Koran Jakarta 17 Oktober 2013
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang
diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebaiknya dijadikan momentum untuk menata
produksi pangan nasional dengan berbagai terobosan. Peringatan itu dimulai
sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui
Resolusi PBB No. 1/1979 di Roma Italia. Sejak 1981 disepakati oleh seluruh
negara anggota FAO untuk memperingati HPS dengan berbagai aksi nyata terkait
dengan masalah pangan. Peringatan HPS di Indonesia tahun ini menekankan
pentingnya kepedulian masyarakat terhadap pentingnya penyediaan pangan yang
cukup dan bergizi. Disamping itu juga perlunya membentuk ketahanan pangan
nasional yang berbasis sumber daya lokal.
Keanekaragaman pangan
bisa menjadi katup pengaman terjadinya krisis pangan dunia. Pentingnya produk
substitusi pengganti gandum. Produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman
umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar
negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor.
Pada saat ini pangan tradisional menemukan momentum emas sehingga bisa unjuk
gigi. Banyak orang merindukan pangan atau makanan tradisional. Kondisi tersebut
mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional
sehingga lebih adaptif dengan selera pasar. Selama ini industri makanan
tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta
memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan.
Makanan tradisional
juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya,
produsen makanan tradisional masih sarat dengan masalah. Yang paling menonjol
adalah kurangnya insentif dan pembinaan sehingga berakibat rentannya
perlindungan konsumen. Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan
tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan.
Secara harfiah, pengertian makanan tradisional adalah makanan, minuman, dan
bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang
secara spesifik di daerah. Biasanya makanan tradisional diolah dari resep yang
sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari
sumber lokal. Serta memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera
masyarakat setempat. Selama ini usaha untuk menerapkan manajemen mutu bagi
usaha makanan tradisional belum optimal. Sehingga produk pangan tradisional
kerap mengalami penolakan. Sekilas produk tersebut ditolak hanya karena alasan
kotor (filthy).
Pentingnya
membangkitkan kesadaran akan mutu yang dimulai dari diidentifikasikannya
persyaratan konsumen, gagasan konsep produk, bahkan setelah pengiriman pada
konsumen. Ringkasnya, kesadaran membangun mutu termasuk pula mendengar harapan
konsumen, sehingga terciptanya interaksi dalam sistem manajemen mutu. Dunia
mulai dihadang oleh masalah pangan. Sayangnya belum ada kebijakan luar biasa
untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan.Mestinya ada terobosan yang
esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan secara gratis
kepada seluruh lapisan rakyat dalam jumlah yang cukup. Terobosan diatas juga
untuk mengatasi kesenjangan produktivitas. Dimana produktivitas pertanian di
negara maju dengan negara berkembang sangat timpang. Sistem atau pola pertanian
yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang berbeda yaitu;
pertama, pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi
tinggi, dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga
tinggi. Kedua, pola pertanian yang tidak atau kurang berkembang yang terjadi di
negara-negara berkembang. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil
yang diperoleh acapkali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri.
Sehingga antara negara maju dan negara berkembang muncul suatu kesenjangan yang
disebut sebagai kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000 kesenjangan
produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1. Program Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang selama ini dilakukan pemerintah mestinya
menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat.
Apalagi, dana yang terkumpul dari Program GP3K cukup besar. Dari pihak BUMN
saja pada 2011/2012 bersedia mengucurkan hingga Rp 1,5 triliun. Ketersediaan
dana tersebut mestinya sebagian bisa dipakai untuk membangun infrastruktur
untuk memproduksi benih yang bermutu. Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini
jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana yang
sangat besar. Seperti halnya rencana untuk mendirikan BUMN Pangan dan membuat
food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu yang cukup lama dan
belum tentu sukses. Sementara kebutuhan perut rakyat tidak bisa berhenti
menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek tersebut tanpa penataan corporate
farming yang baik justru akan mengakibatkan kegagalan.
Bangsa Indonesia
hendaknya belajar berbagai aspek corporate farming dari negara Brasil yang
telah sukses menjadikan negaranya sebagai pengekspor produk pangan terkemuka
pada saat ini. Salah satu bukti keberhasilan itu adalah kemampuan Brasil
mengekspor kedelai sekitar 40 juta ton setiap tahunnya ke negeri Cina.
Teknologi pertanian di Brasil juga masih menjunjung tinggi kearifan organik dan
lepas dari ketergantungan pupuk kimia dan obat-obatan pertanian sejenis
insektisida. Brasil berhasil melintasi krisis kapitalisme global karena
berhasil mewujudkan tatakelola corporate farming sebaik-baiknya. Antara lain
menjadikan lembaga koperasi pertanian dinegara itu memiliki peran yang besar.
Pemerintah Brasil juga telah membangun infrastruktur pertanian, pengairan,
perhubungan dan lain-lain yang bisa menunjang dengan baik apa yang dibutuhkan
corporate farming.
Dalam mengantisipasi
krisis pangan ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan, yakni budaya dan
usaha pemuliaan benih tanaman. Sayangnya, budaya dan usaha itu kini semakin
tergilas oleh kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha
pemuliaan dan produksi benih mestinya harus digenjot, mengingat banyak lahan
kritis dan terbengkalai serta pekarangan rumah rakyat di Pulau Jawa yang belum
tergarap secara baik. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan
yang luar biasa jika kondisinya berkecukupan benih. Masalahnya tinggal
bagaimana pemerintah menyediakan benih unggul dan mendorong budaya pemuliaan
benih. Sebagai negara agraris seharusnya Indonesia memiliki kemajuan dalam
rekayasa perbenihan. Kemajuan itu ditandai dengan kemampuan pemerintah menyediakan
secara gratis benih unggul apa saja kepada rakyat luas. Atau setidak-tidaknya
dengan harga yang murah. Dengan langkah itu maka program ketahanan pangan
keluarga akan terwujud. Sayangnya hingga kini masalah benih belum menjadi
prioritas utama. Buktinya, hingga kini Indonesia masih sangat tergantung pada
impor benih, seperti misalnya padi hibrida dari Cina. Sudah waktunya Pemerintah
Daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan
untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga. Masih
banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong melompong karena kesulitan
mendapatkan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan
secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan rakyat akan menjadi
produktif.
Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif
bahwa perkara pemuliaan benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset
pemerintah atau perguruan tinggi saja, masyarakat harus pula dilibatkan secara
aktif. Tata kelola dan program pemuliaan benih hingga saat ini masih
memprihatinkan. Akibatnya ketersediaan benih unggul tanaman secara nasional
maupun daerah sering kedodoran pada musim tanam. Kondisinya semakin runyam
karena kini banyak balai benih milik pemerintah yang tidak berfungsi secara normal
karena salah urus. Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di beberapa
daerah seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura milik daerah bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasil
pemuliaannya bisa disebarkan kepada masyarakat. Namun kenyataannya balai
semacam itu kini kondisinya kurang produktif. Mestinya ada insentif dan injeksi
permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Seperti di negara Brasil
yang mana dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif yang cukup
besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi pemuliaan benih dengan
teknologi transgenik pada saat ini perkembangannya sangat pesat. Sementara
usaha benih secara konvensional berjalan lambat akibat biaya produksi yang
cukup tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar