Kamis, 01 Oktober 2009
Memaknai 2 Oktober sebagai hari BATIK
Mengembangkan Batik Tak Sebatas Warisan Budaya Dunia
Oleh : Harjoko Sangganagara
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO pada 2 Oktober 2009 mendeklarasikan Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Momentum tersebut mestinya dimaknai oleh segenap negeri ini untuk meningkatkan harkat hidup para perajin dan buruh pembatik. Selain menjadi warisan budaya yang termashur batik juga harus bisa menjadi leverage ekonomi kerakyatan. Apalagi banyak daerah yang mulai mengembangkan industri Batik dengan motif khas daerahnya. Dari aspek budaya, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi batik adalah asli Indonesia. Hal itu bisa dibuktikan dari definisi Batik yang dikeluarkan oleh The Textile Museum di Washington DC Amerika yang mendefiniskan batik sebagai “ Indonesian term for the wax-resist dyeing process, or a fabric decorated with this process. Such fabrics reached fantastic heights of virtuosity on the island of Java in Indonesia in the late 19th and early 20th centuries after the introduction of machine-made cotton fabrics permitted more finely controlled designs.”
Istilah Batik berasal dari akar kata bahasa Jawa yakni ambatik yang berarti menulis atau menggambar bentuk yang serba rumit (kecil-kecil) pada kain dengan mempergunakan lilin (malam) dan alat yang bernama canting. Yang dimaksud dengan teknik membuat batik adalah proses pekerjaan dari tahap persiapan kain sampai menjadi kain batik. Pekerjaan persiapan meliputi segala pekerjaan pada kain mori hingga siap dibuat batik seperti nggirah/ngetel (mencuci), nganji (menganji), ngemplong (seterika), kalendering. Sedangkan proses membuat batik meliputi pekerjaan pembuatan batik yang sebenarnya terdiri dari pembuatan motif, pelekatan lilin batik pada kain sesuai motif, pewarnaan batik (celup, colet, lukis /painting, printing), yang terakhir adalah penghilangan lilin dari kain. Teknologi pembuatan batik di Indonesia pada prinsipnya berdasarkan Resist Dyes Technique atau Teknik celup rintang. Untuk membuat motif batik umumnya dilakukan dengan cara tulis tangan dengan canting tulis (batik tulis atau batik painting), menggunakan cap dari tembaga disebut (batik cap), dengan jalan dibuat motif pada mesin printing (batik printing), dengan cara dibordir disebut batik bordir, serta dibuat dengan kombinasi. Dimasa mendatang perlunya eksplorasi motif-motif unik untuk meningkatkan daya saing global. Motif unik itu bisa mengambil bentuk-bentuk bangunan bersejarah, flora, fauna dan keindahan alam di Indonesia.
Bangsa Indonesia mestinya memaknai Batik tak sebatas warisan budaya dunia. Apalah arti warisan budaya dunia jika tidak bisa menjadi leverage ( daya ungkit ) ekonomi kerakyatan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa hingga saat ini para pembatik atau buruh industri Batik nasibnya masih terpuruk. Masih banyak diantara mereka yang upahnya masih dibawah UMR. Upah atau imbalan buruh industri Batik masih dibawah buruh TPT. Apalagi industri atau pengrajin batik tradisional mulai digilas oleh batik printing. Pemerintah dan pengusaha batik seringkali kurang menghargai para pembatiknya. Status pembatik belum dikategorikan sebagai profesi formal ataupun seniman. Mereka adalah pekerja informal yang mudah dicampakkan karena tidak tersentuh peraturan ketenagakerjaan. Timpangnya besaran upah karena sistem kerja dan sistem pengupahan yang berdasarkan borongan. Selama ini jaringan bisnis perajin batik merupakan jaringan tradisional yang sangat rentan. Jaringan itu mulai pengadaan bahan baku hingga pemasaran. Sampai saat ini masih jarang lembaga sejenis koperasi yang dapat membantu perajin batik mengatasi masalah penyediaan bahan baku dan bahan pendukung serta mekanisme pemasaran. Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi dewa penolong adalah mewajibkan PNS dan BUMN untuk memakai baju batik pada hari Jumat dan Sabtu. Pemerintah pusat dan daerah mestinya memberikan bantuan konkrit kepada industri batik tradisional. Bantuan itu antara lain memberikan pelatihan yang berkaitan desain produk. Memberikan perlindungan hak paten pada motif batik khas daerah. Membantu penerapan standardisasi mutu produk melalui pelatihan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pemerintah juga harus ikut berperan memperluas pemasaran yaitu melalui terobosan pasar dan pameran pada event penting seperti misalnya SIBEx (Solo International Batik Exhibition).
Industri batik tradisional merupakan usaha home industry yang mengandung nilai ketahanan budaya yang strategis dilihat dari sudut integrasi antar etnis. Masalah serius yang menghadang industri batik tradisional antara lain adalah yang menyangkut desain produk yang monoton alias kurang kreatif. Demikian juga dalam penggunaan bahan baku dan pewarna belum banyak variasi. Kurangnya kreativitas yang stagnasi produk disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor usia pengusaha yang relatif sudah tua, faktor minimnya pengetahuan tentang disain, dan takut rugi bila membuat produk kreasi baru. Pemerintah harus mampu mendorong dan menyegarkan motif dan selera estetik para pengrajin batik tradisional. Juga Memperkenalkan tenik pengerjaan yang lebih efisien dan efektif serta penggunaan alat bantu produksi yang mampu meminimalisir cacat produksi. Salah satu alat yang perlu dintrodusir kepada para perajin batik tradisional adalah feeder. Alat tersebut berfungsi sebagai bak pewarna yang menggunakan tiga rol atau lebih. Dengan menggunakan feeder maka kain tidak perlu dilipat bila dimasukkan dalam bak pewarna yang bisa menyebabkan pecahnya malam/lilin. Penggunaan tiga buah rol dalam feeder dimaksudkan agar warna lebih merata serta air yang terserap kain saat masuk bak dapat terperas lebih tuntas. Dengan menerapkan feeder tersebut selain untuk menghindari pecahnya rnalam juga untuk menghemat cairan obat pewarna. Hal penting lainnya adalah meningkatkan diversifikasi produk batik dalam berbagai fungsi sehingga tidak monoton sambil mempertimbangkan kebutuhan pasar. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah bekerja sama dengan pengrajin bordir, pengrajin tas dompet kulit, pengrajin kayu, dan lain-lain. Untuk memanfaatkan sisa kain sebagai bahan pendukung pembuatan souvenir yang memiliki ciri khas daerah maupun membatik dengan medium non kain.
*) Budayawan, Peserta Program S-3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung
**) Artikel ini dimuat harian KONTAN, 2 Oktober 2009
Langganan:
Postingan (Atom)