Senin, 02 Juli 2012

Eupsychian Management dalam BUMN


Oleh Harjoko Sangganagara |Daily Investor.  Kamis, 14 Juni 2012 | 10:31

Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, hanya 30% badan usaha milik negara (BUMN) mendapatkan proyek dengan cara jujur. Selebihnya, para pengelola BUMN itu kongkalikong alias menyuap calon mitra kerja untuk mendapatkan proyek.

Kondisi BUMN yang rawan suap dan intervensi politik itu disebabkan oleh pola rekrutmen direksi dan komisaris yang mengabaikan aspek moralitas, kejiwaan, dan gaya hidupnya. Padahal, betapa pentingnya aspek moralitas dan kejiwaan dari pengelola BUMN.

Arti penting kejiwaan dan moralitas seorang eksekutif juga sangat relevan dengan kondisi korporasi global saat ini. Para eksekutif perusahaan multinasional akhir-akhir ini memang sering dituding culas dan tidak peka terhadap kondisi yang tengah mendera perekonomian global.

Tak kurang dari Presiden Amerika  Serikat Barack Obama sering mengecam sikap para eksekutif perusahaan yang suka bancakan bonus, padahal perusahaannya minta bailout. Publik di sana juga berang melihat gaya hidup supermewah para chief excecutiv officer (CEO) yang notabene adalah pengemis dana talangan.

Jangan Hanya Kulitnya
Moralitas dan kejiwaan para eksekutif BUMN di negeri ini harus segera dibenahi. Searah dengan tren global, pentingnya pengelola BUMN yang memiliki tingkatan eupsychian management. Istilah eupsychian berasal dari akar kata eu yang berarti baik dan psyche yang berarti jiwa. Eupsychian management menjadikan korporasi bisa survive di tengah krisis dan semakin kompetitif dalam persaingan global.

Beberapa korporasi yang boleh dikatakan kebal krisis adalah korporasi yang para CEO-nya memiliki tingkatan eupsychian management yang sudah teruji. Mereka antara lain Google, Apple, dan IBM. Jiwa korporasi Google tercermin dalam slogan “Don’t be evil”, yang mengokohkan dirinya dalam tren ekonomi dunia ke knowledge based economy.

Selama ini, Menteri BUMN Dahlan Iskan kerap mencuri perhatian public dengan pernyataannya yang khas. Sebaiknya gaya manajemen Dahlan Iskan untuk membenahi BUMN jangan hanya menyentuh kulit-kulitnya saja. Perihal praktik suap yang banyak dilakukan oleh pengelola BUMN, proses hukum sebaiknya diterapkan secara keras kepada mereka.

Lebih dari itu, proses perekrutan dan mekanisme seleksi pengelola BUMN harus dilakukan secara fair dan kredibel. Cara Dahlan Iskan yang suka main tunjuk pengelola BUMN dengan alasan masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II yang tinggal sebentar lagi memang tidak bisa diterima akal sehat. Kinerja BUMN hingga kini masih belum membaik secara signifikan, tak sebanding dengan total aset seluruh BUMN. Kontribusi melalui dividen yang mencapai Rp 29,9 triliun, pajak Rp 100,7 triliun, dan privatisasi Rp 2,1 triliun perlu diteliti lebih lanjut.

Tak bisa dimungkiri lagi bahwa kondisi BUMN di negeri ini sedang diwarnai oleh perilaku direksi dan komisaris yang gemar menyembunyikan realitas dan mengabaikan fakta buruk yang harus dihadapi. Pada era globalisasi sekarang ini sebetulnya sebuah BUMN tidak perlu dikelola oleh sosok yang kuat atau populer. Yang lebih dibutuhkan adalah pengelola BUMN yang tidak banyak bicara, tidak terlibat politik praktis, tidak suka mengeluh dan berani mendobrak birokrasi yang eksistensinya membelit jalannya korporasi.

Bahkan dalam postulat bisnisnya yang saat ini menjadi referensi utama para CEO kaliber dunia, Jack Welch secara tegas menyerukan agar para eksekutif harus bisa membebaskan diri dari belenggu birokrasi. Celakanya, pada era sekarang ini birokrasi BUMN justru menjadi semakin tambun. Birokrasi yang tambun itu, selain tidak efektif, juga bisa membangkrutkan keuangan perusahaan.

Kredo kepemimpin BUMN yang efektif adalah yang kuat mengonsumsi fakta dalam menjalankan tugasnya, bukan yang lihai merekayasa citra dirinya dengan hal-hal klise. Banyak pengelola BUMN saat iniyang menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya. Filosofi “Menyelamatkan pasien Cito” yang dulu merupakan visi dan misi Dahlan Iskan untuk membenahi ketenagalistrikan nasional masih relevan dijalankan. Istilah pasien Cito tersebut mengibaratkan BUMN seperti pasien yang harus segera dirawat secara intensif.

Jauhi Konflik Kepentingan
Konsepsi dan kebijakan tentang postur jabatan pengelola BUMN sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jumlah komisaris dan direksi BUMN pada saat ini masih terlalu banyak. Ironisnya, BUMN yang tergolong tidak sehat karena sepanjang waktu tidak bisa mencetak keuntungan juga dijejali oleh sederet komisaris dengan gaji tinggi.

Proses penjaringan komisaris BUMN pada saat ini juga seperti “arisan” bagi para mantan menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan para tim sukses pemilu presiden. Proses itu jauh dari sifat transparansi dan tanpa ukuran yang jelas. Kinerja para komisaris BUMN jadinya sulit diukur. Apalagi mereka tidak bekerja secara teratur. Kedudukan dan fungsi komisaris di BUMN dinilai oleh banyak pihak justru sering menjadi ganjalan.

Masih relevan survei terhadap ratusan perusahaan multinasional yang dilakukan oleh majalah Fortune. Hasil survei itu menyatakan bahwa 40% dewan pengawas atau komisaris di perusahaan multinasional hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Memang ada langkah reformasi BUMN, namun semuanya masih berjalan di tempat karena terbelit oleh persoalan conflict of interest dari pengelola.

Penerapan praktik good corporate governance tidak bisa berjalan dengan baik dan hanya sekadar menjadi hiasan. Kinerja komisaris BUMN terlihat mandul karena kurang memiliki kompetensi bisnis dalam mengelola perusahaan. Kondisinya sangat kontradiktif dengan definisi corporate governance yang dirumuskan Thomas L Wheelen & J David Hunger, yakni bagaimana pihak-pihak inti yang berkepentingan dengan perusahaan saling berinteraksi dan bersinergi secara cepat. Pihak-pihak itu adalah pemegang saham (shareholders), pengelola (top management), dewan pengawas atau komisaris (board of directors).

Model komisaris yang ideal bagi BUMN adalah model Catalyst, yakni model yang pro-aktif dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja korporasi. Cara yang efektif untuk mendapatkan komisaris model Catalyst adalah dengan merekrut mereka yang berasal dari luar birokrasi atau di luar sistem kekuasaan.

Tidak ada komentar: