Senin, 24 November 2008

Memperjuangkan kesejahteraan kaum penglaju yang terpaksa "tua dan menderita" di jalanan



Saatnya “Memanjakan” Penglaju Bandung Raya

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA

Bandung bisa dikatakan merupakan kota metropolitan yang semu dan menyimpan segudang persoalan sosial yang bisa meledak setiap saat. Tak bisa dimungkiri, kota Bandung berkembang tanpa karakter yang jelas. Tekanan jumlah penduduk tidak disertai dengan pembangunan infrastruktur perkotaan yang memudahkan mobilitas pekerjaan, perumahan dan perjalanan bagi para penglaju. Bandung berkembang menjadi kota besar yang egois, karena kurang memperhatikan daya dukung kota-kota di sekitarnya seperti Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi.

Kota Bandung yang ingin meraih predikat sebagai kota modern bisa terganjal tanpa daya dukung yang ideal dari kota-kota di sekitarnya. Apalagi, fenomena jentrifikasi (gentrification) sudah mulai tampak. Jentrifikasi merupakan fenomena dalam sebuah kawasan atau komunitas kota di mana warga miskin dan mereka yang lemah akses akan terdisplasi atau terpindahkan ke luar kota secara tidak manusiawi. Pakar perencanaan kota Neil Smith menyatakan bahwa jentrifikasi sebagai dua mata sisi pedang yang tajam. Di satu sisi jentrifikasi bersifat sebagai frontier untuk optimalisasi ruang kota. Dan di sisi lain jentrifikasi juga memicu ketimpangan pembangunan fisik, budaya, maupun sosial dalam ruang kota yang bisa memicu gejolak sosial yang sangat serius. Sebelum berubah menjadi “monster” yang kejam, proses jentrifikasi harus segera ditanggulangi dengan langkah konkrit. Antara lain dengan memperbaiki dan membangun infrastruktur bagi para penglaju. Sudah saatnya kita “memanjakan” penglaju di Bandung Raya dengan berbagai jasa dan pelayanan. Kawasan Bandung Raya yang dibelah oleh jalur kereta api yang membentang dari Cicalengka hingga Padalarang mestinya menjadi faktor penting untuk “memanjakan” para penglaju sehingga sehari-harinya mereka bisa beraktifitas secara nyaman dan efektif.
Sangat menyedihkan jika selama sepuluh tahun terakhir ini nasib para penglaju di Bandung Raya masih tetap merana karena belum ada kemajuan yang berarti dalam pembangunan infrastruktur. Fasilitas angkutan KA yang mestinya bisa menjadi solusi jitu ternyata masih dikelola secara tambal-sulam. Pemerintah Provinsi masih menutup mata dan belum berkontribusi secara konkrit terkait sistem transportasi KA komuter di Bandung Raya. Kondisinya semakin menyedihkan ketika kita menengok komplek-komplek pemukiman para penglaju di Kabupaten Bandung, Cimahi dan Bandung Barat. Kawasan yang dahulu menjadi “satelit” kota Bandung perkembangannya menjadi stagnan dan tengah mengalami kehancuran prasarana disana sini tanpa ada pihak yang mau bertanggung jawab. Begitu pula bagi para penglaju yang jauh dari jalur KA, mereka terpaksa naik angkot sambung-menyambung yang berakibat menguras isi dompet. Mestinya ada kebijakan pemerintah daerah yang berani menata kembali jalur atau trayek angkutan umum di Bandung Raya sehinga sesuai dengan kondisi masyarakat terkini. Kondisi jalur atau trayek angkutan yang semakin acak-acakan dan lepas kendali semakin membuat para penglaju menderita. Tanpa ada kebijakan yang “memanjakan” para penglaju di Bandung Raya, maka perkembangan Kota Bandung akan terus tersandera dengan berbagai masalah sosial.
Strategi pengembangan wilayah Bandung Raya khusunya kota Bandung mestinya menuju kearah metropolitan dalam arti yang sejati. Arah tersebut bersandar kepada istilah metropolitan yang mengambil kata dari sistem perkereta-apian komuter atau light train system. Sistem KA komuter yang baik akan memudahkan kota metropolitan menjadi pusat aktivitas yang mampu membagi fungsi keruangannya secara ideal. Sehingga terciptalah integrasi yang kokoh antar kawasan permukiman dan tempat kerja. Menurut pakar perkembangan kota Angotti, karakter kota metropolitan terlihat dalam tiga aspek yang ideal, yakni terciptanya mobilitas pekerjaan (employment mobility), mobilitas perumahan (residential mobility) dan mobilitas perjalanan (trip mobility). Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja. Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, tetapi sering kali juga terjadi karena digusur oleh dinamika pembangunan. Mobilitas perjalanan lebih mudah dilakukan di metropolitan karena ketersediaan sarana transportasi yang berbasis KA komuter. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa karakter metropolitan dicirikan dengan adanya mobilitas dari modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi. Apakah karakter tersebut sudah dimiliki oleh kota Bandung ?
Perencana dan pelaksana pembangunan kota mestinya memperhatikan secara seksama pembangunan kawasan asal para penglaju. Salah satu contoh kawasan asal penglaju di Bandung Raya adalah Kecamatan Rancaekek. Kita semua menjadi prihatin melihat kondisi Perumnas Bumi Rancaekek Kencana yang dahulu direncanakan menjadi semacam kota satelit. Namun, setelah 15 tahun berlalu masih tetap merana dan belum menjadi kawasan pemukiman yang nyaman. Bahkan, infrastruktur seperti jalan, saluran dan fasilitas umum lainnya banyak yang dibiarkan rusak karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Setelah lama tinggal di Perumnas Rancaekek, mestinya para penglaju merasa lebih mudah beraktifitas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Perbaikan pelayanan transportasi KA masih tetap terpuruk. Mestinya waktu tempuh Rancaekek ke kota Bandung dengan KA komuter cukup menyita waktu 20 menit saja. Nyatanya, para penglaju dari Rancaekek waktunya masih tersita lebih banyak lagi jika ingin menuju kota Bandung. Infrastruktur KA double track atau jalur ganda dari Stasiun Hall Bandung sampai Stasiun Cicalengka yang telah direncanakan sejak puluhan tahun yang lalu, hingga kini belum mampu diwujudkan. Begitu pula dengan kondisi fisik stasiun dan gerbong KA komuter seperti KRD Ekonomi dan Patas selama sepuluh tahun terakhir belum ada perubahan signifikan. Gerbong-gerbong yang sudah tua, kotor dan tidak aman itu masih menjadi pemandangan hingga kini. Mestinya Pemprov Jabar bersama dengan PT KAI segera membenahi stasiun KA yang menjadi kantong-kantong penglaju di sepanjang jalur antara Cicalengka dan Padalarang. Penataan stasiun dan penyediaan gerbong KA yang cukup sudah sangat medesak. Emplasemen seluruh stasiun KA mestinya ditata secara baik dan asri. Serta disterilkan dari aktifitas PKL sehingga tidak menjadi kumuh dan kotor. Untuk “memanjakan” penglaju yang terdiri dari para pekerja, PNS, profesional, pelajar dan mahasiswa, alangkah baiknya kalau di stasiun KA disediakan koneksi internet secara gratis dengan sistem Wajanbolic. Sistem Wajanbolic yang harganya murah itu mestinya tersedia di setiap stasiun KA. Agar para pengunjung stasiun atau orang-orang yang berada di radius satu kilometer dari stasiun KA dapat menadah WiFi ( wireless fidelity ) alias hot spot sehingga bisa mengakses jaringan intenet secara gratis sambil menunggu jadwal KA. Masih ada seribu satu cara untuk “memanjakan” para penglaju di Bandung Raya. Masalahnya, tinggal sampai sejauh mana empati dan kecerdasan dari pejabat daerah dalam memperbaiki nasib kaum penglaju yang setiap harinya harus berjuang.

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
**) Artikel diatas telah dimuat di koran KOMPAS, lembar Jabar 12 Nopember 2008

Tidak ada komentar: