Koran Jakarta , 15 Desember 2013
Masalah subsidi
perikanan telah menjadi polemik hebat di tingkat global. Negara-negara maju tak
henti-hentinya menuntut dihapuskannya subsidi perikanan dalam berbagai forum.
Ada baiknya menepis tuntutan diatas, termasuk dalam forum KTM WTO di Bali.
Indonesia jangan sampai terjerumus dalam polemik subsidi perikanan sehingga
usaha untu memperbaiki nasib nelayan kecil terganggu. Selama ini definisi
tentang nelayan kecil di forum internasional masih bias. Begitupun di dalam
negeri juga masih terjadi perbedaan pendapat terkait definisi nelayan kecil.
Padahal definisi baku tersebut perlu segera ditentukan karena terkait dengan
esensi Peraturan Pemerintah tentang Pembudidaya Kecil dan Nelayan Kecil. Selama
ini jumlah subsidi yang diberikan pemerintah untuk usaha perikanan tidak kecil
dan pada saat ini negara-negara maju cenderung beranggapan bahwa subsidi
perikanan mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan
dampak serius terhadap cadangan ikan. Saat Deklarasi Paracas di Peru yang
merupakan forum menteri kelautan dan perikanan kawasan Asia Pasifik yang
tergabung dalam forum Asia Pacific Economie Co-operation (APEC), pemerintah
Indonesia memutuskan untuk tetap memberikan subsidi perikanan bagi nelayan
berskala kecil meskipun hal tersebut mendapat pertentangan dari negara-negara
maju. Akar persoalan subsidi perikanan tidak sama bagi negara maju dengan
negara berkembang. Sehingga sulit dicari titik temu. Namun demikian Indonesia
juga harus memperhatikan kaidah di dalam Agreement on Subsidies and Countervailing
Measures (ASCM) yang terdapat dalam dokumen WTO yang terbit 1999.
Ada masalah
yang terkait dengan pemberian subsidi perikanan yang tidak tepat sasaran. Yang
menerima justru bukan nelayan kecil yang sebenarnya, tetapi jatuh kepada cukong
besar. Seperti kasus subsidi BBM kepada nelayan yang justru dimangsa oleh
pengusaha besar atau para penyelundup. Juga subsidi pengadaan kapal nelayan
yang tidak cocok spesifikasinya sehingga kapal tersebut tidak terpakai dan
sia-sia padahal sudah menghabiskan anggaran yang sangat besar. Dalam ketentuan
ASCM, definisi subsidi perikanan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu
pertama, subsidi yang dilarang karena dapat meningkatkan kapasitas tangkap dan
mendistorsi perekonomian negara lain (prohibited subsidies). Kedua, subsidi
yang diperbolehkan selama tidak ada negara lain yang dirugikan karena kebijakan
itu (actionable subsidies). Dan ketiga subsidi yang tidak termasuk dalam dua
kategori tersebut (nonactionable subsidies). Di Indonesia pemerintah menyatakan
subsidi kepada pelaku pada sektor ini tidak ada hubungannya dengan kelebihan
kapasitas tangkap. Namun demikian, pencurian ikan oleh pihak luar dalam skala
besar dan jika dibiarkan begitu saja oleh otoritas keamanan laut Indonesia,
maka hal itu bisa dianggap sebagai prohibited subsidies khususnya meningkatkan
kapasitas tangkap. Apalagi kapal-kapal pencuri ikan tersebut memakai BBM
bersubsidi secara ilegal lalu membanjiri pasar domestik dengan ikan hasil
tangkapannya.
Selama ini dinas Kelautan dan Perikanan di daerah belum inovatif
dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi sumber daya
kelautan dan perikanan yang luar biasa besarnya itu belum terkekola dengan baik
akibat rintangan teknologi dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil sebaiknya mencakup program relokasi bagi nelayan. Kehidupan nelayan di
negeri ini didera sederet persoalan krusial. Berupa serbuan ikan impor dari
negara lain yang membanjiri pasar domestik. Juga masalah persediaan BBM untuk
melaut. Profesi nelayan kini masih terpuruk karena insentif dan program
pemberdayaan nelayan kurang menjangkau secara luas. Para nelayan sering tidak
bisa memenuhi biaya operasional. Akibatnya, waktu menganggur nelayan semakin
panjang. Program alih profesi bagi nelayan tangkap ke arah budidaya ternyata
juga kurang efektif dan justru menyebabkan stagnasi produksi dan semakin
tingginya intensitas pencurian ikan oleh pihak asing. Semua itu sebenarnya
takkan bertambah parah jika para nelayan tangkap jauh-jauh hari sudah diberdayakan
dengan menekankan aspek inovasi teknologi dan insentif BBM untuk melaut. Jika
program pemberdayaan nelayan bisa dilakukan secara efektif, target Indonesia
menjadi eksportir perikanan terbesar di dunia dengan produksi mencapai 65 juta
ton per tahun akan bisa cepat terwujud. Apalagi hal tersebut sangat didukung
oleh luas perairan laut yang mencapai 580 juta hektare.
Sayangnya, fakta
berbicara lain. Ada paradoks yang menyesakkan dada. Sebagai negeri maritim,
Indonesia harus impor ikan dalam jumlah besar untuk kelangsungan hidup industri
perikanan. Impor ikan setiap tahunnya meningkat 35 persen. Tahun 2012, impor
ikan sekitar 650.000 ton atau naik dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar
450.000 ton. Membanjirnya ikan impor baik yang legal maupun ilegal akibat
industri pemindangan dan pengalengan dalam negeri kekurangan bahan baku. Betapa
ironisnya ketika kita dihadapkan data dimana dengan luas lautan Indonesia yang
sekitar 5,8 juta kilometer persegi, produksi perikanan tangkap baru sekitar 5
juta ton per tahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dari negara Tiongkok yang
menghasilkan ikan 16 juta ton per tahun meskipun perairannya lebih sempit.
Kondisi di atas sulit berubah karena SDM kelautan negeri ini masih terbelit
masalah keterbatasan alat tangkap dan kompetensi teknologi tentang kelautan dan
perikanan. Langkah Kementerian Perikanan dan Kelautan tentang pengadaan kapal
tangkap untuk nelayan banyak yang salah sasaran. Begitu juga pengadaan itu
belum ditunjang dengan pembangunan gudang ikan yang memadai. Gudang ikan
kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet saja memerlukan listrik 40
ribu watt. Sementara pasokan listrik sebesar itu masih sulit tersedia di daerah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Idealnya, gudang penyimpanan ikan dilengkapi
freezer selain cold storage. Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40
derajat untuk mempertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembang-biaknya
bakteri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke
cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu untuk dikapalkan
lebih lanjut.
Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang
akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi sebaiknya dipahami
dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti
potensi terjadinya konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip
mengefektifkan biaya operasi. Pentingnya kebijakan transformasi nelayan yang
bertujuan untuk merubah mata pencaharian nelayan baik secara vertikal, misalnya
dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan.
Atau bisa juga dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan
menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan
adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan
oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Yaitu bentuk
Regional Fisheries Management Organization. Yang pada prinsipnya kebijakan
tersebut menitikberatkan pada kerjasama regional atau level negara dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas.