Senin, 25 Februari 2013

Integritas Pajak Daerah

Koran Jakarta |  14 Februari 2013

     
Pengalihan pajak dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan desentralisasi fiskal. Sayangnya, hal diatas sangat rentan terhadap kebocoran pajak dan modus korupsi. Hingga awal 2013 sudah ada 105 Kabupaten/Kota yang sudah mengambil alih pajaknya dan tidak lagi menyetorkan ke pemerintah pusat dengan nilai realisasi sebesar Rp 4,5 triliun. Sedangkan yang belum melakukan pengalihan pajak tercatat sebanyak 369 kabupaten/kota.
      Implikasi dari pengalihan adalah pendapatan pemerintah pusat berkurang hingga Rp 8 triliun per tahun dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Sekedar catatan, PBB-P2 yang dialihkan ke pemda adalah pajak perkotaan dan pedesaan, sedangkan untuk pajak perkebunan, perhutanan dan pertambangan masih dipegang Ditjen Pajak. 
     Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mestinya bisa mewujudkan integritas pajak daerah. Nyatanya peraturan tersebut justru menimbulkan dilematika. Kecenderungan pemerintah daerah yang mematok batas pemungutan pajak dan retribusi dengan jumlah maksimal telah mengganggu iklim berinvestasi. Selain itu rakyat juga akan semakin terbebani karena PDRD bisa menimbulkan pungutan ganda atas barang yang sama atau sejenis.  
      Pemerintah hendaknya jangan menutup mata sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terhadap manfaat langsung membayar pajak daerah. Bahkan, rakyat sering menggugat adanya jenis pajak yang tidak relevan antara nama, makna dan fungsinya. Sebagai contohnya Pajak Penerangan Jalan Umum ( PPJU ) yang setiap bulannya dipungut langsung dari rekening listrik setiap bulannya. Ironisnya, pembayar Pajak PJU banyak yang tidak menikmati penerangan jalan. Jalan-jalan di daerahnya tetap saja gelap gulita sepanjang malam. Inilah salah satu contoh paradoks pajak di daerah yang mengusik rasa keadilan.  Banyak kabupaten dan kota yang pendapatan Asli Daerah (PAD) mengandalkan PPJU. Penerimaan PPJU cukup besar hingga mencapai puluhan milyar rupiah dilain pihak begitu kecilnya alokasi dana untuk memasang infrastruktur penerangan jalan umum sehingga banyak jalan dan fasilitas publik yang gelap gulita.
      Pada prinsipnya UU PDRD mempunyai tiga tujuan pokok, yakni; pertama, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, peningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. Dan ketiga, memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk mencapai tujuan diatas perlu mengefektifkan kinerja aparat perpajakan di daerah. Tekad jajaran Dirjen Pajak untuk menjalankan reformasi jilid dua sebaiknya mencakup prosedur pemungutan pajak daerah. Apalagi, KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) telah meminta Direktorat Pajak untuk merevisi upah pungut pajak daerah yang selama ini menjadi ajang korupsi.
      Prosedur pemungutan PBB-P2 pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama hingga saat ini belum efektif. Tidak jarang wajib pajak harus datang berulangkali untuk mengurus kewajiban pajaknya. Bahkan data-data PBB-P2 yang disalurkan kepada pihak Desa atau Kelurahan banyak yang hilang. Hingga saat ini Standard Operating Procedure yang diterapkan masih belum optimal. Padahal, dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi mestinya bisa mengefektifkan pelayanan PBB-P2. Masih terjadi mismanajemen dalam pendataan data wajib pajak. Apalagi SISMIOP alias Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak  belum bisa menangani penatausahaan PBB-P2 secara detail.
      Untuk itu pentingnya segera membentuk sistem basis data atribut PBB-P2 yang terintegrasi dengan SISMIOP dan sistem basis data spasial. Selain itu juga pentingnya melakukan perbaikan teknis  yang terkait dengan transaksi data secara langsung antara WP dengan petugas pajak. Yaitu prosedur pendataan obyek pajak dan penyampaian SPPT kepada Wajib Pajak. Prosedur lain yang terkait erat dengan dua prosedur tersebut, yaitu prosedur penilaian obyek pajak dan penetapan PBB-P2.
      Total anggaran yang dialokasikan kepada Ditjen Pajak untuk keperluan operasional dan pemungutan sudah cukup besar jumlahnya. Mestinya jumlah tersebut sudah bisa mentransformasikan budaya kerja, meperbaiki integritas dan kompetensi serta menumbuhkan etos kerja pegawai pajak di daerah. Dibutuhkan kinerja institusi perpajakan daerah yang mampu menghadapi tantangan kedepan. Pengembangan kompetensi praktisi perpajakan hendaknya tidak berhenti kepada pengadaan atau pembelian perangkat teknologi informasi. Sudah saatnya institusi perpajakan utamanya yang ada di daerah memperbaiki integritas dan merubah budaya kerja secara mendasar. Selain itu juga harus mampu menggali potensi pajak yang masih tersembunyi dan mampu mengidentifikasikan berbagai bentuk ekonomi bawah tanah serta mencegah timbulnya berbagai modus pengemplangan pajak.
      Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa integritas pegawai pajak di daerah masih memprihatinkan. Meskipun ada sistem mutasi secara periodik bagi pegawai pajak di kantor pajak pratama, tetapi indeks integritas dan beban kerja atau pembobotan pekerjaan pegawai pada saat ini jika diukur dengan metode praktis untuk menetapkan ukuran suatu pekerjaan hasilnya masih belum memuaskan.
      Masih ada pegawai pajak yang mencari penghasilan sampingan dalam menjalankan tugasnya. Pentingnya langkah pembersihan dilingkungan Dirjen Pajak secara cepat dan sistemik. Karena penyelewengan pajak jumlahnya masih cukup banyak. Dilain pihak aparat yang mengusut kasus perpajakan sangat terbatas sehingga prosesnya lambat. Banyaknya kasus penyelewengan yang terkait dengan setoran pajak di daerah-daerah sebaiknya ditanggulangi dengan audit sistem teknologi informasi penyimpan data setoran pajak.
       Bermacam stigma negatif masih saja menempel pada sistem perpajakan daerah. Target ideal penerimaan pajak daerah sulit terwujud jika dilakukan secara instan dengan cara pengadaan perangkat otomatisasi serta memakai jurus tangan besi. Penarikan pajak akan efektif jika integritas praktisi perpajakan daerah diperbaiki secara total. Pada umumnya kita semua sudah mengerti apa arti kata integritas. Istilah tersebut menurut kamus berarti ketulusan hati dan kejujuran. Juga dijelaskan bahwa integrity itu berarti uncompromising adherance to a code of moral yang artinya dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap kode moral atau etik. Dimasa sekarang ini masalah integritas menjadi teramat penting bagi praktisi perpajakan. Seluruh praktisi perpajakan mestinya memahami betul apa makna integritas.
      Dalam konteks menggali potensi perpajakan makna integritas bisa dianalogikan dengan "memegang seekor burung". Bila burung digenggam dengan tangan besi bisa mati, namun bila digenggam oleh tangan lembut ( longgar ) bisa lepas. Integritas petugas pajak pada saat ini juga memiliki implikasi ketulusan, kejujuran dan fleksibilitas waktu pelayanan bagi wajib pajak. Namun tidak kenal kompromi bagi pengemplang pajak sekalipun ada pihak-pihak yang gencar menuntut adanya tax amnesty ( pengampunan pajak ) bagi pengemplang pajak.
      Implikasi lain dari buah integritas yang dapat dirasakan secara langsung adalah menyangkut waktu dan tempat pelayanan wajib pajak yang dibuat seefektif dan sepraktis mungkin. Pajak bisa dibayarkan kapan saja dan dimana saja dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan. Makna integritas bagi petugas pajak juga akan membuahkan sikap yang amat teliti dalam melacak setiap rupiah yang merupakan obyek pajak. Pengalaman Internasional Revenue Service ( IRS) yang telah meninggalkan praktik tangan besi untuk menghadapi wajib pajak di USA melalui program Offer to Compromise ( Tawaran untuk Kompromi ) pada prinsipnya merupakan perwujudan dari menguatnya integritas institusi. Namun, penawaran tersebut dijalankan dengan sangat selektif  dan prudential bagi pembayar pajak dengan kriteria yang adil dan tidak merusak potensi pajak yang baru.

*) Dosen STIA Bagasasi  Bandung, Doktor Administrasi Pendidikan UPI Bandung
  

Tidak ada komentar: