Kamis, 16 Agustus 2012

Kemerdekaan dan Potret Buram Keadilan Sosial


Daily Investor, 16 Agustus 2012
 
           Pada HUT Kemerdekaan RI yang ke-67 ini pentingnya menggelorakan nilai keadilan sosial. Karena nilai yang terkandung dalam sila ke-5 Pancasila tersebut kini semakin amorfik alias tidak memiliki bentuk. Untuk itulah dibutuhkan kepemimpinan yang memahami konsep dan aksi nyata guna mewujudkan keadilan sosial yang lebih progresif ditengah himpitan liberalisasi. Tak bisa dimungkiri, tipe kepemimpinan nasional kini seperti burung Onta yang suka menyembunyikan realitas dan mengabaikan fakta buruk terkait potret buram keadilan sosial.
       Elite bangsa semakin tidak berdaya mewujudkan keadilan sosial. Padahal, keadilan sosial merupakan faktor yang sangat krusial karena bisa menempatkan Republik Indonesia sebagai negara gagal. Memang, tidak ada jalan pintas untuk mewujudkan keadilan sosial. Tetapi bangsa ini memiliki dialektika perjuangan untuk menjadi bangsa besar. Karena telah digembleng oleh berbagai situasi dan kegentingan dalam lintasan sejarahnya. Celakanya, jalan untuk mewujudkan kadilan sosial di negeri ini kini telah dirusak oleh praktik korupsi.
            Proses globalisasi telah merubah kehidupan warga dunia. Globalisasi bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri dan korporasi raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan khaos. 
           Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis atau etnosentrisme. Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu telah disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. 
         Kini para pemimpin dan elit politik suka menutup mata seolah-olah tidak ada persoalan krusial terkait keadilan sosial. Mereka juga belum memilki konsep yang tepat terkait dengan implementasi keadilan sosial. Pada prisipnya konsep keadilan sosial  didasarkan atas prinsip  hak asasi manusia dan egalitarianisme. Konsep tersebut mestinya bisa dijabarkan lebih konkret lagi di bidang perekonomian misalnya melalui kebijakan pajak progresif, reforma agraria, redistribusi pendapatan, bahkan redistribusi kekayaan.  Kebijakan-kebijakan diatas dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan prosedural.
           Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep keadilan ekonomi terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya membentuk konstruksi keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya konstruksi keadilan sosial menjadi runtuh. Diperlukan peran tegas negara sebagai pengendali, karena distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Joseph Stieglitz, selalu ada faktor asymetrical information dalam mekanisme kerja pasar bebas. Yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil dalam dirinya sendiri.
          Konsep dan strategi untuk mewujudkan keadilan sosial secara progresif bisa dilihat pada bangsa Tiongkok. Padahal, bangsa yang jumlah penduduknya mencapai 1,34 miliar jiwa itu memiliki neraca sumber daya alam dibawah Indonesia. Kini, seluruh dunia mengakui bahwa keadilan sosial bagi bangsa Tiongkok hampir terwujud. Hal itu ditandai dengan dinamika kelas menengah yang luar biasa. Peran signifikan untuk mewujudkan keadilan sosial terletak pada sekitar 300 juta warga kelas menengah disana.
         Padahal, pada tahun 90-an Tiongkok masih tergolong miskin dengan PDB per kapita masih dibawah US$ 1.000. Bahkan masih banyak penduduk yang berpenghasilan di bawah US$ 300. Kini, wajah keadilan sosial bangsa Tiongkok terlihat dalam angka. Salah satu contoh, pada 2011 saja, sekitar 17 juta mobil terjual disana. Sehingga menempatkan negeri itu menjadi pasar terbesar dunia mengalahkan AS.  Hebatnya lagi, rata-rata pembeli Mercedes Benz di Tiongkok berusia 39 tahun, sedangkan di AS sudah berusia 53 tahun. 
      Kini, gaya hidup 1,34 miliar warga Tiongkok telah memengaruhi roda perekonomian dunia. Tak pelak lagi, semua perusahaan multinasional telah menggantungkan produknya kepada pasar Tiongkok.  Jika para pemimpin Tiongkok mampu mewujudkan keadilan sosial bagi  rakyatnya, mestinya pemimpin di negeri ini juga bisa. Dengan catatan berbagai masalah yang menjadi halangan dan rintangan untuk mewujudkan keadilan sosial harus diganyang bersama sebagai musuh bangsa.
       Potret buram keadilan sosial di Indonesia terlihat jelas dalam rasio pendapatan masyarakat. Semakin tinggi jarak antara strata tertinggi dengan strata terendah, struktur masyarakat itu dianggap tidak berkeadilan. Ukuran universal yang dianggap ideal antara pendapatan tertinggi dan terendah dalam rasio 1:7. Analoginya jika buruh misalnya memperoleh pendapatan 100 dolar per bulan, maka idealnya gaji Presiden tidak lebih dari 700 dolar. Faktanya, di Indonesia kini jarak yang berlaku antar pendapatan tertinggi dan terendah justru sangat jauh. Banyak warga yang bekerja dengan pendapatan Rp.500 ribu per bulan, sedangkan pada tingkat elit, ada orang yang berpendapatan hingga Rp. 500 juta per bulan. Artinya, rasionya adalah 1 : 1.000. Dengan begitu potret keadilan sosial semakin kelam dan menjauhi cita-cita kemerdekaan.

Tidak ada komentar: