Minggu, 31 Agustus 2014

Menkeu Prorakyat

Pikiran Rakyat |30 Agustus 2014





Oleh : Harjoko Sangganagara *)

 Sosok Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menjadi gambaran publik seperti apa haluan ekonomi pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Melihat kondisi APBN 2015, terbayang betapa beban berat Menkeu baru sudah didepan mata. Publik berharap adanya revolusi fiskal agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul bisa menjadi alat yang efektif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kewenangan luar biasa yang ada ditangan Menkeu yang termaktub dalam undang-undang harus diakselerasi sehingga bisa membawa kesejahteraan rakyat. Antara lain kewenangan yang terkait dengan insentif fiskal. Apalagi jika nantinya ada kenaikan harga BBM bersubsidi, beberapa sektor tentunya membutuhkan insentif yang tepat. Seperti insentif terhadap usaha angkutan penumpang dan barang terkait dengan pengadaan suku cadang, kredit usaha, pajak dan lain-lainnya. Karena tanpa insentif yang benar sektor usaha tertentu akan terpuruk dan mati.

Revolusi fiskal terkait dengan tiga aspek, yakni revolusi penerimaan negara, alokasi dan efisiensi belanja secara ketat, serta manajemen pengelolaan APBN yang anti bocor. Terkait dengan revolusi penerimaan negara, perlunya membongkar kebiasan lama yang buruk terkait dengan tatakelola pajak. Pentingnya merancang ulang pajak progresif pada kelompok berpendapatan atas. Dibutuhkan mekanisme yang tegas terkait ketaatan bayar pajak dan penurunan kebocoran pajak harus dibuat maksimal lewat perubahan fundamental sistem maupun teknologinya. Terutama untuk mengatasi kebocoran pajak di sektor migas, pertambangan, impor dan barang mewah. Revolusi fiskal juga harus mencegah alokasi belanja yang selama ini habis untuk kepentingan birokrasi (belanja pegawai dan barang), juga untuk sektor-sektor yang kurang terkait dengan hajat hidup rakyat luas. Dalam situasi penyelenggaraan negara yang kurang efektif dan disana-sini masih terlihat boros seperti sekarang ini, dibutuhkan sosok Menkeu yang pro-rakyat dan sekaligus mampu menciptakan inteligensi keuangan negara. Pro-rakyat dalam arti memiliki mahzab yang kuat dalam hal pembagian kue pembangunan yang berbasis keadilan sosial. Hal itu tercermin dalam politik anggaran nasional dan daerah. Selama ini proses penyusunan anggaran kurang menyerap aspirasi rakyat luas. Akibatnya, postur anggaran belum menampakan harapan baru dari sisi kepentingan rakyat luas. Bahkan mencuatkan berbagai kekawatiran sehubungan dengan lemahnya elemen pengendalian dan pengawasan. Pentingnya menyehatkan politik anggaran di daerah agar tidak terjadi ketimpangan dan kebocoran. Jika dilihat dari volumenya maka kebanyakan APBD kurang signifikan dibandingkan dengan faktor demografi, geografis serta pertumbuhan IPM. Para penguasa daerah cenderung memutuskan belanja untuk sektor publik masih dibawah belanja birokrasi. Buruknya proses dan kualitas penyusunan APBD merupakan indikasi bahwa kebijakan keuangan di negeri ini belum pro-rakyat.

Terkait dengan nilai tukar rupiah Menkeu baru perlu mengadopsi pemikiran Herman Minsky seperti yang tersirat dalam bukunya yang berjudul “Stabilizing the unstable economy”. Buku tersebut bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi perekonomian yang mungkin akan mengguncang bangsa Indonesia lagi. Selama ini para akademisi dan praktisi ekonomi mengenal istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi yang berada dalam kondisi turbulensi. Kini istilah tersebut menjadi relevan kembali setelah sekian lama tertimbun oleh keangkuhan neoliberalisme. Selama ini pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua rejim pemerintahan di muka bumi ini menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar bekerja dengan sempurna, termasuk di antaranya membuat UU yang memuluskan pergerakan barang, jasa, dan keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala rupa gangguan yang datang dari individu atau kelompok terhadap bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Intinya, dalam rejim neoliberal, peran negara adalah tut wuri handayani, mendukung dari belakang.

 Namun, setelah sekian lama apa yang terjadi. Ternyata daya dan upaya diatas justru mengakibatkan turbulensi yang tiada henti-hentinya. Dengan kondisi diatas, banyak pihak yang merekomendasikan inversi atau membalik situasi yang menyebabkan turbulensi tersebut. Yakni memberlakukan kebijakan dimana sebaiknya pasar tidak lagi dilepas sebebas-bebasnya. Dibalik rekomendasi tersebut, bekerja model analisis yang melihat krisis yang terjadi selama ini bersifat siklikal yang bersandar pada teori siklus bisnis (bussines cycle), yang populer disebut Minsky Moment. Teori siklus bisnis itu secara sederhana dinyatakan adanya dua periode. Pada mulanya adalah periode optimisme dalam pasar finansial, yang ditandai oleh tindakan agresif dan ekspansif dari pemberi dan penerima pinjaman karena adanya peluang keuntungan besar di masa depan yang bisa diraih segera. Akibatnya, dalam periode ini, kehati-hatian dalam pasar diabaikan, praktek spekulasi sangat dominan sehingga menggiring pada periode yang disebut “the death of business cylce”. Lalu muncul periode yang pesimis, yang ditandai oleh hilangnya kepercayaan pada pelaku pasar yang kemudian menyebabkan terjadinya krisis finansial.

Jika Keyness dikenal dengan rekomendasi untuk mengedepankan kebijakan moneter dibandingkan dengan stimulus fiskal. Dan kebijakan untuk melahirkan surplus budget ketika periode pertumbuhan sehingga ada ruang pergerakan untuk membawa siklus bisnis ke wilayah soft landing jika terjadi ketidak stabilan atau gangguan turbulensi. Maka Minsky mengusulkan cara yang berbeda. Ia lebih menekankan pada bahaya yang dihadapi oleh suatu bangsa yang mengalami turbulensi ekonomi, yakni apa yang disebutnya dengan fenomena ketidak pastian aliran investasi yang dapat mengganggu aliran dana segar atau cash flow pada saat terjadi turbulensi atau gangguan perekonomian. Gangguan ini melahirkan apa yang disebutnya dengan tajuk volatility of investment. Dalam bukunya Minsky menjelaskan mengapa ekonomi suatu bangsa bisa rentan jika berhadapan dengan fluktuasi dan bagaimana mungkin kita memiliki instrument untuk memagari perambatan fluktuasi yang terjadi. Menurutnya proses yang menyebabkan financial fragility bersifat alamiah yang inheren ada sebagai kekuatan tersembunyi yang bekerja dalam sistem ekonomi suatu bangsa. Minsky lebih mengedepankan peranan inovasi dan daya entrepreneurship untuk mengambil resiko sebagai faktor penggerak utama dari siklus bisnis. Hanya dengan program inovasi yang tepat dan menularkan entreprenuership kepada rakyat luas yang mampu mengatasi turbulensi ekonomi.

 Tantangan lain bagi Menkeu baru adalah bagaimana mewujudkan inteligensi sistem keuangan negara. Sehingga ekosistem keuangan negara bisa menjadi sistem cerdas yang bisa membantu secara baik proses pembangunan. Beberapa rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa penyerapan anggaran khususnya pada akhir tahun selalu bermasalah dan penuh resiko merupakan penyakit lama yang perlu dituntaskan Menkeu baru. Banyaknya temuan yang menyatakan bahwa penyerapan anggaran sering tidak sesuai dengan ketentuan harus dielaborasi secara detail. Begitu juga dengan perilaku penyerapan anggaran belanja yang menumpuk pada akhir tahun, yang notabene merupakan kesempatan empuk bagi koruptor harus dicegah secara sistemik.


 *) Dosen STIA Bagasasi Bandung.

Tidak ada komentar: