Senin, 25 Februari 2013

Totalitas Kerja Birokrasi Ibukota

Daily Investor| 20 Februari 2013

          
        Perombakan pejabat Provinsi DKI Jakarta yang dilakukan oleh Gubernur Joko Widodo ( Jokowi ) disambut positif oleh publik. Meskipun ada resistensi dari sementara pihak, perombakan itu sebaiknya terus dilakukan demi terwujudnya totalitas kerja birokrasi ibukota.             
      Gaya kepemimpinan Jokowi yang merakyat dan menekankan aspek gerak cepat membutuhkan postur birokrasi yang andal dan suka melayani. Sayangnya, postur birokrasi saat ini tampak kedodoran menghadapi gaya kepemimpinan diatas. Pentingnya diberlakukan reward dan punishment bagi birokrasi secara tegas dan ketat. Birokrasi yang notabene adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) itu juga harus dihadapkan sangsi yang keras dan tanpa pandang bulu jika kinerjanya buruk. Dengan demikian tindakan mutasi hingga sanksi pemecatan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat dimungkinkan bagi birokrasi. Betapa konyolnya jika negara terus menggaji tinggi kepada birokrasi yang pemalas dan kerja seenaknya.
       Ada baiknya semua pihak mencermati penelitian yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC)  yang menempatkan kualitas birokrasi Indonesia rangking ke dua terburuk di Asia setelah India. Betapa menyedihkan, kualitas birokrasi di negeri ini kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
        Para birokrat sebaiknya menyadari bahwa gaya kepemimpinan Jokowi pada hakekatnya adalah New Deal ( tawaran baru ) yang lebih konkrit, realistis dan egaliter kepada rakyat. New Deal bukanlah slogan politik picisan. Tetapi merupakan langkah terobosan yang cerdas dan progresif guna mengatasi krisis dan secara terus menerus dikomunikasikan dengan seluruh elemen rakyat.
         Meskipun dengan skala yang berbeda, namun boleh dikata New Deal Jokowi mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Franklin Delano Roosevelt saat mengatasi The Great Depression yang melanda bangsa Amerika Serikat. Dengan New Deal itu Roosevelt bisa mengatasi ledakan pengangguran dengan berbagai program pembangunan infrastruktur baru. Salah satu program terbesar dalam New Deal adalah Tennessee Valley Authority, yakni program untuk merehabilitasi kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan. Untuk menjalankan New Deal Roosevelt selalu berkomunikasi secara intens dan terus menerus dengan rakyatnya melalui forum interaktif yang  disebut fireside chat atau obrolan santai di samping perapian. Forum semacam itu untuk menjelaskan apa saja yang akan dilakukan pemerintahannya tanpa ada dusta. Dengan forum itu dia bisa memompa semangat dan berbicara dari hati ke hati dengan rakyatnya.
         Untuk mewujudkan postur birokrasi yang efektif, mau tidak mau harus dibuat sistem pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap birokrat. Apalagi ada masalah besar yang saat ini menjadi bom waktu terkait dengan anggaran belanja negara yang sebagian besar ludes untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Kondisi diatas mestinya segera ditindaklanjuti dengan restrukturisasi organisasi PNS dengan jalan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sayangnya, reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah pusat selama ini tidak fokus pada kinerja dan efektivitas.
         Menurut  pakar daya saing pemerintahan Mechael Porter pentingnya competitive advantage bagi kinerja perekonomian suatu daerah.  Negara maju seperti Amerika Serikat saja telah lama memberikan perhatian terhadap pentingnya kinerja detail dari birokrasi Pemda. Itulah sebabnya pemerintah Amerika telah menerapkan National Performance Review, yakni kebijakan yang memfokuskan pada penilaian dan evaluasi sampai seberapa jauh capaian kinerja birokrasi pemerintah daerah utamanya masalah manajemen resources.
          Anggapan sementara orang yang menyatakan bahwa birokrasi kebal PHK sudah saatnya dibalik. Birokrat yang hanya menerima gaji buta dan kerja seenaknya harus segera dinonaktifkan alias di PHK. Selain itu dengan pesatnya konvergensi TIK, maka satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) juga harus dibuat seramping mungkin. Patut dicontoh mekanisme PHK bagi PNS yang pernah dilakukan oleh  Kementerian Keuangan yang  telah memberhentikan ribuan PNS karena masalah integritas dan kompetensi.
          Saatnya para kepala daerah menilai kinerja setiap birokratnya untuk setiap semester dengan ukuran kompetensi yang adil dan obyektif. Dengan demikian bagi birokrat yang ukuran kompetensinya tidak sesuai bisa langsung di PHK. Sungguh ironis jika pada era perkembangan konvergensi teknologi sekarang ini kinerja birokrat belum mampu melayani masyarakat secara cepat. Celakanya lagi, daya kreatifitas dan inovasi birokrat semakin tumpul. Sehingga hampir semua indeks daya saing negeri ini tetap bercokol di papan bawah.  
         Mekanisme dan sistem PHK bagi birokrat sebaiknya diintegrasikan dengan ukuran beban kerja atau pembobotan pekerjaan. Pentingnya menetapkan ukuran suatu pekerjaan bagi birokrat seperti halnya para karyawan swasta yang bekerja keras dan ketat selama 8 jam kerja sehari. Mestinya aspek profesionalitas birokrasi yang menyangkut remunerasi harus terukur secara obyektif dengan standardisasi yang berlaku secara adil. Hingga saat ini bobot atau beban kerja birokrat masih sangat ringan jika diukur dengan metode pembobotan pekerjaan. Bahkan, dengan standar dan metoda domain of knowledge and skill yang berlaku secara internasional, bobot kerjanya masih sangat rendah. Sudah begitu birokrat sering menikmati libur cuti bersama terkait dengan banyaknya hari besar yang ditetapkan di negeri ini.
         Sikap tegas Gubernur Jokowi terkait dengan tindakan mutasi pejabat menimbulkan resistensi oleh pihak yang selama ini menikmati penghasilan ekstra yang jumlahnya luar biasa. Tak bisa dimungkiri, selain penghasilan resmi seperti yang tertuang dalam struk golongan gaji, birokrasi juga memiliki pundi-pundi uang dalam jumlah yang besar. Pundi-pundi itu dalam bentuk honor ekstra, upah pungut, komisi serta berbagai jenis pungutan liar yang tersembunyi rapi. Honor ekstra dan upah pungut  merupakan pundi uang birokrasi yang paling berarti. Honor ekstra semacam itu sudah menggurita bertahun-tahun hingga ke eselon paling bawah. Honor ekstra berasal dari berbagai kegiatan yang dikarang-karang dan sering kali tidak berhubungan secara langsung dengan peningkatan pelayanan kepada publik. Sedangkan kegiatan upah pungut seperti upah pungut pajak daerah dan sejenisnya. 

*) Dosen STIA Bagasasi  Bandung,  Doktor Administrasi UPI Bandung

Tidak ada komentar: