Rabu, 18 Desember 2013

Menata Sistem Transportasi Publik Pasca Kenaikan BBM


Daily Investor 4 Juli 2013


       Diperlukan antisipasi dan skenario untuk mengarahkan perpindahan moda agar lebih efektif bagi sistem transportasi setelah kenaikan harga BBM bersubsidi. Hal tersebut sekaligus juga sebagai momentum untuk mengembangkan sistem transportasi masal atau MRT di berbagai daerah. Efek kenaikan BBM bersubsidi bagi prosentase penggunaan kendaraan pribadi, sepeda motor dan angkutan umum bisa berimplikasi negatif. Pola yang terjadi antara lain perpindahan mobil pribadi ke sepeda motor dan mobil pribadi ke angkutan umum. Presentase pola perpindahan diatas bisa sangat bervariasi tergantung sejauh mana pemerintah pusat dan daerah mampu memberikan insentif dan program revitalisasi angkutan masal.
       Dalam domain sistem transportasi yang ideal, tentunya perpindahan yang diharapkan adalah dari mobil pribadi ke angkutan umum dengan jumlah yang signifikan. Pentingnya langkah segera untuk mencegah perpindahan ke pengguna sepeda motor secara berlebihan. Kondisi meledaknya populasi sepeda motor di jalanan tentunya tidak menggembirakan karena berakibat aspek keselamatan dan ketertiban lalu-lintas menjadi menurun. Oleh karena itu pelayanan angkutan umum perlu segera dilakukan dengan menyempurnakan pelayanan Sistem Transit dan Bus Rapid Transit (BRT) yang sudah dikembangkan di Pulau Jawa dan Bali.   Meskipun belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sistem transit secara pasti bersiap menuju kondisi pelayanan BRT yang optimal. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 158 ayat 1 UU 22/2009 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan massal berbasis jalan.
       Untuk mewujudkan skenario perpindahan moda yang ideal bagi berbagai aspek kehidupan rakyat adalah meningkatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk transportasi perkotaan dalam konteks sistem transit. Dengan demikian bisa ditambah volume dan diimplementasikan secara progresif sistem transit menuju BRT. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun berjalan. Pasal 162 UU No. 32/2004 10 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi antara lain penetapan di bidang transportasi.
       Sistem Transit adalah bagian dari angkutan umum masal perkotaan, sebagai tahapan transisi menuju BRT. Sistem transit adalah tahapan antara bagi terbentuknya BRT. Sistem tersebut masih memiliki keterbatasan beberapa hal antara lain belum menggunakan lajur khusus. Kapasitas angkut massal tetapi headway masih cukup lama karena belum terintegrasi dengan feeder angkutan umum lain. Selain itu trayeknya masih banyak yang berhimpit dengan trayek angkutan umum yang lama. Ada 13 kota yang sudah mengoperasikan sistem transit. Yakni Batam Bus Pilot Project, Bogor Trans Pakuan, Yogyakarta Trans, Semarang Trans, Pekanbaru Trans Metro, Bandung Trans Metro, Manado Trans Kawanua, Gorontalo Trans Hulontalangi, Palembang Trans Musi, Batik Solo Trans, Sarbagita Bali, Trans Amboina dan Trans Tangerang. Hingga kini yang dikategorikan sebagai BRT baru di kota Jakarta yakni Trans Jakarta. Meskipun BRT di ibukota itu belum mencapai standar Full-BRT. Namun begitu Trans Jakarta harus segera dipacu perkembangannya ke segala penjuru wilayah Jabodetabek. 
     Kenaikan harga BBM bersubsidi dan nantinya akan disusul oleh pembatasan konsumsi BBM diharapkan akan mendorong terjadinya perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, dengan syarat pelayanan angkutan massal dikembangkan sesuai SPM (standar pelayanan minimum). Momentum kenaikan harga BBM subsidi selain digunakan untuk mengakselerasi sistem transit dan BRT juga perlunya memberikan insentif kepada usaha angkutan lain yang masih eksis sehingga usahanya bisa sehat. Seperti perusahaan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Namun begitu, diiperlukan kehati-hatian dalam memberikan insentif kepada pengusaha angkutan umum. Pasalnya jangan sampai insentif tersebut salah sasaran dan hanya menguntungkan pihak pengusaha. Pengalaman menunjukkan bahwa insentif yang pernah ada tidak efektif dan tidak dirasakan oleh rakyat luas. Para pengusaha angkutan tetap saja menaikkan tarif seenaknya sendiri. pemberian kompensasi oleh pemerintah sebaiknya diarahkan pada biaya-biaya operasional yang dianggap cukup memberatkan para pengusaha angkutan umum, seperti biaya pajak BPKB, biaya uji KIR, biaya retribusi di terminal, dan BBM. Juga perlu jenis insentif untuk konversi bahan bakar ke gas. Jenis insentif ini pernah direncanakan yakni senilai Rp 15 juta per satu unit angkutan umum. Diberikan dalam bentuk perangkat tabung gas yang dipasang pada setiap kendaraan angkutan uunum yang siap bermigrasi.  
       Selain itu untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM subsidi perlu insentif fiskal tentang pembebasan bea masuk atas impor beberapa jenis suku cadang untuk angkutan umum. Juga tentang keringanan bea masuk atas impor chassis bus dengan mesin terpasang untuk pembuatan bus angkutan umum dan completely knock down (CKD) untuk pembuatan kendaraan angkutan komersial. Begitupula tentang keringanan bea masuk atas impor bus dalam bentuk completely built up (CBU) untuk keperluan angkutan umum. Suku cadang kendaraan bermotor seperti ban dan komponen yang cepat aus (clutch, timing belt dan bearing roda) memberikan kontribusi cukup besar dalam biaya operasional kendaraan angkutan umum. Dari struktur biaya operasi angkutan umum menunjukkan bahwa biaya sukucadang, pelumas dan ban memberikan kontribusi sekitar 25 % dari biaya operasi. Sedangkan kontribusi bahan bakar minyak mencapai 21 % dari biaya operasi. 
       Kenaikan harga BBM subsidi dan akan dilanjutkan dengan mekanisme pembatasan jangan sampai menimbulkan kelangkaan solar seperti yang pernah terjadi baru-baru ini. Kelangkaan solar baru saja memukul usaha angkutan bus yang selama ini telah mengalami tekanan berat. Pembatasan konsumsi solar bagi usaha bus sebaiknya disertai dengan penataan kembali route dan sistem terminal yang kondisinya pada saat ini menjadi amburadul. Terminal resmi telah terpinggirkan oleh terminal bayangan dan pangkalan bus elite. Penataan diatas idealnya melalui pembangunan terminal terpadu. Hal ini diharapkan bisa mewujudkan integrasi yang baik antar moda. Sehingga dengan adanya penataan terminal dan route, maka kuota BBM untuk transportasi umum bisa direncanakan secara tepat dan tidak disalahgunakan.
        Peta konsumsi solar untuk angkutan bus selama ini amburadul. Selain itu penggunaan solar oleh bus juga masih boros akibat tata kelola trayek yang ruwet dan belum digunakannya teknologi bus yang bisa menghemat BBM secara signifikan. Pentingnya terminal terpadu yang bisa mengintegrasikan moda transportasi satu dengan moda yang lainnya. Infrastruktur itu bisa mewujudkan perencanaan dan penerapan konsumsi BBM lebih terkontrol dan teratur. Pembangunan terminal terpadu harus berdasarkan proyeksi penumpang yang valid hingga beberapa tahun kedepan. Selain itu terminal terpadu sebaiknya juga terkait dengan moda kereta api. Prinsip terminal terpadu adalah mengintegrasikan moda transportasi satu dengan moda transportasi yang lainnya. Pembangunan terminal terpadu terkendala oleh ekspansi usaha angkutan travel yang melayani penumpang dari titik pemberangkatan di pusat-pusat bisnis. Hal itu telah melemahkan usaha angkutan bus akhir akhir ini. 

Tidak ada komentar: