Selasa, 23 Februari 2016



"Reformasi Total PSSI dan Signifikansi Ekonomi Olahraga"

Oleh : Harjoko Sangganagara *) 
Daily Investor                  2015

 

Presiden Joko Widodo menyatakan perlu reformasi total terhadap PSSI. Sangsi sepihak yang kurang obyektif telah dijatuhkan oleh FIFA terhadap Indonesia. Hal itu tidak perlu diratapi karena justru memberikan makna yang besar dan menjadi momentum untuk menata kembali sepak bola di tanah air. Apalagi selama satu dasawarsa terakhir, PSSI selalu busung prestasi dan berada diperingkat bawah. Reformasi total yang paling ideal adalah melahirkan kembali organisasi federasi sepak bola dengan nama baru maupun tetap bernama PSSI tetapi dengan pengurus yang benar-benar baru.
Saatnya mengubur berbagai macam penyakit kronis sepak bola di negeri ini, khususnya modus korupsi dan sepak terjang mafia sepak bola. Reformasi total juga meliputi pengembangan potensi dan nilai tambah ekonomi olahraga. Reformasi total relevan dengan kondisi FIFA yang kini reputasinya sedang jatuh terpuruk akibat skandal korupsi yang dilakukan oleh petingginya. Insiden penangkapan beberapa pimpinan FIFA di Zurich terkait dugaan korupsi, penyuapan hingga pemerasan telah mencoreng citra federasi sepak bola dunia. Penangkapan petinggi FIFA yang diprakarsai FBI, berhasil menjaring sembilan nama diantaranya Jeffrey Webb, yang menjabat posisi wakil presiden FIFA dan ketua Federasi Concacaf yang mencakup Amerika Utara dan Tengah. Para pejabat FIFA itu dituduh melakukan pemerasan, penipuan dan pencucian uang yang melibatan puluhan juta dolar. Tuduhan yang dilontarkan diantaranya termasuk menerima suap untuk memberikan hak media dan pemasaran untuk turnamen sepakbola, menerima suap untuk mempengaruhi keputusan lokasi turnamen. Termasuk Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dan Copa America 2016 di AS.
Ada baiknya kita menengok kembali penyelengaraan Piala Dunia 2014 di Brasil yang semakin membuktikan bahwa sepak bola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian. Sepak bola bisa menggoyang sekaligus menggairahkan perekonomian global dan lokal. Begitu pesta Piala Dunia dunia bergulir, maka efeknya langsung merembet ke perdagangan saham global. Olahraga bisa menggairahkan perekonomian dunia dan lokal. Belanja iklan dan promosi produk mengalir deras. Tak terkecuali di Indonesia. Pesta olahraga membuat denyut ekonomi semakin berdenyut hal itu terlihat dengan volume penjualan televisi dan perangkat pendukungnya yang meningkat pesat serta semakin banyaknya usaha nonton bareng dengan LCD layar lebar. Usaha kafe dan restoran semakin kebanjiran pengunjung yang akan nonton bareng sambil menikmati menu makanan dan sajian musik serta hiburan lainnya. Selain itu usaha kerajian rakyat terkait dengan olahraga dan souvenir juga mengalami kenaikan oplah. Seperti kaos berlogo peserta olahraga dan pesertanya, slayer, gelas, piring dan barang merchandise lainnya.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pembangunan infrastruktur olahraga khususnya stadion sepak bola bisa menjadi faktor pendorong ekonomi dan kemajuan bangsa. Sayangnya, pembangunan infrastruktur olahraga di negeri ini justru telah menjadi ajang korupsi. Sisi lain yang menyedihkan terkait dengan infrastruktur olahraga adalah mengenai utilitas dan biaya operasional stadion yang mengalami salah urus. Banyak Infrastruktur olahraga yang pada awalnya terlihat megah akhirnya menjadi sepi karena manajemen kompetisi cabang olah raga yang kurang baik. Dalam rangka reformasi total sepak bola Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi membentuk tim transisi sepakbola Indonesia. Tim itu menggantikan fungsi pengurus PSSI yang dibekukan. Sebelum PSSI yang baru terlahir, tim ini bertugas sementara sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia. Masyarakat berharap agar PSSI terlahir kembali dengan postur yang lebih bersih dan memiliki integritas serta haus prestasi. Tim transisi memiliki anggota dengan ragam profesi yang eksistensinya sangat dibutuhkan oleh sepak bola nasional. Sosok seperti Bibit Samad Rianto yang pernah menjadi komisioner KPK sangat tepat untuk membangun integritas di domain sepak bola nasional. Selain itu perlunya sosok yang tegas, disiplin dan penuh nilai kejuangan untuk memperbaiki mentalitas pemain dan pengurus sepak bola. Kriteria tersebut melekat pada Letnan Jenderal Lodewijk Freidrich Paulus yang telah ditunjuk langsung oleh Panglima TNI untuk menjadi salah satu tim transisi. Letjen Paulus adalah mantan Danjen Kopassus dan Pangdam I/Bukit Barisan, yang kini menjadi Dankodiklat (Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan) TNI AD.
Tim Transisi diharapkan bisa membidani kelahiran PSSI yang baru dengan kondisi sehat dan selamat. Untuk melahirkan PSSI yang baru diharapkan tim transisi bersinergi dengan pemain lintas generasi dan para tokoh sepak bola yang saat ini memiliki reputasi dan berkiprah di tingkat global. Salah satunya adalah Erick Thohir yang beberapa waktu lalu mengakuisisi 70 % saham Inter Milan, klub papan atas Seri A Italia. Kini Erick telah memiliki mayoritas kepemilikan Nerazzurri setelah menggelontorkan dana sekitar Rp 5,2 triliun.
 Masyarakat berharap PSSI yang baru bebas konflik dan kepentingan kelompok. Juga diharapkan bebas dan bersih dari aksi mafia sepak bola yang selama ini penyebab kekisruhan sehingga prestasi sepak bola nasional terus terpuruk. PSSI baru sebaiknya fokus untuk merumuskan tata kelola sepak bola nasional yang lebih baik serta menata ulang sistem kompetisi Liga Indonesia yang lebih fair dan adil. Perlu kerjasama dengan penyelenggara liga sepak bola di Eropa yang selama ini telah sukses menyelenggarakan turnamen dan sukses mengembangkan profesi dan prestasi. Para pemain atau atlet sepak bola nasional lintas generasi diharapkan turut membidani kelahiran PSSI baru bersama tim transisi. Langkah Kemenpora yang membekukan PSSI dan keputusan PSSI versi La Nyalla Mattaliti yang secara sepihak menghentikan kompetisi Liga Indonesia lalu mempengaruhi FIFA agar menjatuhkan sangsi kepada Indonesia merupakan langkah kontra produktif yang sekaligus mendatangkan hikmah besar. Yakni hikmah untuk segera menghilangkan penyakit struktural di tubuh PSSI.
Kemenpora sebaiknya segera memberikan peran yang luas kepada para pemain sepak bola lintas generasi untuk terlibat langsung membidani PSSI baru lewat Munaslub dan memilih kepengurusan baru serta menyehatkan dan memperbaiki budaya organisasi. Saatnya membentuk lembaga independen untuk mengawasi kinerja dan budaya organisasi PSSI yang baru. Sejak berdiri pada 19 April 1930 sebenarnya PSSI telah memiliki budaya organisasi yang cukup kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama untuk mendapatkan momentum dengan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun dalam dua dasa warsa terakhir ini budaya organisasi PSSI telah terkoyak-koyak karena telah digerogoti oleh konflik dan penyakit struktural. Eksistensi PSSI baru juga harus mampu menjadikan sepak bola sebagai entitas industri yang tangguh dengan nilai tambah ekonomi yang lebih signifikan dan menetes ke bawah. Banyak warga negara Indonesia yang sebenarnya mampu mewujudkan PSSI baru yang lebih berprestasi dan ekonomi sepak bola menjadi lebih bergairah.
Terpuruknya prestasi sepak bola nasional dan beberapa cabor olahraga lainnya merupakan indikasi bahwa etos kerja dan kualitas SDM bangsa ini juga belum baik. Idealnya olahraga juga berfungsi untuk merevolusi mental bangsa yang bisa membuahkan daya saing dan budaya unggul. Untuk itulah perlunya langkah debirokratisasi olahraga di Indonesia agar tidak mengalami kelangkaan prestasi terus menerus. Debirokratisasi pada prinsipnya membebaskan atlet cabang olahraga dari belitan birokrasi dan intrik politik praktis dan selanjutnya mengembangkan profesionalitas atlet dan pengurus cabang olahraga sesuai dengan tren global. Betapa pentingnya figur dan reputasi seorang Ketua Umum PSSI yang baru.
Sangat relevan pendapat pakar manajemen modern Peter Drucker yang mendefinisikan bahwa sebuah organisasi pada saat ini lebih membutuhkan leader ketimbang manager. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Leaders finds the right things to. Sedangkan manager adalah mereka yang try to do things right. Korelasinya terhadap PSSI selama ini lebih banyak memiliki pengurus yang bertipe manager tetapi tidak memiliki leader yang mampu memusatkan perhatian pada aspek efektivitas. Utamanya efektivitas kompetisi dan pembinaan. Jelaslah sudah, yang lebih dibutuhkan oleh PSSI baru adalah leader atau pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan tangguh. Pemimpin yang bebas konflik yang pernah terjadi, pemimpin yang tidak menjadi kaki tangan parpol atau ormas. Ketepurukan prestasi olahraga nasional tidak boleh berlarut larut. Pemerintah dalam hal ini Kemenpora harus berani menyehatkan dan merampingkan birokrasi olahraga yang spektrumnya membentang dari KONI Pusat hingga daerah. 

*) Dosen STIA Bagasasi Bandung.

Tidak ada komentar: