Minggu, 20 November 2011

Ketahanan Pangan dan Budaya yang Terabaikan

Oleh Harjoko Sangganagara
| Dimuat Investor Daily Kamis, 3 November 2011 | 8:55

Dunia mulai diadang oleh krisis pangan. Sayangnya, belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan. Mestinya ada terobosan yang esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan kepada rakyat secara gratis.

Hal lain yang perlu dilakukan yakni mendayagunakan pekarangan rakyat yang masih kosong dan lahan-lahan tidur yang tidak produktif. Selain itu, pentingnya inovasi daerah tentang teknologi tepat guna, yakni mesin penepung. Ini akan sangat membantu peningkatan produksi tepung yang berbasis tanaman lokal, seperti singkong, ubi jalar, garut, dan sebagainya.

Dengan demikian ketergantungan terhadap tepung gandum bisa berkurang. Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) mestinya juga menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari GP3K cukup besar.

BUMN saja bersedia mengucurkan hingga Rp 1,5 triliun pada 2011. Ketersediaan dana tersebut mestinya sebagian bisa dipakai untuk membangun infrastruktur untuk memproduksi benih yang bermutu.

Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana yang sangat besar, seperti halnya rencana mendirikan BUMN pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu yang cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara kebutuhan perut rakyat tidak bisa menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek tersebut, jika tanpa penataan corporate farming yang baik, hal itu justru akan mengakibatkan kegagalan.

Pemuliaan Benih Tanaman
Dalam mengantisipasi krisis pangan ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan, yakni budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayangnya, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas oleh kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya harus digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai serta pekarangan rumah rakyat di Pulau Jawa yang belum tergarap secara baik. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan yang luar biasa jika kondisinya berkecukupan benih.

Sekadar gambaran, di Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbanyak di negeri ini, masih ada sekitar 400 ribu hektare lahan kritis yang potensial untuk ditanami tanaman pangan. Kemudian juga masih banyak pekarangan rakyat yang dibiarkan kosong. Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah menyediakan benih unggul dan mendorong budaya pemuliaan benih.

Sebagai negara agraris Indonesia sudah seharusnya memiliki kemajuan dalam rekayasa perbenihan. Kemajuan itu ditandai dengan kemampuan pemerintah menyediakan secara gratis benih unggul apa saja kepada rakyat luas. Atau setidak-tidaknya dengan harga yang murah.

Dengan langkah itu maka program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya, hingga kini masalah benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini Indonesia masih sangat tergantung pada impor benih, seperti misalnya padi hibrida dari Tiongkok. Sudah waktunya pemerintah daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga.

Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong melompong karena kesulitan mendapatkan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan rakyat akan menjadi produktif.

Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara pemuliaan benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi saja, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Sejarah telah mencatat bahwa rakyat biasa pun mampu melakukan pemuliaan benih. Seperti contohnya, Pak Mukibat yang berhasil menemukan benih singkong unggul. Apalagi nenek moyang kita juga mewariskan budaya pemuliaan benih.

Tata kelola dan program pemuliaan benih hingga saat ini masih memprihatinkan. Akibatnya, ketersediaan benih unggul tanaman secara nasional maupun daerah sering kedodoran pada musim tanam. Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah yang tidak berfungsi secara normal karena salah urus.

Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di beberapa daerah, seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura milik daerah bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasil pemuliaannya bisa disebarkan kepada masyarakat. Namun kenyataannya balai semacam itu kini kondisinya kurang produktif dan SDM-nya hanya duduk di belakang meja.

Bentuk Corporate Farming
Fakta menunjukkan, sebagian besar kebutuhan benih, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, tidak bisa terpenuhi dengan baik. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Brasil adalah contoh negera yang sukses dalam program seperti itu.

Di Brasil dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif yang cukup besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi pemuliaan benih dengan teknologi transgenik pada saat ini perkembangannya sangat pesat. Sementara usaha benih secara konvensional berjalan lambat akibat biaya produksi yang cukup tinggi.

Bangsa Indonesia hendaknya serius menghadapi masalah benih. Apalagi data menunjukkan setiap tahun petani padi hanya menggunakan sekitar 40% benih bersertifikat dari kebutuhan total nasional.

Melihat kondisi di atas mestinya fokus sektor usaha pertanian dari pemerintah pusat hingga daerah adalah membentuk corporate farming yang dilandasi oleh usaha pemuliaan benih secara efektif. Pemerintah daerah sebaiknya membuat terobosan dan membenahi tempat atau balai-balai perbenihan. Budaya pemuliaan benih juga harus dibangkitkan kembali di tengah masyarakat.

Penulis adalah dosen STIA Bagasasi Bandung

Tidak ada komentar: