Minggu, 31 Agustus 2014

Industri Batik dan Ancaman Produk Impor


Kontan Harian Bisnis dan Investasi | Selasa 19 Agustus 2014



Oleh : Harjoko Sangganagara *)

 Hari raya keagamaan merupakan peluang emas bagi industri atau pengrajin batik dan produk turunannya. Selama bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri permintaan produk batik meningkat pesat. Sayangnya, momentum ini terancam dan tergerus oleh serbuan batik impor yang jauh hari sudah menduduki pasar domestik. Pentingnya insentif bagi pengrajin batik, terutama batik tulis di sentra kerajinan batik yang ada di negeri ini. Agar entitas tersebut bisa meningkatkan produknya untuk menambah stok guna menghadapi lebaran 2014. Apalagi pada saat itu banyak wisatawan nusantara yang berkunjung ke sentra kerajinan batik tulis. Para perajin saat memasuki bulan puasa sudah mulai meningkatkan produksinya untuk kepentingan stok menghadapi kunjungan wisatawan lebaran tahun ini. Namun begitu, volumenya kurang memadai bila dibandingkan dengan volume batik impor. Kondisinya semakin memprihatinkan karena volume produk batik selundupan dari luar negeri juga cukup signifikan.


Data yang dilansir Badan Pusat Statisik (BPS ) menyebutkan bahwa setiap tahunnya impor batik cap mencapai 677,4 ton senilai 23,3 juta dolar AS. Dan kain tenun yang dicetak dengan proses batik berjumlah 199,2 ton, senilai 1,8 juta dolar AS. Volume impor yang cukup besar itu juga disertai dengan harga yang lebih murah dibanding batik lokal. Kondisi tersebut jelas menggerus keuntungan usaha dan mengancam usaha batik lokal. Pemerintah hendaknya jangan terlena dan menghibur diri dengan asumsi bahwa batik Tiongkok bukanlah batik, melainkan kain bermotif batik. Asumsi itu bisa berakibat fatal. Pasalnya selain harganya murah, batik Tiongkok juga memiliki bermacam motif yang menarik dan desainnya terus berkembang. Tak pelak lagi, batik Tiongkok telah menguasai sekitar 30 % pangsa pasar domestik. Dan diprediksi akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Ironisnya, pemerintah belum melakukan langkah yang berarti menghadapi kondisi diatas.

 Pentingnya pragmatisasi sistem usaha dan produksi batik lokal lewat berbagai inovasi dan perbaikan proses kreatif. Bangsa Indonesia kurang bisa mempertahankan momentum tahun keemasan produk batik Indonesia pada 2009. Saat United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO mendeklarasikan Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Momentum tersebut juga kurang berhasil dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat hidup para pengrajin dan buruh batik tradisional. Mestinya, selain menjadi warisan budaya yang termashur batik juga harus bisa menjadi leverage ekonomi kerakyatan. Apalagi banyak daerah yang mulai mengembangkan industri batik dengan motif khas daerahnya. Dari aspek budaya, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi batik adalah asli Indonesia . Teknologi pembuatan batik di Indonesia pada prinsipnya berdasarkan resist dyes technique atau teknik celup rintang. Untuk membuat motif batik umumnya dilakukan dengan cara tulis tangan dengan canting tulis (batik tulis atau batik painting), menggunakan cap dari tembaga disebut (batik cap), dengan jalan dibuat motif pada mesin printing (batik printing), dengan cara dibordir disebut batik bordir, serta dibuat dengan kombinasi.

Dimasa mendatang perlunya eksplorasi motif-motif unik untuk meningkatkan daya saing global. Motif unik itu bisa mengambil bentuk-bentuk bangunan bersejarah, flora, fauna dan keindahan alam di Indonesia . Pemerintah dan pengusaha batik seringkali kurang menghargai para pembatiknya. Status pembatik belum dikategorikan sebagai profesi formal ataupun seniman. Mereka adalah pekerja informal yang mudah dicampakkan karena tidak tersentuh peraturan ketenagakerjaan. Masih banyak diantara mereka yang upahnya masih dibawah UMR. Upah atau imbalan buruh industri batik masih dibawah buruh industri TPT. Timpangnya besaran upah karena sistem kerja dan sistem pengupahan yang berdasarkan borongan. Selama ini jaringan bisnis perajin batik merupakan jaringan tradisional yang sangat rentan. Jaringan itu mulai pengadaan bahan baku hingga pemasaran. Sampai saat ini masih jarang lembaga sejenis koperasi yang dapat membantu perajin batik mengatasi masalah penyediaan bahan baku dan bahan pendukung serta mekanisme pemasaran.

 Pemerintah pusat dan daerah mestinya memberikan insentif berupa bantuan konkrit kepada industri batik tradisional. Bantuan itu antara lain memberikan pelatihan yang berkaitan desain produk. Memberikan perlindungan hak paten pada motif batik khas daerah. Membantu penerapan standardisasi mutu produk melalui pelatihan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pemerintah juga harus ikut berperan memperluas pemasaran yaitu melalui terobosan pasar dan pameran lokal dan internasional. Industri batik tradisional merupakan usaha home industry yang mengandung nilai ketahanan budaya yang strategis dilihat dari sudut integrasi antar etnis. Masalah serius yang menghadang industri batik tradisional antara lain adalah yang menyangkut desain produk yang monoton alias kurang kreatif. Demikian juga dalam penggunaan bahan baku dan pewarna belum banyak variasi. Kurangnya kreativitas yang stagnasi produk disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor usia pengusaha yang relatif sudah tua, faktor minimnya pengetahuan tentang disain, dan takut rugi bila membuat produk kreasi baru.

Pemerintah harus mampu mendorong dan menyegarkan motif dan selera estetik para pengrajin batik tradisional. Juga Memperkenalkan tenik pengerjaan yang lebih efisien dan efektif serta penggunaan alat bantu produksi yang mampu meminimalisir cacat produksi. Pentingnya meningkatkan diversifikasi produk batik dalam berbagai fungsi sehingga tidak monoton sambil mempertimbangkan kebutuhan pasar. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah bekerja sama dengan pengrajin bordir, pengrajin tas dompet kulit, pengrajin kayu, dan lain-lain. Untuk memanfaatkan sisa kain sebagai bahan pendukung pembuatan souvenir yang memiliki ciri khas daerah maupun membatik dengan medium non kain.


*) Budayawan, Dosen STIA Bagasasi Bandung

Tidak ada komentar: