Dimuat : Daily Investor. 20 Desember 2012
Banyak pihak yang tersentak ketika menghadapi fakta bahwa negeri ini telah dibanjiri oleh tepung singkong impor. Padahal, menurut kementerian pertanian Indonesia adalah produsen singkong nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Pemerintah selama ini terlalu menyepelekan komoditas primer yang bernama singkong dan belum menggiatkan inovasi teknologi pengolah singkong menjadi produk yang lebih bernilai tambah.
Hingga kini usaha penepung singkong di negeri ini tidak berkembang dengan baik. Akibatnya, negeri ini terpaksa mengimpor tepung singkong atau tapioka hingga mencapai 435 ribu ton pada 2011 dan 600 ribu ton pada 2012. Kita kurang menyadari bahwa singkong memilki rantai proses yang banyak dan panjang. Yang menghasilkan produk-produk turunan yang memilki nilai tambah tinggi. Produk turunan itu antara lain makanan (food), pakan ternak (feed), bahan bakar atau kimia (fuel/chemicals) dan sebagai bahan pupuk (fertilizer).
Pemerintah hendaknya menjadikan singkong sebagai produk primer dan melakukan investasi di sektor industri hilirnya..Investasi industri hilir yang berbasis inovasi akan membawa dampak ganda. Revitalisasi industri berbasis singkong sebaiknya masuk dalam skema Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berhubungan dengan pengolahan lebih lanjut produk primer dan pendalaman industri atau industrial deepening.
Pentingnya meningkatkan volume produksi singkong nasional. Selain itu juga harus ada proyeksi dan klasterisasi industri berbasis singkong. Salah satu negara yang cukup berhasil mengembangkan industri berbasis singkong adalah Thailand. Sekitar 95 % produk singkong Thailand diekspor sebagai bahan pakan ternak ke negera-negara di Eropa. Sisanya digunakan sebagai bahan makanan manusia. Sedangkan di Indonesia sekitar 60 % merupakan bahan pangan manusia dan 25 % lainnya digunakan untuk produksi tapioka.
Revitalisasi industri berbasis singkong sebaikya dalam konteks pengadaan biomaterial dalam siklus 4F (Food-Feed-Fertilizer-Fuel). Revitalisasi tersebut dalam bentuk mengembangkan budidaya singkong dalam skala perkebunan yang luas. Prospek produksi biomaterial di Indonesia akan disajikan dalam lima komoditas unggulan hasil perkebunan yang semuanya berdasarkan criteria massive dan memenuhi valuasi ekonomi. Kelima komoditas tersebut adalah kelapa sawit, singkong, jarak, tebu dan jagung.
Kalau dilihat dari sisi potensi untuk pengembangan tanaman singkong di Indonesia seharusnya tidak alasan adanya hambatan yang berarti. Bahkan produksi dan mutu singkong bisa ditingkatkan sehingga melebihi negeri lain. Hal tersebut karena secara agronomi sangat memungkinkan.
Sayangnya, fakta dilapangan berbicara lain, produktivitas lahan singkong di negeri ini masih rendah karena terkendala kualitas bibit yang masih rendah, cara budidaya yang asal-asalan, dan kelembagaan usaha tani singkong yang belum terbentuk dengan baik. Usaha pertanian masih diusahakan dalam skala kecil, ekstensif, terpencar-pencar, dan berorientasi subsistem. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya penggerakan dan pengembangan industri berbasis singkong. Dengan demikian implementasi revitalisasi sebaiknya berorientasi pada petani dalam kelembagaan gabungan kelompok tani atau Gapoktan. Dengan demikian bisa mengubah petani dari produsen semata mampu bertransformasi menjadi suplier dan sekaligus bisa menjadi farm gate system. Dimasa mendatang Gapoktan diharapkan bisa memiliki unit usaha produksi, pengolahan, pemasaran, hingga urusan pembiayaannya.
Ethanol sebagai turunan industri berbasis singkong prospeknya bagus tetapi masih terganjal oleh simalakama subsidi BBM di negeri ini. Subsidi BBM dinegeri ini menyebabkan harga dan proses bisnis bioethanol terkunci. Apalagi ada stigma masyarakat bahwa harga bioethanol mahal dan pasokan tidak menentu. Namun, demikian ancaman krisis energi dan semakin habisnya sumber daya minyak bumi, maka mau tidak mau bioenergi akan menjadi alternatif. Dengan demikian semakin pentingnya mengantisipasi dengan memperbaiki efektifitas dan produktifitas bioetanol berskala usaha rakyat maupun industri besar. Dengan itu semakin banyak singkong yang terserap sehingga harganya akan lebih kompetitif.
Pentingnya pengaturan masa tanam dan panen agar suplai bahan baku ke industri tapioka dan bioetanol tersedia cukup secara kontinu. Dengan demikian, petani singkong akan lebih sejahtera dan bangsa Indonesia akan mempunyai stok pangan yangandal serta solusi energi alternatif yang terbaharukan.
Masalah impor tapioka yang mencapai ratusan ribu ton per-tahun di negeri ini disebabkan karena selama ini kluster industri tapioka hanya berpusat di sebagian pulau Jawa dan Lampung. Itupun kondisinya sangat beragam dari skala usaha rumah tangga dengan peralatan sangat sederhana, dan kapasitas hanya puluhan kilogram sampai industri menengah dengan mesin yang cukup modern. Pasokan bahan baku singkong terhadap pabrik tapioka sering fluktuatif dengan mutu yang tidak seragam. Selain belum terjaminnya kesinambungan pasokan bahan baku singkong juga belum tertatanya zonasi pengembangan wilayah produk primer dengan kluster industri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar