Selasa, 29 September 2009

Budaya keselamatan jalan di negeri ini semakin parah


Kecelakaan Bus dan Infrastruktur Jalan

Oleh : Harjoko Sangganagara *)

Petaka kecelakaan bus sering terjadi di daerah Jawa Barat. Terakhir terjadi di tanjakan Emen kecamatan Ciater Kabaupaten Subang yang menimpa bus Parahyangan dan menewaskan sembilan orang. Kondisi angkutan bus antar kota yang rentan dan kerusakan infrastruktur jalan merupakan hantu transportasi yang terus bergentayangan mencari mangsa. Semua itu merupakan indikasi masih buruknya sistem keamanan di jalan raya. Operasional perusahaan angkutan darat banyak diwarnai oleh pengemudi yang berkarakter aggresissive driving alias ugal-ugalan. Akibatnya, jalan raya menjadi mesin pembunuh sekaligus pencetak kerugian moril dan materiil yang sangat besar. Untuk menghadapi masalah tersebut diperlukan berbagai langkah antara lain uji kelayakan bus secara ketat. Uji kelayakan tersebut terutama untuk bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan antarkota dalam provinsi (AKDP). Petugas harus ekstra tegas melihat beberapa indikator uji kir, antara lain kondisi setir terasa kocak atau tidak, asap kendaraan, kondisi ban, rem lain-lain. Kondisi bus AKAP dan AKDP yang kebanyakan sudah tua dan sarat masalah menjadi hantu yang terus mengintai.
Tak bisa dimungkiri lagi, kecelakaan angkutan bus selama ini banyak disebabkan oleh faktor human error dan diperparah lagi dengan terdegradasinya konstruksi jalan dan minimnya rambu-rambu lalu lintas. Ruas jalan raya dipinggir jurang banyak yang tidak memiliki rambu dan konstruksi pembatas yang layak. Pemerintah pusat dan daerah tidak berdaya, sehingga sering mengabaikan perawatan ruas jalan raya. Padahal pertumbuhan kendaraan di negeri ini mencapai sekitar 10 persen pertahun. Disisi yang lain tingkat kerusakan jaringan jalan nasional semakin bertambah panjang tanpa bisa diatasi oleh pemerintah. Hingga 2009 sebesar 30 persen jaringan jalan nasional dalam kondisi rusak berat. Ironisnya, pemerintah justru lebih banyak berkonsentrasi membangun ruas jalan tol. Akibatnya, jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten menjadi anak tiri yang kondisinya semakin memburuk. Konsentrasi pemerintah yang lebih banyak mencari investor jalan tol mengakibatkan jenis jalan nasional, provinsi, dan jalan kabupaten kondisinya semakin terdegradasi. Kerusakan jalan selain mendatangkan petaka juga menyebabkan terganggunya distribusi barang dan waktu tempuh yang lebih lama sehingga biaya transportasi semakin membengkak. Kondisi jalan raya non tol yang menjelang lebaran telah diperbaiki secara tambal sulam atau ala kadarnya itu masih menyimpan potensi bahaya.
Menurut survei Bapennas, ongkos sosial dan ekonomi dari jalan rusak yang diderita oleh masyarakat pengguna jalan mencapai sekitar Rp 200 triliun per tahun. Sedangkan perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Kimpraswil menunjukkan bahwa untuk merehabilitasi kerusakan jalan setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun. Jumlah diatas tidak pernah terpenuhi, sehingga terjadi backlog maintenance yang berdampak besar bagi kualitas kondisi jaringan jalan nasional. Selain itu tingkat kerusakan jalan akibat kelebihan beban dan sistem perawatan yang tidak memadai menyebabkan rusaknya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai. Hal tersebut juga akan menyedot biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk ruas jalan yang lain. Sekedar gambaran, bahwa infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Diperkirakan besarnya Road User Cost (RUC) atau biaya pengguna jalan di seluruh jaringan jalan nasional dan provinsi mencapai Rp 1,5 triliun per-hari yang terdiri atas komponen biaya operasi kendaraan dan biaya waktu perjalanan. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi adalah kualitas konstruksi jalan yang rendah akibat korupsi anggaran dan penyimpangan proyek. Selain itu karena faktor pembebanan berlebih dan seringnya terjadi bencana alam.
Dalam tataran psikososial, ruas jalan raya telah menjadi arena pengendaraan agresif. Pengemudi bus, truk hingga sepeda motor telah banyak yang menjelma menjadi komunitas ugal-ugalan yang memerlukan penanganan yang lebih serius. Menurut data statistik kepolisian, sekitar 84 persen kecelakaan di jalan raya disebabkan oleh faktor pengemudi. Melihat fakta itu, mestinya karakter pengemudi yang bersifat aggressive driving segera diperbaiki dengan membudayakan cara mengemudi yang benar berdasarkan penguasaan teknis dan sikap mental. Kerugian ekonomi per-tahun akibat kecelakaan jalan mencapai 3 persen dari PNB ( pendapatan nasional bruto ). Mengingat banyaknya korban jiwa dan besarnya kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kecelakaan jalan raya, sudah mendesak usaha rekayasa budaya keselamatan jalan (road safety culture). Rekayasa kebudayaan itu diharapkan dapat mempengaruhi seseorang bersikap dan bertindak. Dalam kaitannya dengan sistem keselamatan jalan raya, seseorang yang telah terkondisi dengan budaya disiplin akan bersikap patuh terhadap aturan dan etika di perjalanan. Budaya keselamatan jalan raya sebenarnya sudah cukup lama ada, yakni sejak William Phelps Eno merintis rekayasa keselamatan jalan secara sistematik. Yang disebut dengan Road Safety Management System ( Sistem Manajemen Keselamatan Jalan ). Rintisan itulah yang mengantarkan dia mendapat gelar ”Father of Traffic Safety” atau Bapak Keselamatan Lalu-lintas. Bangsa Indonesia yang katanya sarat dengan nilai budaya santun, toleran, dan hati-hati dalam bertindak, mestinya memiliki derajat yang tinggi dalam hal budaya keselamatan jalan raya. Nyatanya hal itu belum terwujud.
Negeri ini memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat namun tidak pernah tuntas mengatasi kerusakan infrastruktur jalan untuk berbagai kategori. Hampir semua kategori, dari jalan nasional, provinsi, kabupaten, hingga jalan desa kondisinya semakin terdegradasi. Ironisnya, 2009 telah dinyatakan sebagai warsa infrastruktur. Celakanya lagi, Undang-undang No. 38/2004 tentang Jalan yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk membenahi jalan sesuai dengan semangat otonomi daerah ternyata justru menambah panjang ruas jalan yang rusak. Padahal, setiap tahunnya pemerintah meraup dana yang sangat besar dari pajak kendaraan bermotor (PKB ) dan bea balik nama kendaraan bermotor ( BBNKB ).

*) Artikel telah dimuat harian Pikiran Rakyat, 30 September 2009

Tidak ada komentar: