Pikiran Rakyat |30
Agustus 2014
Oleh : Harjoko Sangganagara *)
Sosok Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menjadi
gambaran publik seperti apa haluan ekonomi pemerintahan baru dibawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Melihat kondisi APBN 2015, terbayang betapa
beban berat Menkeu baru sudah didepan mata. Publik berharap adanya revolusi
fiskal agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul bisa menjadi alat yang
efektif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kewenangan luar biasa yang ada
ditangan Menkeu yang termaktub dalam undang-undang harus diakselerasi sehingga
bisa membawa kesejahteraan rakyat. Antara lain kewenangan yang terkait dengan
insentif fiskal. Apalagi jika nantinya ada kenaikan harga BBM bersubsidi,
beberapa sektor tentunya membutuhkan insentif yang tepat. Seperti insentif
terhadap usaha angkutan penumpang dan barang terkait dengan pengadaan suku
cadang, kredit usaha, pajak dan lain-lainnya. Karena tanpa insentif yang benar
sektor usaha tertentu akan terpuruk dan mati.
Revolusi fiskal
terkait dengan tiga aspek, yakni revolusi penerimaan negara, alokasi dan
efisiensi belanja secara ketat, serta manajemen pengelolaan APBN yang anti
bocor. Terkait dengan revolusi penerimaan negara, perlunya membongkar kebiasan
lama yang buruk terkait dengan tatakelola pajak. Pentingnya merancang ulang
pajak progresif pada kelompok berpendapatan atas. Dibutuhkan mekanisme yang
tegas terkait ketaatan bayar pajak dan penurunan kebocoran pajak harus dibuat
maksimal lewat perubahan fundamental sistem maupun teknologinya. Terutama untuk
mengatasi kebocoran pajak di sektor migas, pertambangan, impor dan barang
mewah. Revolusi fiskal juga harus mencegah alokasi belanja yang selama ini
habis untuk kepentingan birokrasi (belanja pegawai dan barang), juga untuk
sektor-sektor yang kurang terkait dengan hajat hidup rakyat luas. Dalam situasi
penyelenggaraan negara yang kurang efektif dan disana-sini masih terlihat boros
seperti sekarang ini, dibutuhkan sosok Menkeu yang pro-rakyat dan sekaligus mampu
menciptakan inteligensi keuangan negara. Pro-rakyat dalam arti memiliki mahzab
yang kuat dalam hal pembagian kue pembangunan yang berbasis keadilan sosial.
Hal itu tercermin dalam politik anggaran nasional dan daerah. Selama ini proses
penyusunan anggaran kurang menyerap aspirasi rakyat luas. Akibatnya, postur
anggaran belum menampakan harapan baru dari sisi kepentingan rakyat luas.
Bahkan mencuatkan berbagai kekawatiran sehubungan dengan lemahnya elemen
pengendalian dan pengawasan. Pentingnya menyehatkan politik anggaran di daerah
agar tidak terjadi ketimpangan dan kebocoran. Jika dilihat dari volumenya maka
kebanyakan APBD kurang signifikan dibandingkan dengan faktor demografi,
geografis serta pertumbuhan IPM. Para penguasa daerah cenderung memutuskan
belanja untuk sektor publik masih dibawah belanja birokrasi. Buruknya proses
dan kualitas penyusunan APBD merupakan indikasi bahwa kebijakan keuangan di
negeri ini belum pro-rakyat.
Terkait dengan nilai
tukar rupiah Menkeu baru perlu mengadopsi pemikiran Herman Minsky seperti yang
tersirat dalam bukunya yang berjudul “Stabilizing the unstable economy”. Buku
tersebut bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi perekonomian yang
mungkin akan mengguncang bangsa Indonesia lagi. Selama ini para akademisi dan
praktisi ekonomi mengenal istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi
yang berada dalam kondisi turbulensi. Kini istilah tersebut menjadi relevan
kembali setelah sekian lama tertimbun oleh keangkuhan neoliberalisme. Selama
ini pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua rejim
pemerintahan di muka bumi ini menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar
bekerja dengan sempurna, termasuk di antaranya membuat UU yang memuluskan
pergerakan barang, jasa, dan keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung,
serta mencegah segala rupa gangguan yang datang dari individu atau kelompok
terhadap bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Intinya, dalam rejim neoliberal,
peran negara adalah tut wuri handayani, mendukung dari belakang.
Namun, setelah sekian lama apa yang terjadi.
Ternyata daya dan upaya diatas justru mengakibatkan turbulensi yang tiada
henti-hentinya. Dengan kondisi diatas, banyak pihak yang merekomendasikan
inversi atau membalik situasi yang menyebabkan turbulensi tersebut. Yakni memberlakukan
kebijakan dimana sebaiknya pasar tidak lagi dilepas sebebas-bebasnya. Dibalik
rekomendasi tersebut, bekerja model analisis yang melihat krisis yang terjadi
selama ini bersifat siklikal yang bersandar pada teori siklus bisnis (bussines
cycle), yang populer disebut Minsky Moment. Teori siklus bisnis itu secara
sederhana dinyatakan adanya dua periode. Pada mulanya adalah periode optimisme
dalam pasar finansial, yang ditandai oleh tindakan agresif dan ekspansif dari
pemberi dan penerima pinjaman karena adanya peluang keuntungan besar di masa
depan yang bisa diraih segera. Akibatnya, dalam periode ini, kehati-hatian
dalam pasar diabaikan, praktek spekulasi sangat dominan sehingga menggiring
pada periode yang disebut “the death of business cylce”. Lalu muncul periode
yang pesimis, yang ditandai oleh hilangnya kepercayaan pada pelaku pasar yang
kemudian menyebabkan terjadinya krisis finansial.
Jika Keyness dikenal
dengan rekomendasi untuk mengedepankan kebijakan moneter dibandingkan dengan
stimulus fiskal. Dan kebijakan untuk melahirkan surplus budget ketika periode
pertumbuhan sehingga ada ruang pergerakan untuk membawa siklus bisnis ke
wilayah soft landing jika terjadi ketidak stabilan atau gangguan turbulensi.
Maka Minsky mengusulkan cara yang berbeda. Ia lebih menekankan pada bahaya yang
dihadapi oleh suatu bangsa yang mengalami turbulensi ekonomi, yakni apa yang
disebutnya dengan fenomena ketidak pastian aliran investasi yang dapat
mengganggu aliran dana segar atau cash flow pada saat terjadi turbulensi atau
gangguan perekonomian. Gangguan ini melahirkan apa yang disebutnya dengan tajuk
volatility of investment. Dalam bukunya Minsky menjelaskan mengapa ekonomi
suatu bangsa bisa rentan jika berhadapan dengan fluktuasi dan bagaimana mungkin
kita memiliki instrument untuk memagari perambatan fluktuasi yang terjadi.
Menurutnya proses yang menyebabkan financial fragility bersifat alamiah yang
inheren ada sebagai kekuatan tersembunyi yang bekerja dalam sistem ekonomi
suatu bangsa. Minsky lebih mengedepankan peranan inovasi dan daya
entrepreneurship untuk mengambil resiko sebagai faktor penggerak utama dari
siklus bisnis. Hanya dengan program inovasi yang tepat dan menularkan
entreprenuership kepada rakyat luas yang mampu mengatasi turbulensi ekonomi.
Tantangan lain bagi Menkeu baru adalah
bagaimana mewujudkan inteligensi sistem keuangan negara. Sehingga ekosistem
keuangan negara bisa menjadi sistem cerdas yang bisa membantu secara baik
proses pembangunan. Beberapa rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan
bahwa penyerapan anggaran khususnya pada akhir tahun selalu bermasalah dan
penuh resiko merupakan penyakit lama yang perlu dituntaskan Menkeu baru.
Banyaknya temuan yang menyatakan bahwa penyerapan anggaran sering tidak sesuai
dengan ketentuan harus dielaborasi secara detail. Begitu juga dengan perilaku
penyerapan anggaran belanja yang menumpuk pada akhir tahun, yang notabene
merupakan kesempatan empuk bagi koruptor harus dicegah secara sistemik.
*) Dosen STIA Bagasasi Bandung.