Jumat, 20 Maret 2009

Ayo, Bebaskan Budaya Sunda dari Penindasan Struktural !!!


Menyikapi Estetika Jaipongan Secara Arif

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
*) Budayawan, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung


Dalam situasi krisis sekarang ini industri kreatif atau industi budaya mestinya dijadikan katup penyelamat, sumber motifasi dan hiburan segar bagi masyarakat. Ironisnya, komitmen Gubernur Jawa Barat terhadap seni budaya Sunda justru sangat tipis dan tidak arif. Hal itu terlihat dari tindakan Gubernur Ahmad Heryawan baru-baru ini yang mengekang seni tari tradisi Jaipongan. Gubernur menuntut agar busana penari jaipongan tertutup rapat sehingga tidak terlihat pundak dan lehernya. Selain itu, unsur 3G (Goyang,Geol,Gitek ) yang menjadi pesona sekaligus merupakan roh tarian Jaipongan supaya diperhalus. Jika tuntutan Gubernur itu dipenuhi, bisa-bisa roh tarian Jaipongan akan hilang. Sehingga seni tari tradisi itu akan berubah menjadi tarian Pocong. Merubah olah gerak dan menutup rapat busana penari Jaipongan bisa-bisa seperti pocong yang geraknya serba terbatas.
Sebelum memvonis dan mengecam tari pergaulan masyarakat Jawa Barat yang sekaligus menjadi aset Pasundan itu, mestinya Gubernur mencoba dahulu ngibing Jaipongan bersama masyarakat. Lewat ngibing itulah Gubernur bisa melihat dan merasakan estetika Jaipongan sehingga bisa bersikap arif dan toleran terhadap seni budaya. Memahami estetika juga akan menepis sikap paranoid terhadap penari Jaipongan. Penting untuk direnungkan pendapat mengenai estetika yang dirumuskan oleh Clive Bell, bahwa keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang kemudian berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.
Tak bisa dimungkiri, biasanya penari Jaipongan itu rata-rata masih muda dan berparas cantik. Sebagai suatu bentuk performance art, tari Jaipongan menjadikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Jaipongan tampil lebih menggetarkan sukma. Nilai estetis tari Jaipongan akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan baik sehinga muncul ungkapan tari yang memesona. Standarisasi busana dan rias pada tari Jaipongan mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya pertunjukan sehingga tidak perlu dirubah menjadi serba tertutup rapat.
Dari kacamata Etnokoreologi, Jaipongan merupakan disiplin ilmu tari etnis. Yang berbasis pola gerak tari tradisi yang sudah ada sebelumnya seperti Kliningan, Bajidoran dan Ketuk Tilu. Pola gerak seperti bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas sangat mewarnai kreasi Jaipongan selanjutnya. Pada awalnya struktur tari Jaipongan sangat sederhana seperti halnya tari Ketuk Tilu yang merupakan tari pergaulan. Karena kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan. Kreasi Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari Daun Pulus, Keser, Bojong dan Rendeng Bojong yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan.
Mestinya, para pejabat pemerintah daerah Jawa Barat sekarang ini berterima kasih kepada sang kreator yang telah berhasil mentransformasikan seni tari etnik seperti Ketuk Tilu, Ronggeng, Bajidoran, dan lain-lain menjadi versi Jaipongan yang sangat popular dan aplikatif untuk segala usia dan bermacam etnik. Sejak awal delapan puluhan Jaipongan telah menjadi mesin gairah dan pemompa semangat rakyat. Semua kalangan juga bisa mendapat kesempatan dan bisa mereguk kepuasan gerak tari Jaipongan. Selain itu, dari aspek ekonomi banyak orang yang mendapatkan penghasilan dengan adanya pentas Jaipongan. Banyak grup tari yang bermunculan, sinden-penari, para pedagang, bahkan juga banyak pihak lain yang kecipratan rezeki karena pertunjukan Jaipongan. Sungguh ironis dan menyedihkan, pada era sekarang ini Jaipongan justru semakin meredup. Jaipongan semakin teraleniasi dan tertindas di kampung halamannya sendiri.

Tidak ada komentar: