menjadi eksportir perikanan terbesar di dunia dengan produksi mencapai 65 juta ton per tahun akan bisa cepat terwujud. Apalagi hal tersebut sangat didukung oleh luas perairan laut yang mencapai 580 juta hektare. 

Sayangnya, fakta berbicara lain. Ada paradoks yang menyesakkan dada. Sebagai negeri maritim, Indonesia harus impor ikan dalam jumlah besar untuk kelangsungan hidup industri perikanan. Impor ikan setiap tahunnya meningkat 35 persen. Tahun 2012, impor ikan sekitar 650.000 ton atau naik dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 450.000 ton. Membanjirnya ikan impor baik yang legal maupun ilegal akibat industri pemindangan dan pengalengan dalam negeri kekurangan bahan baku. Betapa ironisnya ketika kita dihadapkan data dimana dengan luas lautan Indonesia yang sekitar 5,8 juta kilometer persegi, produksi perikanan tangkap baru sekitar 5 juta ton per tahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dari negara Tiongkok yang menghasilkan ikan 16 juta ton per tahun meskipun perairannya lebih sempit. Kondisi di atas sulit berubah karena SDM kelautan negeri ini masih terbelit masalah keterbatasan alat tangkap dan kompetensi teknologi tentang kelautan dan perikanan. Langkah Kementerian Perikanan dan Kelautan tentang pengadaan kapal tangkap untuk nelayan banyak yang salah sasaran. Begitu juga pengadaan itu belum ditunjang dengan pembangunan gudang ikan yang memadai. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet saja memerlukan listrik 40 ribu watt. Sementara pasokan listrik sebesar itu masih sulit tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Idealnya, gudang penyimpanan ikan dilengkapi freezer selain cold storage. Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat untuk mempertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembang-biaknya bakteri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu untuk dikapalkan lebih lanjut.

 Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi sebaiknya dipahami dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip mengefektifkan biaya operasi. Pentingnya kebijakan transformasi nelayan yang bertujuan untuk merubah mata pencaharian nelayan baik secara vertikal, misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan. Atau bisa juga dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization. Yang pada prinsipnya kebijakan tersebut menitikberatkan pada kerjasama regional atau level negara dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas.

Tidak ada komentar: