Rabu, 13 Januari 2010
Pendidikan nonformal bisa tingkatkan indeks inovasi bangsa Indonesia yang sedang terpuruk
Pendidikan Nonformal dan Difusi Inovasi
Oleh HARJOKO SANGGANAGARA
Penyelenggaraan pendidikan nonformal kini dalam kondisi lesu darah dan kurang diminati rakyat. Lembaga pendidikan nonformal perlu transformasi agar lebih bernilai tambah untuk rakyat. Lembaga ditingkat kecamatan yakni PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) ditingkat kabupaten/kota sebaiknya segera ditransformasikan menjadi wahana difusi inovasi. Dalam teori sosiologi, difusi inovasi sering dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Sedang inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial itu pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Pakar sosiologi Rogers dan Shoemaker menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Pada prinsipnya difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran komunikasi tertentu, pada suatu kurun waktu tertentu, kepada anggota suatu sistem sosial. Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20. Ketika seorang sosiolog Perancis Gabriel Tarde, memperkenalkan kurva difusi berbentuk S (S-shaped diffusion curve). Kurva itu pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Berbicara masalah inovasi tidak harus diasosiasikan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh lembaga iptek pemerintah ataupun perguruan tinggi. Sebetulnya kegiatan inovatif dapat dilakukan oleh masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi. Pada prinsipnya sumber inovasi, baik itu produk atau proses merupakan proses belajar (learning). Dalam konteks ekonomi makro, learning itu sebagai salah satu komoditas ekonomi yang penting sementara prosesnya dapat terjadi melalui berbagai mekanisme baik secara perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Agar rakyat mampu melakukan kegiatan inovatif maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya yaitu dengan memperkuat kapasitas learning-nya. Jadi, aliran informasi dan knowledge dari sumber-sumber ilmu dan teknologi ke masyarakat perlu terus menerus difasilitasi lewat wahana yang berupa pendidikan non-formal. Wahana tersebut dimaksudkan untuk membentuk dinamika belajar melalui belajar sambil bekerja (learning by doing), belajar sambil memakai (learning by using), dan belajar sambil saling berhubungan (learning by interacting). Kesemuanya itu merupakan jalur cepat untuk meningkatkan produktivitas ke arah standar yang lebih tinggi.
The International Council for Educational Development (ICED) menekankan bahwa penyelenggaraan pendidikan nonformal yang berkualitas sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan. Lembaga itu mengelompokkan pendidikan non-formal ke dalam empat kategori yakni; (1) Pendekatan pendidikan perluasan (extension approach), (2) Pendekatan pelatihan (training approach), (3) Pendekatan pengembangan swadaya masyarakat ( the co-operative self- help approach), dan (4) Pendekatan pembangunan terpadu (integrated development approach). Sementara, pendidikan non-formal yang selama ini berlangsung di Jawa Barat baru sebatas extension approach. Seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki SKB yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas. Sayangnya, hampir semua SKB program kerjanya sangat minimalis, ketinggalan jaman dan ala kadarnya. Padahal, prasarana SKB kebanyakan sudah cukup memadai. Begitupula para pamong atau pengajar yang berstatus PNS setiap tahun terus ditambah.
Transformasi pendidikan nonformal di Jabar menjadi wahana difusi inovasi sebaiknya dimulai dengan penyadaran dan pembelajaran yang berhubungan dengan motivasi, pengetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan taraf kehidupan sehari-hari. Selanjutnya diberikan pencerahan tentang hakekat inovasi yang bisa memberi keuntungan ekonomi. Pencerahan itu sesuai dengan pemikiran Rogers yang membagi proses difusi inovasi dalam empat elemen pokok, yaitu : pertama, inovasi untuk hal-hal yang dianggap baru oleh kelompok sasaran. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep “baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Kedua, saluran komunikasi; yakni alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, perlu memperhatikan tujuan diadakannya komunikasi dan karakteristik penerima. Ketiga, jangka waktu proses inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima. Dimensi waktu terlihat dalam kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. Keempat, sistem sosial; yakni kumpulan unit yang berbeda secara fungsional namun terlibat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Difusi inovasi akan mendorong semangat dan kemampuan kewirausahaan masyarakat. Dan lebih efektif jika berbasis sumber daya lokal yang menjadi potensi daerah yang harus dikembangkan. Sebagai contoh difusi untuk pengrajin batu alam agar produknya tidak stagnan. Kita sering melihat dari masa ke masa pengrajin batu alam di suatu desa hanya membuat produk sederhana seperti cobek dan alat penumbuk makanan. Padahal, dengan adanya inovasi mesin pemotong dan pengasah batu, mereka bisa menghasilkan poduk yang lebih variatif dengan volume produksi yang lebih besar. Untuk menuju kondisi itu para pengrajin batu alam perlu pendidikan non-formal sebagai proses pembelajaran bersama yang dibangun di atas komunikasi yang efektif. Yang pada gilirannya mampu menciptakan inovasi yang dapat memberinya daya untuk bangkit dari keterpurukan.
*) Dimuat harian KOMPAS, 14 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)