Oleh Harjoko Sangganagara | Investor Daily. Minggu, 15 Juli 2012 | 0:35
Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama
Pemilukada DKI Jakarta telah melucuti kredibilitas lembaga survei. Betapa
melesetnya analisis dan prediksi lembaga survey terkait dengan hasil Pemilukada
DKI.
Tampaknya industri polling dan lembaga survei telah
tertampar oleh fenomena tipping point yang kini digenggam oleh Joko
Widodo–Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Jika kita simak buku best seller
karangan Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point, fenomena itu akan
tergambar secara gamblang. Pada prinsipnya fenemona tipping point adalah saat
ajaib ketika sebuah ide, perilaku, pesan, atau produk bisa menyebar seperti
virus ganas yang mampu menduplikasi dirinya secara deret ukur.
Untuk mengenali tipping point secara mendalam, sebaiknya
kita memahami istilah The law of the few (hukum tentang yang sedikit/ kecil),
The stickiness (faktor kelekatan), dan The Power of context (kekuatan konteks).
Tiga unsure itu akan menular, membesar, dan radikal.
Jokowi memiliki kar ya atau produk yang disasar dengan tepat
yang menyebabkan terciptanya tren atau popularitas yang luar biasa. Salah
satunya adalah baju kotak- kotak sebagai ikon kampanye. Sepak terjang Jokowi
selama ini juga telah menguraikan beberapa fenomena tipping point dalam
berbagai bentuk.
Fenomena itu telah mengubah cara berpikir semua pihak di
negeri ini tentang bagaimana idealnya menyebarkan sebuah ide dan melakukan
marketing politik secara efektif dan berbiaya murah. Mengingat selama ini
betapa besarnya ongkos politik bagi peserta pemilukada.
Fenomena Getok Tular
Pasangan Jokowi-Ahok selama kampanye larut di tengah
kehidupan rakyat secara apa adanya dengan pemikiran yang sangat generik,
sehingga semuanya bisa dicerna oleh rakyat kecil sekalipun. Strategi kampanye
Jokowi yang rendah hati dan mengedepankan nilai gotong royong telah melahirkan
fenomena word of mouth atau getok tular.
Strategi kampanye Jokowi mengandung sesuatu yang bernama
faktor kelekatan dan kekuatan konteks. Faktor kelekatan adalah sejumlah cara
tertentu untuk membuat sebuah kesan mudah menular dan terus diingat. Faktor
kelekatan menyiratkan perubahan atau aksi langsung dan berulang-ulang untuk
memicu epidemik positif. Strategi kampanye dengan fenomena word of mouth atau
getok tular itu sesuai dengan teori Gladwell yang mengkaji tren-tren dalam
dunia untuk menemukan petunjuk-petunjuk tentang cara membuat sebuah ide menjadi
sangat menular.
Hasil Pemilukada DKI Jakarta putaran pertama juga
mengindikasikan bahwa rakyat kini membutuhkan kepemimpinan yang transformatif,
yakni kepemimpinan yang tidak sekadar kepemimpinan politik, tapi juga
kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan daya kreativitas. Tampaknya
kepemimpinan yang transformatif telah diidam-idamkan oleh warga Ibu Kota.
Apalagi masa depan suatu bangsa ditentukan oleh sumber daya kreatifnya.
Ekonomi kreatif akan menjadi pilar kelangsungan hidup
bangsa. Tentunya, mulai sekarang para pemimpin bangsa mesti berpikir keras dan
cerdik. Selain itu, mereka harus memiliki konsep pembangunan yang hebat untuk
mengarahkan dan memfasilitasi rakyat untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang
menjadi andalan masa depan. Ekonomi kreatif yang berbasis lokalitas akan
menjadi mata pencaharian sebagian warga negara. Dengan demikian ekonomi kreatif
harus bisa bersaing secara global.
Konsepsi dan langkah inovasi dari Jokowi yang ditumpahkan
dalam entitas Solo Technopark telah berlangsung secara sukses. Ini akan menjadi
modal kepercayaan rakyat bahwa dirinya merupakan pemimpin yang transformatif.
Dukungan Jokowi terhadap mobil Esemka hasil karya anak negeri semakin
memperbesar kapasitas kepemimpinan transformatif itu.
Pemikiran dan agenda aksi Jokowi terkait dengan kreativitas
dan daya inovasi warga kota sejalan dengan pemikiran Lester Carl Thurow,
seorang guru besar dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Amerika
Serikat. Dia mengatakan, di masa mendatang peran sumber daya alam sebagai modal
dasar untuk keunggulan suatu bangsa akan berkurang bahkan akan habis. Peran itu
akan berada di tangan sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif.
Strategi Lompatan Katak
Kepemimpinan transformatif Jokowi juga mampu mendefinisikan
kembali orientasi dan strategi pembangunan daerah agar sesuai dengan semangat
zaman. Bahkan boleh dikatakan strategi pembangunan Jokowi lebih membumi dan
lebih rasional dibandingkan dengan strategi pembanguan pemerintah pusat yang
tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI).
Strategi pembangunan Jokowi berhasil mentransformasikan
pasar tradisional di Solo menjadi entitas ekonomi yang modern dan berdaya
saing. Tak mengherankan jika Jokowi kemudian berhasil menempatkan dirinya sebagai
salah satu walikota terbaik di dunia. Sementara itu, strategi MP3EI yang
terkesan eksklusif dan texbook thinking itu hingga kini belum menjadi strategi
yang ampuh untuk meningkatkan nilai tambah bangsa.
MP3EI masih menjadi barang asing bagi rakyat dan kurang
menarik bagi kalangan investor. Kita bisa analogikan strategi pembangunan
Jokowi yang progresif dan transformatif di atas dengan istilah leapfrogging
atau lompatan katak. Menurut Murphy, istilah leapfrogging pada mulanya
digunakan untuk menunjukkan betapa cepatnya dua negara yang kalah perang, yakni
Jerman dan Jepang dalam mengejar kemajuan teknologi dan industri.
Dalam konteks lompatan katak di atas, jika Jokowi nantinya
terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta, ada baiknya ia harus membebaskan dirinya
dari beban dan jeratan partai politik. Ini penting, agar dia bisa memperbaiki
strategi sebelumnya, untuk selanjutnya mampu melakukan lompatan besar demi
kemajuan DKI Jakarta.