Selasa, 19 Agustus 2014

Kemerdekaan dan Kabinet Power of Glance - Jokowi

 Daily Investor | 16 Agustus 2014


Jokowi: Menteri di kabinet saya harus lepas dari parpol. Karikatur Investor Daily 11 Agustus 2014

Tema Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69, tanggal 17 Agustus 2014 adalah tentang suksesi kepemimpinan nasional hasil Pemilu 2014. Tema tersebut menyambut Presiden terpilih Joko Widodo yang akan mengendalikan pemerintahan lima tahun kedepan. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga akan menyampaikan pidato kenegaraan yang terakhir dengan konten yang istimewa. 
Terkait dengan suksesi kepemimpinan nasional yang diharapkan bisa mulus dan bisa langsung tangkas melanjutkan program-program pembangunan yang telah dilakukan selama pemerintahannya. Tak bisa dimungkiri, bahwa suksesi kepemimpinan nasional selalu diwarnai oleh masalah klasik, yakni terjadinya kasak-kusuk pemilihan kabinet dan masalah berat membenahi kondisi birokrasi pusat dan daerah. Mestinya semua pihak memberi apresiasi kepada presiden terpilih dalam menyusun kabinetnya. Apalagi. pada saat ini jabatan menteri bisa dianalogikan dengan kursi panas. Karena seribu satu masalah langsung menghadang begitu sang menteri dilantik. 
Pemerintahan Jokowi-JK membutuhkan sosok menteri yang memiliki karakter blink factor dalam mengelola portofolionya. Tidak peduli sosok menteri itu berlatar belakang partai politik, kalangan professional, akademisi, bahkan dari kalangan jurnalis sekalipun. Semuanya dituntut memiliki karakter diatas. Blink factor menggambarkan sosok yang pandai mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Publik berharap agar Presiden terpilih Joko Widodo membentuk kabinet kerja. Yakni kerja detail untuk rakyat dan tidak menduakan tugasnya dengan urusan partai politik atau organisasi lainnya. 
Banyaknya persoalan krusial yang menyangkut portofolionya hanya bisa diselesaikan oleh sosok menteri yang memiliki power of glance, yakni kemampuan melihat dan memahami secara detail medan penugasannya. Serta mampu membuat keputusan sekejap atau snap judgment dan pemahaman yang cepat atau rapid cognition terhadap persoalan bangsa yang aktual dan mendesak dalam situasi yang serba sulit dan sumber daya yang sangat terbatas. Jika semua sosok menteri yang membantu 
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki kemampuan diatas, maka bisa disebut Kabinet Power of Glance. Gaya kepemimpinan Presiden terpilih Joko Widodo yang merakyat dan menekankan aspek gerak cepat membutuhkan menteri dan postur birokrasi dibawahnya yang andal dan suka melayani. Sayangnya, kondisi postur birokrasi saat ini tampak kedodoran menghadapi gaya kepemimpinan diatas. Pentingnya treatmen revolusi mental bagi birokrasi yang didahului dengan cara menerapkan reward dan punishment secara tegas dan ketat. Birokrasi yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) itu juga harus dihadapkan sangsi yang keras dan tanpa pandang bulu jika kinerjanya buruk. Dengan demikian tindakan mutasi hingga sanksi pemecatan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat dimungkinkan bagi birokrasi. 
Moralitas dan kejiwaan para birokrasi pusat dan daerah harus segera dibenahi. Searah dengan tren global bahwa korporasi dan birokrasi harus memiliki tingkatan eupsychian management. Istilah eupsychian berasal dari akar kata “eu” yang berarti baik dan “psyche” yang berarti jiwa. Eupsychian management menjadikan pemerintahan dan korporasi bisa survive ditengah krisis dan semakin kompetitif dalam persaingan global. Dari sudut etos kerja dan situasi bangsa Indonesia yang masih terpuruk dalam berbagai bidang sekarang ini, mestinya birokrasi lebih bekerja keras dengan waktu kerja yang ketat. 
 Pemerintah Jokowi-JK jangan lagi memanjakan birokrasi dengan seringnya memberi hari libur. Seharusnya pemerintah mengoptimalkan beban kerja PNS serta memperpanjang jam kerja dengan merevisi Keppres No 68 Tahun 1995. Jam kerja PNS yang cuma 37,5 jam per minggu adalah paling rendah di Asia Tenggara. Apalagi, dengan pengawasan yang amat buruk jelas tidak mungkin bisa menyelenggarakan roda pemerintahan secara efektif. Idealnya jam kerja PNS di Indonesia minimal 45 jam per minggu dengan deskripsi beban kerja yang lebih jelas dan terukur. Kajian domain psikologi menyatakan bahwa birokrat di Indonesia kebanyakan tidak bisa mencintai pekerjaanya setulus hati alias memiliki integritas yang rendah. Mereka sehari-harinya terkena sindrom "5-ng" yakni ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Masih relevan tesis dari M.A.W Brouwer penulis buku “Indonesia Negara Pegawai”. Yang intinya menyatakan bahwa masih banyak PNS pemalas, tidak inovatif, gila hormat, konsumtif, sering melakukan pungli, dan suka korupsi. Tesis Brouwer diperkuat oleh Fernando De Soto seperti dalam bukunya “The Mystery of The Capital” yang secara gamblang menyingkap mental birokrasi dunia ketiga yang pemalas, pemeras, dan suka korupsi. Hal itu menjadi kendala utama pembangunan di dunia ketiga. 
 Para birokrat atau PNS sebaiknya menyadari bahwa esensi kepemimpinan Jokowi-JK pada hakekatnya adalah new deal atau tawaran baru yang lebih konkrit, realistis dan egaliter kepada rakyat. New deal itu bukanlah slogan atau janji politik biasa. Tetapi merupakan revolusi mental dengan mengedepankan langkah terobosan yang cerdas dan progresif guna mengatasi krisis. Dan secara terus menerus dikomunikasikan dengan segenap rakyat. Sistem komunikasi tersebut akan dilengkapi dengan perangkat e-Blus atau sistem informasi blusukan berbasis internet yang akan dikelola oleh kantor kepresidenan. 
Begitu menduduki kursi kepresidenan RI, Joko Widodo akan langsung menghadapi dampak turbulensi perekonomian global yang masih terasa dampaknya hingga saat ini. Turbulensi tersebut telah memorakporandakan teori-teori di bidang ekonomi keuangan. Ada buku menarik berjudul “Stabilizing the unstable economy” karya Herman P Minsky yang bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi perekonomian. Selama ini para akademisi dan praktisi ekonomi mengenal istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi yang berada dalam kondisi turbulensi. Kini istilah tersebut menjadi relevan kembali setelah sekian lama tertimbun oleh keangkuhan neoliberalisme. 
 Selama ini pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua rejim pemerintahan di muka bumi ini menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar bekerja dengan sempurna, termasuk di antaranya membuat undang-undang yang memuluskan pergerakan barang, jasa, dan keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala rupa gangguan yang datang dari individu atau kelompok terhadap bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Intinya, dalam rejim neoliberal, peran negara adalah tut wuri handayani alias mendorong dari belakang. Setelah sekian lama, apa yang terjadi ? ternyata daya dan upaya diatas justru mengakibatkan turbulensi yang tiada henti. 
Dengan kondisi diatas, ada pemikiran yang merekomendasikan inversi atau membalik situasi yang menyebabkan turbulensi tersebut. Yakni memberlakukan kebijakan dimana sebaiknya pasar tidak lagi dilepas sebebas-bebasnya.

Tidak ada komentar: