Kamis, 18 Februari 2016


Hari Tembakau Sedunia dan Paradoks Industri Rokok

Tribun Jabar        April 2015




Menyoal Kluster Industri Rokok di Jabar Oleh : Harjoko Sangganagara *) Kluster baru industri rokok di Jawa Barat yang berada di Kabupaten Karawang dibangun untuk tujuan ekspor. Dengan demikian kluster industri yang dibangun oleh PT HMSP dengan nilai investasi sekitar Rp 2 triliun itu kinerja ekspornya harus bisa konsisten. Sehingga produk yang ditujukan untuk ekspor itu tidak malah diam-diam merembes lalu membanjiri pasar domestik, khususnya di Jawa Barat. Apalagi selama ini kontribusi penjualan ekspor jauh lebih kecil dibandingkan penjualan rokok dipasar domestik. Sangat disayangkan kluster industri rokok di Jabar tersebut tidak banyak menyerap tenaga kerja. Pasalnya jenis kluster tersebut adalah memproduksi sigaret kretek mesin (SKM) yang mengandalkan mesin dan menghindari tenaga kerja lokal. Kluster industri rokok di Jawa Barat bisa mendongkrak konsumsi rokok dan menyebabkan persoalan kesehatan yang sangat serius. Apalagi kontribusi pajak dan cukai rokok untuk Jawa Barat kurang signifikan. Pemerintahan diharapkan mengawasi secara ketat bagi industri rokok agar konsisten mengembangkan pasar keluar negeri. Selain itu pemerintah juga dituntut segera meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control –FCTC) yang dibuat oleh WHO. Ironsinya, hingga kini Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC meskipun sudah ditandatangani 168 negara dan resmi mengikat total 178 di antara 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebaiknya memperhatikan Global Adult Tobacco Survey Report yang menempatkan Indonesia urutan pertama di dunia yang memiliki persentase tertinggi penduduk laki-laki perokok, 67 persen. Sedangkan dari jumlahnya, Indonesia masuk peringkat ketiga setelah Tiongkok dan India. Belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor dua (10,4 persen) setelah makanan pokok (11,3 persen). Pada saat ini kluster industri rokok di Jateng dan Jatim sedang melakukan proses PHK atau pensiun dini terhadap ribuan pekerja. Celakanya PHK besar tersebut tanpa disertai program transformasi profesi buruh pabrik rokok. Sehingga buruh kesulitan alih pekerjaan lalu menganggur. Ironisnya para investor justru mengalihkan pabrik rokoknya ke Jabar tetapi tanpa banyak menyerap tenaga kerja karena pabrik tersebut mengguankan mesin-mesin otomatis yang tidak membutuhkan tenaga kerja. Perlu menata struktur industri rokok yang lebih adatif dengan regulasi dan tuntutan jaman terkait aspek kesehatan bangsa. Dibutuhkan peta jalan baru untuk optimasi perolehan cukai dan struktur ketenagakerjaan yang ideal. Kota dan kabupaten yang selama ini menjadi kantong buruh industri rokok yang terkena program PHK masal atau pengrumahan perlu mengantisipasi dampak jangka panjang. Meskipun ribuan buruh tersebut mendapat pesangon yang memadai, namun dibutuhkan program pengarahan agar uang pesangon tersebut tidak cepat ludes untuk hal-hal yang konsumtif. Dibutuhkan pelatihan kewirausahaan bagi buruh rokok yang sesuai dengan kondisi daerah. Tak bisa dimungkiri, industri rokok, khususnya jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada saat ini menghadapi berbagai masalah serius. Antara lain kenaikan upah minimum regional dan perubahan preferensi konsumen dari yang dulunya menggemari rokok kretek menjadi ke rokok mild yang diproduksi mesin. Keputusan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang menyatakan pemerintah akan menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen sebaiknya segera dikonkritkan. Kenaikan itu untuk memenuhi target penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar Rp 120 triliun dari cukai rokok. Pentingnya kementerian perindustrian, perdagangan, dan keuangan untuk segera berkoordinasi guna merombak atau menyusun kembali peta jalan industri rokok. Pemerintah harus punya kebijakan agar pertumbuhan produksi rokok bisa terkendali. Sebaiknya kemenperin menghitung tingkatan pertumbuhan yang tepat bagi industri rokok. Sesuai dengan aspirasi terkait dengan masa depan kesehatan rakyat. Perlu kebijakan baru seperti misalnya mengurangi ukuran atau panjang SKT untuk memperpendek waktu isap seperti halnya rokok buatan mesin. Secara geografis, selama ini kluster industri rokok kretek di Indonesia ada di Pulau Jawa, yaitu di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya di daerah Kudus, Kediri, Surabaya, dan Malang. Keberadaan industri rokok di negeri ini memang dilematis. Di satu sisi, masalah kesehatan rakyat sangat rentan terhadap prilaku merokok. Dilain pihak industri rokok menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Telah terjadi tren penurunan produksi, terutama sejak pemerintah menerapkan pemberlakuan gambar peringatan rokok. Yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Yang memberikan batasan sangat ketat bagi peredaran, penjualan dan iklan dari produk tembakau. Pada 2012 produksi rokok mengalami kenaikan 9 persen, tetapi pada 2013 mengalami penurunan 7 persen. Dan pada 2014 berdasarkan estimasi Direktorat Bea Cukai diperkirakan tumbuh 3 persen. Target penerimaan cukai rokok dalam APBN 2014 sekitar Rp 110,5 triliun ternyata sulit tercapai. Pada 2013 penerimaan cukai rokok sekitar Rp 100 triliun. Pada 2013 produksi rokok mencapai 341 miliar batang. Maka untuk mendapatkan tambahan Rp 10,5 triliun pada 2014, paling tidak dibutuhkan 358 miliar hingga 360 miliar batang rokok. Betapa riskan jumlah yang sangat besar tersebut terhadap aspek kesehatan bangsa. Untuk memenuhi target diatas harga jual eceran per batang dinaikkan, karena sudah dua tahun tidak naik. Sedangkan struktur tarif cukai dipertahankan tetap dengan 13 layer. Batasan produksi SKM tetap 2 golongan, bila ada perubahan batasan produksi Golongan II SKM minimal tidak kurang dari 2 miliar batang dan Golongan III SKT agar diselamatkan karena sebagai jaring pengaman agar bisa membendung peredaran rokok ilegal. *) Dosen STIA Bagasasi Bandung.

Tidak ada komentar: