Selasa, 29 April 2008

KRISIS INFRASTRUKTUR DI TATAR PASUNDAN



SOR Gedebage dan Askensianisme

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Mestinya Provinsi Jawa Barat sudah memiliki Sarana Olah Raga (SOR) yang megah dan modern berskala internasional yang terintegrasi dalam suatu kawasan yang luas. Bertahun-tahun SOR tersebut hanya menjadi impian, sementara Provinsi lain mampu merealisasikan dalam waktu singkat. Tersendat-sendatnya pembangunan SOR Gedebage merupakan pukulan psikologis bagi warga Jabar.
Konsep pembangunan SOR Gedebage seharusnya jangan sampai mengalami degradasi atau penyusutan prasarana. Rencana SOR bertaraf dunia yang terdiri dari berbagai jenis sarana olah raga hendaknya jangan melorot hanya menjadi stadion untuk Persib saja. SOR Gedebage mestinya tidak hanya menjadi proyek Pemkot Bandung saja, tetapi merupakan prestise dan hajat segenap warga Jabar. Sehingga faktor utilitas dan kemegahan SOR Gedebage harus benar-benar diperhatikan kelas dan mutunya. Persoalan klasik yang menyangkut alokasi dana sebetulnya bisa diatasi dengan cara efisiensi anggaran belanja birokrasi dan sumber pembiayaan lainnya. Kalau perlu dilakukan penggalian dana secara masal dengan cara memotifasi segenap rakyat Jabar untuk mau bergotong-royong menyumbang dana pembangunan SOR. Seandainya, setengah dari jumlah penduduk Jabar bersedia menyumbangkan “dua bungkus rokok” saja, maka kebutuhan dana pembangunan SOR itu akan tertutup dalam waktu yang singkat. Belum lagi jika pemerintah daerah kreatif dalam penggalian dana yang disertai dengan akuntabiltas yang baik.
Pendorong Kemajuan
Dengan mengembangkan Olah Raga, maka energi kolektif warga Jabar yang semakin melemah bisa ditingkatkan. Pengembangan Olah Raga tanpa pembangunan SOR merupakan hal yang mustahil. Betapa malunya kita semua melihat kondisi SOR di kota Bandung banyak yang telah usang. Karena SOR itu dibangun 46 tahun yang lalu. Seperti halnya SOR Saparua yang pernah menjadi saksi bisu ketika Jabar menjadi Juara umum PON tahun 1961. Bila nantinya SOR Gedebage terwujud dan utilitasnya benar-benar bertaraf internasional maka eksistensinya bisa menjadi pendorong kemajuan Jabar. Energi kolektif suatu negeri akan mengkerucut kepada semangat keunggulan atau kejayaan, yang biasa disebut dengan istilah Ascensionism ( Askensianisme ). Istilah diatas berasal dari kosa kata Ascentia Recta, yakni sebuah nama bintang besar di alam semesta. Askensianisme merupakan faktor yang sangat hebat untuk mewujudkan kemajuan sekaligus membangun karakter. Maskot dan faham Askensianisme pernah melekat pada sosok Bung Karno yang tergambar dengan gagasan dan pulasannya terhadap Ibu Kota negara. Terlihat dengan berbagai monumen, Mesjid Istiglal, Gelora Olah Raga Senayan dan lainnya. Semuanya merupakan daya usaha Bung Karno dalam memberikan “baju budaya” untuk membangun national character building.
Kondisi usang SOR di Jabar harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah dan DPRD. Pentingnya pengembangan Olah Raga sebagai langkah strategis untuk menggapai kemajuan. Betapa ironisnya, hingga saat ini Jabar belum mampu membangun SOR modern berskala internasional yang memadai untuk menggelar event Olah Raga nasional maupun internasional. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi SOR yang ada saat inipun mengalami alih fungsi. Lapangan lebih sering digunakan untuk kegiatan non Olah Raga, seperti pentas musik, acara sosial, politik dan keagamaan. Kurang progresifnya Provinsi Jabar untuk membangun SOR sangat menyesakkan dada bagi mereka yang menerjuni profesi Olah Raga. Padahal percaturan global pada saat ini menyatakan bahwa Olah Raga telah menjadi sarana strategis untuk menciptakan daya saing. Hal itu sangat terasa ketika penulis baru-baru ini mengunjungi empat kota di RRC, yakni Beijing, Huangzhou, Shanghai, dan Huangshan. Bagi bangsa RRC, Olah Raga merupakan mesin pendorong yang hebat bagi perkembangan sosial dan budaya. Dalam konteks itu, Mao Zedong telah meletakkan dasar kebijakan bagi pembangunan Olah Raga RRC sejak 50 tahun yang silam. Buah dari kebijakan diatas terlihat pada saat ini ketika kota Beijing akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2008 mendatang. Sebetulnya milestones RRC untuk menggerakkan Olah Raga pernah juga ditempuh oleh Bung Karno. Pada awal tahun enam-puluhan Bung Karno telah menetapkan Olah Raga sebagai bagian dari platform revolusi dan dalam rangka character and national building. Dengan kebijakan tersebut, maka Olah Raga Indonesia menunjukkan prestasi yang gilang gemilang. Terbukti pada tahun 1962 Indonesia mampu menjadi tuan rumah pesta Olah Raga terbesar di benua Asia, Asian Games. Selain sukses sebagai tuan rumah, juga sukses dalam prestasi, yakni berhasil menduduki peringkat ke dua setelah Jepang. Dalam konteks diatas, PON 1961 di Bandung harus diakui sebagai pilar keberhasilan Indonesia dalam Asian Games 1962.
Membenahi Budaya Organisasi
Keberadaan SOR Gedebage juga harus diikuti oleh pembenahan budaya organisasi dari cabang-cabang Olah Raga. Sejak PON yang pertama atau PON “Perjuangan” sebenarnya setiap cabang olah raga telah memiliki budaya organisasi yang kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama untuk mendapatkan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun, pada saat ini budaya organisasi banyak yang terkoyak-koyak oleh penyakit struktural. Hingga jatuhnya modal sosial dan hilangnya “kecerdasan” organisasi. Tanpa dilandasi budaya organisasi dan pengelolaan yang berbasis Management By Obyectives atau manajemen berdasarkan sasaran ( MBS ) pengembangan Olah Raga akan gagal. Dalam konsep MBS setiap jabatan kepengurusan hendaknya menetapkan tujuan-tujuan yang spesifik yang harus dicapai pada masa datang serta mempertahankan vitalitas dan kreativitas organisasi yang berbasis disiplin yang tinggi. Entry point dari sistem MBS adalah menggariskan adanya Key Results Area (KRA) atau bidang tanggung jawab utama yang ditetapkan terhadap segenap pengurus, baik terhadap Ketua, Sekretaris, hingga struktur dibawahnya. Konsep KRA sangat membantu kepengurusan cabang olah raga untuk menentukan pada bagian mana dari pekerjaannya, ia harus menanamkan waktu, energi, dan bakatnya. Lebih dari itu KRA pengurus cabang Olah Raga pada akhirnya harus menjadi faktor-faktor yang dapat diukur lewat sebuah indikator yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik.
Betapa pentingnya figur dan reputasi seorang pengurus organisasi cabang Olah Raga. Sangat relevan dengan pendapat pakar manajemen Peter Drucker yang mendefinisikan bahwa sebuah organisasi pada saat ini lebih membutuhkan leader ketimbang manager. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa “Leaders finds the right things to “. Sedangkan manager adalah mereka yang “try to do things right”. Korelasinya terhadap organisasi Olah Raga di tanah air sekarang, bahwa organisasi pada saat ini lebih banyak memiliki pengurus yang bertipe manager tetapi jarang memiliki leader yang mampu memusatkan perhatian pada aspek efektifitas. Jelaslah sudah, yang dibutuhkan oleh organisasi cabang Olah Raga adalah leader atau pemimpin yang memiliki visi yang kuat dan tangguh.

*) Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan
**) Artikel pernah dimuat di harian KOMPAS

Tidak ada komentar: