Minggu, 08 November 2009

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya


Relevansi Sikap Ksatria Pahlawan Bagi Pejabat Negara dan Korporasi

Oleh : Harjoko Sangganagara


SALAH satu nilai kepahlawanan bangsa tempo dulu yang kini masih relevan untuk terus ditumbuhkan adalah sikap ksatria yang dijunjung tinggi para pahlawan bangsa. Apalagi, sikap dan jiwa ksatria dari para pejabat negara dan korporasi sekarang ini semakin tipis. Hal itu merupakan manifestasi sakitnya sisi kepribadian bangsa sekarang, sehingga bangsa ini masih gagal dalam mengikuti persaingan dunia. Tipisnya jiwa ksatria pejabat negara dan pelaku ekonomi sekarang ini juga menyebabkan supremasi hukum hanya terucap dimulut, sedangkan dilapangan hukum sudah menjadi barang dagangan dan permainan para calo. Tak mengherankan jika berbagai kasus atau skandal yang melibatkan pejabat negeri ini seperti benang kusut. Kasus yang paling aktual adalah kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century merupakan indikator bahwa elit penguasa di negeri ini banyak yang mengidap tuna ksatria. Rakyat dengan kasat mata sering menyaksikan para pejabat negara dalam berbagai strata yang suka menggadaikan jiwa ksatria. Hal tersebut mengakibatkan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi menjadi macet bahkan sulit terjamah oleh proses hukum. Sikap ksatria juga sangat penting bagi pelaku binis untuk memajukan korporasi. Sikap ksatria sangat penting untuk mencapai puncak kepuasan pelanggan. Sikap ksatria dalam mengembangkan korporasi sudah menjadi filosofi bagi perusahaan multinasional seperti Levovo dan The Ritz-Carlton Hotel Company. Buah dari filosofi itu membuat perusahaan multinasional mampu berkembang dalam situasi krisis dan mampu mengakuisisi perusahaan-perusahaan besar.
Betapa kontradiktif kondisi psikologis bangsa Indonesia sekarang ini bila dibandingkan dengan era revolusi kemerdekaan tempo dulu. Banyak peristiwa yang menggambarkan sikap ksatria bayangkara negara yang paripurna. Salah satunya tergambar dalam perjuangan seorang pahlawan muda yang bernama Wolter Robert Monginsidi. Dengan sikap ksatria dan gagah beraninya si "gentleman" dari Malalayang tersebut menghadapi pengadilan kolonial Belanda. Untuk kehormatan saptamarga dan kejayaan bangsanya. Monginsidi akhirnya memilih mati secara ksatria didepan regu tembak Belanda dilapangan kawasan Tello Makassar. Dengan beraninya ia menghadapi hukuman mati hanya disertai dengan sebuah goresan kalimatnya "Setia hingga akhir dalam keyakinan". Dan sebuah pekik “Merdeka ! ”. Deposit jiwa dan sikap ksatria juga ditunjukkan oleh Panglima Besar Soedirman. Dengan penyakit paru-paru yang sangat parah, masih berani dan berjiwa ksatria untuk memimpin perang gerilya melawan Belanda. Pak Dirman yang badannya tinggal tulang dan kulit tanpa pengawasan dokter ahli berjalan keluar masuk gunung dan hutan hingga beratus-ratus kilometer jaraknya hanya dengan ditandu.
Sejarah Indonesia sebenarnya telah menyajikan betapa banyaknya pelaku sejarah yang telah memberikan contoh jiwa ksatria dan gagah berani. Banyak peristiwa sejarah yang sarat dengan nuansa terhadap pengadilan para pahlawan bangsa, baik itu pengadilan resmi, pengadilan militer, hingga pengadilan jadi-jadian. Semua itu memberikan teladan bagi generasi penerus untuk menjunjung tinggi kehormatan dan tradisi perjuangan dengan jiwa ksatria. Dalam tataran psikologi sosial bangsa, tumbuh suburnya jiwa dan sikap ksatria akan membuahkan magnanimity ( kebesaran jiwa ) para penyelengara negara. Magnanimity bisa menjadi energi kolektif yang hebat untuk menuju cita-cita bangsa. Sebaliknya, bangsa Indonesia sekarang ini diwarnai oleh banyaknya penyelenggara negara yang tuna ksatria sehingga menimbulkan keruwetan sistem bernegara.
Pada era globalisasi sekarang ini, gelar atau predikat pahlawan tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang berjuang angkat senjata. Predikat pahlawan bisa saja diberikan pada sosok yang memberi dampak positif pada masyarakat luas, seperti halnya bagi para pelaku ekonomi. Kata pahlawan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata Pahla dan Wan. Pahla mengandung makna buah, sedang Wan untuk sebutan orangnya (bersangkutan). Pengertian secara luas pahlawan (baca: pahlawan nasional) adalah orang yang menghasilkan sebuah karya untuk kepentingan bangsa dan negara atau seorang pejuang gagah berani yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa. Pada saat ini bangsa Indonesia sangat membutuhkan pahlawan ekonomi yang mampu membuat terobosan untuk menciptakan nilai tambah dan kesejahteraan rakyat luas. Pahlawan ekononi bukan sosok yang membuat kebijakan ekonomi ala sinterklas dengan cara membagi-bagikan uang tunai dan menjalankan kebijakan eufimisme pembangunan yang berbasis hutang. Sehingga melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tidak bermutu.
Bangsa Indonesia juga membutuhkan korporasi yang pengelolaannya didasari filosofi sikap ksatria dan jujur. Korporasi semacam itu telah ditunjukkan oleh Lenovo dari China. Sebenarnya semangat bekerja dengan ksatria dan jujur bukanlah hal yang baru di China, sejak Revolusi Kebudayaan hal ini terus ditekankan oleh para pemimpinnya dan diikuti oleh rakyatnya. Pejabat China tidak malu untuk mengatakan kalau mereka tertinggal, tapi mereka tidak tinggal diam, mereka terus belajar dan bekerja keras mengejar ketertinggalannya tanpa terlalu banyak mengumbar sesumbar dan slogan-slogan pembangunan yang bombastis. Hal itu juga diterapkan oleh pengelola Lenovo sehingga prusahaan itu mampu mengakuisisi perusahaan raksasa dari USA, yakni IBM. Para pekerja Lenovo selalu mengedepankan sikap ksatria dalam menyelesaikan konflik. Professionalisme diwujudkan dalam semangat terbuka untuk belajar dan kerja keras yang dilandasi oleh jiwa ksatria.
Sisi lain dari relevansi sikap ksatria bagi korporasi adalah terwujudnya pelayanan yang paripurna untuk pelanggan. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola The Ritz-Carlton Hotel Company yang sukses mengelola 100 hotel mewah di seluruh dunia berikut kepemilikan residences (apartemen), kelab, dan properti lainnya. Ada sesuatu yang tidak pernah lekang ketika kita mengamati manajemen Ritz Carlton, yakni sikap ksatria segenap manajemen menghadapi keluhan dan kritikan para pelanggan. Sikap ksatria dan jujur itulah yang pada akhirnya membuahkan standar emas dalam pelayanan hotel. Dengan pengalaman bersikap ksatria tersebut, Ritz Carlton kemudian berhasil menetapkan persyaratan tata kelola hotel. Antara lain, menciptakan lingkungan nyaman, inovasi dalam rancang bangun berikut menetapkan batas standar pelayanan yang tidak boleh dikurangi, sekecil apapun dengan alasan apapun. (*)

*) Artikel diatas dimuat harian KONTAN 10 November 2009

Tidak ada komentar: