Kamis, 18 Juni 2009

Membenahi Kedokteran Wisata di Jawa Barat


Potensi wisata di Provinsi Jawa Barat diwarnai dengan wisata petualangan yang menyerempet bahaya serta membutuhkan kemampuan fisik dan mental yang prima dari para wisatawan. Sehingga berbagai risiko kecelakaan dan serangan penyakit mesti diantisipasi secara baik. Pentingnya membenahi kedokteran wisata untuk mendukung kegiatan wisata alam yang berisiko tinggi alias berbahaya seperti surfing, diving, arung jeram, buggy, jetski, dan rafting adventure.

Membenahi kedokteran wisata di Jabar juga bisa meningkatkan reputasi sekaligus akan mendongkrak pemasaran industri wisata. Selama ini para wisatawan masih kawatir jika melakukan aktivitas petualangan karena masih buruknya berbagai aspek kedokteran wisata. Sebetulnya, para wisatawan dunia telah mengetahui dari berbagai sumber tentang kehebatan dan eksotisme beberapa obyek wisata alam di kawasan sepanjang pantai Jawa Barat bagian selatan. Namun, mereka masih ragu-ragu untuk mendatangi karena berbagai hal, antara lain faktor kedokteran wisata yang belum memadai. Mereka kawatir jika terjadi kecelakaan atau gangguan kesehatan tidak bisa tertangani secara baik. Padahal, kawasan Jabar Selatan yang boleh dikatakan sebagai surga wisata bahari belum berhasil menyedot devisa yang berarti. Ada baiknya kita membandingkan antara obyek wisata bahari Jabar selatan seperti Batu Karas di Kabupaten Ciamis dengan obyek wisata bahari di sekitar Manado ( Sulawesi Utara ) yang angka kunjungan wisatanya jauh berbeda. Karena otoritas industri wisata disana telah menyiapkan aspek kedokteran wisata secara baik. Dari infrastruktur, SDM hingga fungsi prevensi sangat diperhatikan. Bahkan otoritas pariwisata di Manado telah melakukan kontak dan kerjasama dengan klinik-klinik perjalanan di benua Eropa dan Amerika. Serta memberikan informasi yang akurat dan kondisi terkini. Para wisatawan yang mengalami kecelakaan atau terserang penyakit akan mendapat penanganan yang cepat dan tepat dari praktisi kedokteran wisata di sana. Bahkan, jika ada wisatawan yang mengalami decompression sickness sewaktu diving, telah tersedia chamber atau ruang hiperbarik untuk menormalkan kondisi pasien. Bandingkan jika kecelakaan serupa terjadi di Batu Karas atau obyek wisata lain di Jabar Selatan. Tentunya para wisatawan akan kebingungan mengatasi masalahnya.

Membenahi kedokteran wisata di Jabar juga terkait dengan informasi dan advokasi yang lengkap terhadap daerah yang akan dikunjungi wisatawan. Kedokteran wisata atau travel medicine di negara-negara maju telah berkembang pesat guna melayani jutaan warganegara yang akan melakukan perjalanan wisata. Di Amerika Serikat ada badan khusus yang terus menerus mempublikasikan Health Information for International Travel. Pada prinsipnya, fungsi kedokteran wisata dibagi menjadi dua hal yakni pelayanan prawisata dan pascawisata. Dalam hal pelayanan prawisata lebih banyak unsur informasi, konsultasi, dan pemeriksaan risiko. Terutama yang berhubungan dengan peningkatan risiko terserang penyakit dan terkena infeksi di tempat wisata. Masalah penyakit infeksi yang prosentasenya semakin tinggi telah menjadi pokok bahasan kedokteran wisata di negara maju. Penelitian menunjukkan bahwa jumlah para wisatawan dari negara maju sekitar sepertiganya mengalami sakit saat berwisata ke daerah tropis. Lebih jauh data menunjukkan bahwa setiap dua minggu perjalanan mereka akan tersita rata-rata tiga hari karena sakit.

Tak pelak lagi, biro atau klinik kedokteran wisata di negara maju terus diserbu oleh calon wisatawan. Klinik tersebut juga sangat membutuhkan partner di negara tujuan wisata. Peluang ini mestinya segera ditangkap oleh praktisi atau lembaga kesehatan di Jabar. Sekedar catatan, bahwa lingkup kedokteran wisata cukup luas serta melibatkan berbagai disiplin ilmu termasuk teknologi informasi dan komunikasi sebagai media online. Betapa pentingnya infrastruktur teknologi informasi yang mampu menjelaskan perihal daerah endemis seperti malaria. Sehingga para wisatawan sebelumnya sudah mengantisipasi antara lain dengan meminum obat antimalaria. Kedokteran wisata dalam situasi dunia yang dicekam oleh wabah flu babi sekarang ini juga memiliki peran yang amat penting. Provinsi Jawa Barat harus bersungguh-sungguh membenahi infrastruktur kedokteran wisata beserta SDM yang berkompeten. Pembenahan juga harus ditunjang dengan infrastruktur modern untuk kedokteran wisata berupa klinik dan tempat karantina di bandara, pelabuhan, dan hotel di daerah tujuan wisata (DTW). Sayangnya, eksistensi kedokteran wisata di daerah tujuan wisata Provinsi Jawa Barat masih belum menggembirakan. Karena baru sebatas memberikan pelayanan kuratif kepada para wisatawan. Belum banyak yang menyelenggarakan pelayanan untuk tujuan promotif dan preventif bagi wisatawan yang akan melakukan perjalanan. Otoritas pariwisata bersama dinas kesehatan provinsi Jabar mestinya mengadopsi agenda dan cetak biru tentang kedokteran wisata dari negara maju. Juga pentingnya mempublikasikan pembenahan kedokteran wisata untuk mendukung paket perjalanan wisata lewat berbagai media dan internet. Apalagi, bidang kedokteran wisata telah mendapat perhatian sangat serius di negara-negara maju. Kedokteran wisata telah berkembang menjadi disiplin ilmu yang kompleks, karena adanya varian penyakit yang terus menerus. Dilain pihak semakin melonjaknya jumlah wisatawan dunia dari tahun ketahun. Tuntutan menyangkut pelayanan yang paripurna terhadap wisatawan semakin kuat. Hal itu direspon oleh pemerintahan negara-negara maju untuk meningkatan mutu para dokter di bidang tersebut. Perkembangan teknologi informasi juga memberikan kemudahan bagi warga dunia untuk mengakses lewat internet tentang berbagai aspek kedokteran wisata beserta kasus-kasus aktual terkait daerah tujuan wisata. Sayangnya, gambaran tentang aspek kedokteran wisata yang terkait dengan daerah tujuan wisata di Jawa Barat masih sangat kurang. Pantas saja, para wisatawan dunia belum berketetapan hati untuk mengunjungi sepotong surga yang bernama bumi Parahyangan.

*) HARJOKO SANGGANAGARA, Anggota DPRD Provinsi Jabar, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

**)Artikel telah dimuat di harian KOMPAS, Jawa Barat, 15 Mei 2009

Tidak ada komentar: