Jumat, 20 Maret 2009

Masalah Kependudukan di Jabar, bom waktu yang bisa menghancurkan .....


Membenahi Tata Kelola Kependudukan

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Bermacam kegiatan pembangunan selalu membutuhkan dukungan berupa sistem informasi kependudukan yang andal. Agar kegiatan itu tepat sasaran, bernilai tambah serta mengurangi risiko kegagalan. Sayangnya, tata kelola kependudukan di berbagai daerah hingga kini masih amburadul sehingga tidak menguntungkan rakyat dan bisa menyesatkan arah dan strategi pembangunan.

Kondisinya semakin memprihatinkan dengan masih maraknya komersialisasi dokumen kependudukan oleh para calo di tingkat kelurahan hingga kantor dinas. Padahal, pejabat negara sering menyatakan pentingnya pelayanan kependudukan kepada rakyat secara mudah dan gratis. Nyatanya, kondisi di lapangan tidak seindah perkataan pejabat. Rakyat masih merasakan buruknya pelayanan kependudukan. Pembenahan tata kelola kependudukan tidak bisa terlepas dari beberapa aspek, antara lain aspek landasan hukum, kelembagaan dan SDM, penerapan teknologi, registrasi dan aspek pengelolaan data penduduk. Hingga kini beberapa aspek diatas masih bersifat parsial sehingga hasilnya tidak optimal. Seperti misalnya adanya Perda kota Bandung Nomor 22 tahun 2008 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan. Namun, Perda tersebut belum bisa memuaskan rakyat secepatnya karena adanya kepincangan dari aspek-aspek diatas. Terutama kepincangan yang menyangkut infrastruktur sistem informasi kependudukan.
Pentingnya pemerintah daerah membenahi tata kelola kependudukan dalam waktu yang singkat dalam koridor pelayanan elektronik atau SIAK ( Sistem Informasi Administrasi Kependudukan ). Sehingga rakyat bisa segera memetik buah perda kependudukan diatas dalam bentuk konkrit berupa pelayanan, pembuatan dan penyerahan dokumen kependudukan secara cepat dan gratis. Yang meliputi KTP, Kartu Keluaraga, Akta Kelahiran dan Akta Kematian. Selain itu infrastruktur kependudukan atau SIAK sebagai sistem informasi manajemen kependudukan berbasis internet mestinya bisa memberi kesempatan kepada rakyat luas untuk bisa mengakses dokumen kependudukan secara cepat dan mudah. Selama ini boleh dikatakan bahwa birokrasi pemerintah daerah yang dibantu oleh para calo begitu leluasa mengkomersialisasikan dokumen kependudukan. Pungutan liar dan suap dengan berbagai dalih selalu dihadapi oleh rakyat. Ironisnya, pihak birokrat juga sering kalang kabut ketika diminta data kependudukan yang akurat saat terjadi kondisi darurat. Tak bisa dimungkiri, rendahnya tingkat reliabilitas atau keandalan terhadap data kependudukan bisa menyebabkan kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan maupun kekeliruan dalam mengantisipasi gejolak sosial. Tata kelola kependudukan yang baik akan menghasilkan data dasar (baseline data) dan mudah untuk dimutakhirkan secara berkelanjutan dengan pelayanan harian pendaftaran penduduk (pindah alamat, pencatatan biodata, perubahan status kependudukan, permohonan KTP dan Kartu Keluarga, dst) serta dengan pelayanan catatan sipil (kelahiran, perkawinan, kematian, dst). Begitu juga untuk keperluan daftar pemilih pada peristiwa Pilkada atau Pemilu.
Penerapan infrastruktur teknologi untuk mengelola kependudukan hendaknya memenuhi prinsip tepat guna (appropriate), memiliki umur operasi yang panjang dan tidak mudah face out. Selain itu infrastruktur harus efisien alias tidak over investment, mudah dioperasionalkan (user friendly), murah pemeliharaannya, serta dengan support yang selalu tersedia. Dengan demikian aspek material untuk penerbitan dokumen kependudukan, yaitu blangko KTP, Kartu Keluarga, Buku Register/Akta dan Kutipan Akta-akta Catatan Sipil juga bisa lancar dan terjamin kualitas keamanannya dalam mendukung nilai serta keaslian dokumen. Selain itu pentingnya menerapkan security feature bagi dokumen kependudukan untuk mengatasi tantangan masa depan dan terwujudnya NIK Nasional yang unik disertai sidik jari atau photo face recognition (biometrik). Karena bisa saja dokumen kependudukan yang ditemukan menggunakan blangko ber-security sesuai spesifikasi dari pemerintah (asli), namun data informasi yang tertera di dalamnya serta keabsahan penandatangan dokumen ternyata palsu (tidak valid) karena NIK yang tertera tidak valid.
Salah satu contoh yang memprihatinkan akibat buruknya tata kelola kependudukan adalah banyaknya anak-anak yang tidak memiliki akte kelahiran. Padahal, akte kelahiran merupakan hak dasar warga negara. Sangat memilukan hati melihat fakta bahwa baru sekitar 40 persen anak di Indonesia yang sudah memiliki akta kelahiran. Itulah sebabnya UNICEF yang merupakan badan PBB tak jemu-jemunya menyerukan bahwa rendahnya pencatatan kelahiran di Indonesia sangat rawan terhadap perlindungan anak. Padahal pencatatan kelahiran merupakan hak asasi yang sangat fundamental bagi setiap anak. Anak yang lahir tidak tercatat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena anak jadi tidak memiliki identitas nasional. Selain itu membuat anak rawan terhadap penganiayaan, eksploitasi, dan diskriminasi. Negeri ini mestinya malu karena ditempatkan sebagai salah satu negara dari 20 negara dengan cakupan pencatatan kelahiran terendah di dunia. Ironisnya, Perda kota Bandung Nomor 22 tahun 2008 masih seperti barang pajangan saja. Para calo dan birokrat nakal masih menganggap Perda tersebut seperti angin lalu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk membuat secarik Akte Kelahiran di dinas kependudukan kota Bandung para calo masih merajalela. Rakyat masih mengeluarkan biaya yang sangat mahal hingga ratusan ribu rupiah untuk mendapatkan haknya.
Kemajuan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) telah memberikan kemudahan dalam mengelola aspek kependudukan. Berbagai varian kependudukan yang berubah secara cepat bisa diakomodasikan dalam sistem aplikasi yang memiliki tingkat akurasi dan keamanan yang tinggi. Sudah saatnya pemerintah daerah meningkatkan reliabilitas infrastruktur sistem informasi kependudukan. Sehingga setiap saat dalam kondisi apapun data kependudukan bisa diakses dan diperbaharui secara cepat dan cermat. Dalam era konvergensi TIK sekarang ini birokrasi pemerintah daerah seharusnya tidak lagi kalang kabut dalam mengelola penduduk miskin, penyaluran bantuan bencana alam, dana BOS, Askeskin, dan lain-lain. Begitupun saat ada peristiwa penentuan DPT untuk Pemilu atau Pilkada. Beberapa Pemda telah atau sedang merencanakan pengadaan infrastruktur sistem informasi kependudukan. Dalam hal pengadaan itu pihak Pemda hendaknya tidak tertipu atau terkecoh oleh spesifikasi dan unjuk kerja yang diberikan oleh pihak rekanan dan kontraktor. Oleh sebab itu departemen terkait harus secepatnya mengeluarkan petunjuk teknis berupa standarisasi, sistem audit dan ketentuan pengadaan infrastruktur. Sehingga tidak ada lagi praktik mark-up dan tipuan spesifikasi dan performansi aplikasi. Tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa keberhasilan pelayanan kependudukan bagi Pemda tolok ukurnya adalah peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan aspek kependudukan yang mencakup kegiatan menyimpan, mengolah, menemukan kembali dan membuat laporan berbagai jenis data atau informasi mengenai kependudukan secara online.

*) Budayawan,Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
**) Artikel diatas telah dimuat di harian KOMPAS, tgl 20 Maret 2009

Tidak ada komentar: