Rabu, 18 Desember 2013

"Hari Pangan Sedunia dan Masalah Benih"


Koran Jakarta 17 Oktober 2013

Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebaiknya dijadikan momentum untuk menata produksi pangan nasional dengan berbagai terobosan. Peringatan itu dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No. 1/1979 di Roma Italia. Sejak 1981 disepakati oleh seluruh negara anggota FAO untuk memperingati HPS dengan berbagai aksi nyata terkait dengan masalah pangan. Peringatan HPS di Indonesia tahun ini menekankan pentingnya kepedulian masyarakat terhadap pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Disamping itu juga perlunya membentuk ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal.

Keanekaragaman pangan bisa menjadi katup pengaman terjadinya krisis pangan dunia. Pentingnya produk substitusi pengganti gandum. Produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor. Pada saat ini pangan tradisional menemukan momentum emas sehingga bisa unjuk gigi. Banyak orang merindukan pangan atau makanan tradisional. Kondisi tersebut mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar. Selama ini industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan.
Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat dengan masalah. Yang paling menonjol adalah kurangnya insentif dan pembinaan sehingga berakibat rentannya perlindungan konsumen. Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan. Secara harfiah, pengertian makanan tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber lokal. Serta memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Selama ini usaha untuk menerapkan manajemen mutu bagi usaha makanan tradisional belum optimal. Sehingga produk pangan tradisional kerap mengalami penolakan. Sekilas produk tersebut ditolak hanya karena alasan kotor (filthy).

Pentingnya membangkitkan kesadaran akan mutu yang dimulai dari diidentifikasikannya persyaratan konsumen, gagasan konsep produk, bahkan setelah pengiriman pada konsumen. Ringkasnya, kesadaran membangun mutu termasuk pula mendengar harapan konsumen, sehingga terciptanya interaksi dalam sistem manajemen mutu. Dunia mulai dihadang oleh masalah pangan. Sayangnya belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan.Mestinya ada terobosan yang esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan secara gratis kepada seluruh lapisan rakyat dalam jumlah yang cukup. Terobosan diatas juga untuk mengatasi kesenjangan produktivitas. Dimana produktivitas pertanian di negara maju dengan negara berkembang sangat timpang. Sistem atau pola pertanian yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang berbeda yaitu; pertama, pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi tinggi, dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga tinggi. Kedua, pola pertanian yang tidak atau kurang berkembang yang terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acapkali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Sehingga antara negara maju dan negara berkembang muncul suatu kesenjangan yang disebut sebagai kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000 kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1. Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang selama ini dilakukan pemerintah mestinya menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari Program GP3K cukup besar. Dari pihak BUMN saja pada 2011/2012 bersedia mengucurkan hingga Rp 1,5 triliun. Ketersediaan dana tersebut mestinya sebagian bisa dipakai untuk membangun infrastruktur untuk memproduksi benih yang bermutu. Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana yang sangat besar. Seperti halnya rencana untuk mendirikan BUMN Pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu yang cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara kebutuhan perut rakyat tidak bisa berhenti menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek tersebut tanpa penataan corporate farming yang baik justru akan mengakibatkan kegagalan.

Bangsa Indonesia hendaknya belajar berbagai aspek corporate farming dari negara Brasil yang telah sukses menjadikan negaranya sebagai pengekspor produk pangan terkemuka pada saat ini. Salah satu bukti keberhasilan itu adalah kemampuan Brasil mengekspor kedelai sekitar 40 juta ton setiap tahunnya ke negeri Cina. Teknologi pertanian di Brasil juga masih menjunjung tinggi kearifan organik dan lepas dari ketergantungan pupuk kimia dan obat-obatan pertanian sejenis insektisida. Brasil berhasil melintasi krisis kapitalisme global karena berhasil mewujudkan tatakelola corporate farming sebaik-baiknya. Antara lain menjadikan lembaga koperasi pertanian dinegara itu memiliki peran yang besar. Pemerintah Brasil juga telah membangun infrastruktur pertanian, pengairan, perhubungan dan lain-lain yang bisa menunjang dengan baik apa yang dibutuhkan corporate farming.

Dalam mengantisipasi krisis pangan ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan, yakni budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayangnya, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas oleh kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya harus digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai serta pekarangan rumah rakyat di Pulau Jawa yang belum tergarap secara baik. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan yang luar biasa jika kondisinya berkecukupan benih. Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah menyediakan benih unggul dan mendorong budaya pemuliaan benih. Sebagai negara agraris seharusnya Indonesia memiliki kemajuan dalam rekayasa perbenihan. Kemajuan itu ditandai dengan kemampuan pemerintah menyediakan secara gratis benih unggul apa saja kepada rakyat luas. Atau setidak-tidaknya dengan harga yang murah. Dengan langkah itu maka program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya hingga kini masalah benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini Indonesia masih sangat tergantung pada impor benih, seperti misalnya padi hibrida dari Cina. Sudah waktunya Pemerintah Daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga. Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong melompong karena kesulitan mendapatkan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan rakyat akan menjadi produktif.


 Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara pemuliaan benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi saja, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Tata kelola dan program pemuliaan benih hingga saat ini masih memprihatinkan. Akibatnya ketersediaan benih unggul tanaman secara nasional maupun daerah sering kedodoran pada musim tanam. Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah yang tidak berfungsi secara normal karena salah urus. Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di beberapa daerah seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura milik daerah bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasil pemuliaannya bisa disebarkan kepada masyarakat. Namun kenyataannya balai semacam itu kini kondisinya kurang produktif. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Seperti di negara Brasil yang mana dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif yang cukup besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi pemuliaan benih dengan teknologi transgenik pada saat ini perkembangannya sangat pesat. Sementara usaha benih secara konvensional berjalan lambat akibat biaya produksi yang cukup tinggi.

Tidak ada komentar: