Rabu, 26 Agustus 2009

Ber-imagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia”. ( Bung Karno )


Soal Diserobotnya Aset Budaya Bangsa dan Budaya Perusahaan Kita
( Harian KONTAN, Kamis 27 Agustus 2009, hal 23)

Oleh HARJOKO SANGGANAGARA


Untuk kesekian kalinya pihak di Malaysia menyerobot aset budaya bangsa Indonesia. Yang terakhir diserobot adalah tari Pendet yang dijadikan alat promosi kepariwisataan di negeri jiran itu. Nilai dan estetika tari Pendet yang luar biasa itu pernah dibawakan oleh ribuan penari saat pembukaan Asian Games di Jakarta di era pemerintahan Bung Karno. Ironisnya, tarian itu sekarang kian tak terurus. Buktinya, seni tradisi itu belum memiliki sertifikat HAKI. Dalam situasi krisis sekarang ini industri kreatif atau industi budaya mestinya dijadikan katup penyelamat ekonomi, sumber motifasi dan hiburan segar bagi masyarakat. Ironisnya, komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap seni tari tradisi sangat tipis dan tidak arif.
Seni tari tradisi tetap saja disia-siakan. Belum ada langkah yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan dan memproses aspek HAKI-nya. Ironisnya, justru ada kepala daerah yang tega-teganya mengekang seni tari tradisi Jaipongan. Dia menuntut agar busana penari Jaipongan supaya tertutup rapat sehingga tidak terlihat pundak dan lehernya. Selain itu, unsur 3G (goyang,geol,gitek ) yang menjadi pesona sekaligus merupakan roh atau greget tarian Jaipongan supaya diperhalus. Jika tuntutan kepala daerah itu dipenuhi, bisa-bisa estetika dan greget tarian Jaipongan akan hilang. Perlu dicatat, sebagai suatu bentuk performance art, tari Jaipongan menjadikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan. Nilai estetis itu terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme. Khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Jaipongan tampil lebih menggetarkan sukma. Nilai estetis tari Jaipongan akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan baik sehinga muncul ungkapan tari yang memesona. Standarisasi busana dan rias pada tari Jaipongan mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya pertunjukan. Oleh sebab itu kepala daerah tidak perlu bertindak represif dengan merubah kostum jaipongan menjadi serba tertutup rapat.
Kondisi paradoks diatas semakin menunjukkan bahwa negeri ini sedang dilanda krisis kebudayaan nasional. Padahal, kebudayaan pada era sekarang ini merupakan leverage kemajuan bangsa. Kebudayaan tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga sangat menentukan etos kerja suatu bangsa. Sekarang ini banyak pejabat dan elite politik yang tidak memahami estetika. Sehingga tidak mampu mengembangkan kebudayaan. Penting untuk direnungkan premis tentang estetika yang dirumuskan oleh Clive Bell. Bahwa keindahan atau estetika itu hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Istilah estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang kemudian berkembang menjadi ilmu tentang keindahan dan kemegahan.
Pemerintahan mendatang mesti mampu menjadikan kebudayaan sebagai leverage kemajuan. Berbagai strategi untuk mengatasi keterbelakangan bangsa tidak akan efektif jika mengabaikan faktor kebudayaan. Kebudayaan harus menjadi kata kunci dalam program pembangunan. Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Latin “cultura” atau “colere” yang berarti mengolah. Kebudayaan tidak sekedar seni tradisi. Lebih dari itu, kebudayaan bisa membentuk dan memajukan korporasi dan ketatanegaraan. Masalah kemiskinan, ekonomi kerakyatan, kecelakaan transportasi, kinerja birokrasi dan pemberantasan korupsi sulit diatasi tanpa melalui rekayasa kebudayaan. Rekayasa itu bisa membentuk masyarakat untuk bekerja keras dan cerdik ( work hard and smart ). Serta membentuk sikap positif masyarakat yang selalu berusaha untuk maju atau sikap “N ach” ( Need of achievement ). Secara teoritis kebudayaan adalah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang membedakan suatu masyarakat dari yang lainnya. Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari (learned behaviour) yang ditularkan dari satu anggota masyarakat kepada yang lainnya. Beberapa unsur kebudayaan ditularkan antar generasi. Kebudayaan suatu masyarakat sangat menentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana aktivitas bisnis atau perusahaan dijalankan dalam masyarakat tersebut. Pada saat era globalisasi sekarang ini, masalah karakteristik kebudayaan perlu diperhatikan karena mempunyai relevansi dengan bisnis internasional. Sehingga Kebudayaan nasional bisa menjadi leverage atau daya ungkit kemajuan bangsa. Berbagai kecelakaan transportasi atau kecelakaan kerja yang sering terjadi di negeri ini terkait erat dengan faktor kebudayaan. Terutama sikap disiplin dan teliti dalam bertindak atau beroperasi. Itulah sebabnya laporan ILO ( International Labour Organization ) menyatakan bahwa standar keselamatan kerja di Indonesia termasuk dalam peringkat terburuk jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Titik kritis keselamatan kerja selain disebabkan oleh semakin tuanya infrastruktur dan peralatan juga disebabkan oleh buruknya budaya keselamatan kerja yang diterapkan di negeri ini.
Terkait dengan leverage diatas, pentingnya strategi kebudayaan dari pemimpin pemerintahan yang memiliki pemahaman tentang budaya kosmopolitan. Menurut Schein budaya ada dalam tiga tingkat, yakni artifact, espoused values (nilai-nilai yang didukung dan underlying assumptions ( asumsi yang mendasari ). Tiga elemen budaya itulah yang harus direkayasa untuk mewujudkan kemajuan bangsa. Artifact menyentuh semua bidang dan segi kehidupan, termasuk produk,jasa, dan tingkah laku sebuah kelompok. Dalam kompetisi global yang sangat keras sekarang ini, pemerintahan harus mampu mewarnai corporate culture ( budaya perusahaan ). Apalagi hingga saat ini banyak BUMN dan BUMD yang salah urus dan selalu merugi sepanjang jaman karena tidak bisa membangun budaya perusahaan. Begitupula etos kerja pegawai negeri sipil juga terpuruk karena pemahaman terhadap budaya organisasi masih lemah. Partai politik juga belum mampu membangun budaya organisasi dengan benar sehingga rawan konflik dan krisis intelektual. Padahal, fakta telah mengatakan kepada kita bahwa perusahaan multinasional saja seperti AT&T, General Electric, IBM, DuPont yang tingkat kemajuannya melesat sangat jauh juga telah membangun budaya korporasinya secara konsisten. Untuk mewujudkan corporate culture di Indonesia diperlukan rekayasa sosial lintas disiplin ilmu serta memberikan peran yang berarti kepada para budayawan. Tipe budayawan yang dibutuhkan pada saat ini adalah sosok yang memiliki dialektika kebudayaan lokal dan kosmopolitan.
Kini kebudayaan nasional bisa dianalogikan sebagai bendera lusuh yang berkibar dihalaman rumah kita. Salah urus kebudayaan di negeri ini menyebabkan rendahnya positivity masyarakat. Akibatnya kemajuan negeri ini akan sulit tercapai. Strategi pembangunan apapun bentuknya yang dijalankan oleh pemerintah bisa gagal jika salah urus kebudayaan nasional masih terjadi.

Tidak ada komentar: