Koran Jakarta| 29 Desember 2012
KORAN JAKARTA/REPIANTO DEWA AR
Oleh Dr H Harjoko Sangganagara, MPd
Organisasi korporasi, pemerintahan, dan lembaga kemasyarakatan perlu melakukan langkah esensial menjelang pergantian tahun dengan mengevaluasi kinerja setahun yang lewat, lalu membuat resolusi ke depan. Situasi dunia semakin membutuhkan SDM yang kreatif untuk menghalau krisis dan memenangi persaingan. Maka, resolusi diri dan organisasi penting untuk menggenjot kreativitas.
Diharapkan, pada 2013 mendatang, muncul para pahlawan di bidang inovasi. Pada era sekarang, untuk menuju kejayaan bangsa, dibutuhkan usaha keras dan cerdas segenap bangsa. Mereka harus memiliki karya-karya inovatif untuk bisa menerobos persaingan global. Dalam perjalanan ke depan, dibutuhkan pahlawan inovasi guna memenangi persaingan global dan mengatasi gonjang-ganjing, yakni ”The Great Disruption” yang tengah melanda dunia.
Negeri ini membutuhkan banyak pahlawan inovasi segala disiplin ilmu dan keanekaragaman budaya, baik tingkat dunia maupun lokal, yang memiliki arti strategis. Pahlawan inovasi bukan dilahirkan dari diri penguasa atau sangkar birokrasi.
Negeri ini memiliki indeks inovasi yang masih rendah. Budaya inovasi merupakan kunci persaingan bangsa ke depan. Menumbuhkan budaya inovasi jangan hanya bersifat seremonial. Kegiatan inovatif sebaiknya dilakukan masyarakat luas dalam bentuk yang bervariasi. Pada prinsipnya, sumber inovasi merupakan proses belajar (learning).
Dalam konteks ekonomi makro, learning merupakan salah satu komoditas ekonomi yang penting. Sementara prosesnya dapat terjadi melalui berbagai mekanisme perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Agar rakyat bisa berinovasi, harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologi dengan memperkuat kapasitas learning-nya. Jadi, aliran informasi dan knowledge dari sumber-sumber ilmu dan teknologi ke masyarakat perlu terus-menerus difasilitasi lewat wahana pendidikan formal dan nonformal.
Budaya inovasi negeri ini akan membaik jika daya kreativitas masyarakat ditumbuhkan dengan berbagai infrastruktur dan insentif. Pada dasarnya, kreativitas dapat berkembang di semua lini sejauh negeri ini menghargai dan mendorong warga untuk berkreasi. Dalam persaingan global yang sengat ketat dewasa ini, diperlukan berbagai right brain training untuk menggenjot daya kreativitas warga.
Menurut Steve Jobs, kreativitas berarti kemampuan mengaitkan berbagai macam bidang agar menjadi produk yang memiliki nilai tambah ekonomi. Salah satu alasan Jobs menjadi orang yang kreatif karena menghabiskan waktu untuk mengamati perilaku kehidupan dan mencari pengalaman-pengalaman baru.
Budaya inovasi dengan titik berat proses kreatif dan inovatif sebaiknya menjadi muatan kurikulum di sekolah-sekolah. Masih ingat pada saat yang lalu, ada mata pelajaran prakarya atau kerajinan tangan. Ini mau tak mau mewajibkan siswa untuk berkreasi membuat produk sehari-hari. Mestinya mata pelajaran tersebut digalakkan kembali dengan konten yang lebih relevan dengan zaman.
Potensi
Potensi sumber daya alam, ragam kebudayaan, dan jumlah penduduk sebenarnya memungkinkan Indonesia menjadi lahan subur proses inovasi dan produk inovatif. Sayangnya, kebijakan inovasi daerah yang mestinya menjadi ujung tombak sistem inovasi nasional belum dijalankan secara sungguh-sungguh. Kebijakan inovasi daerah acap kali tidak menginjak Bumi alias hanya di awang-awang.
Selama ini, kebijakan inovasi daerah masih terlalu teoretis dan kurang pragmatis. Pentingnya arti pragmatisasi sistem inovasi daerah agar semua energi tidak menggumpal di meja birokrasi, tetapi mencair, menjadi nilai tambah bagi masyarakat luas. Istilah pragmatisasi berasal dari bahasa Yunani, yakni "pragma" yang berarti perbuatan atau tindakan yang bermanfaat. Suatu kebijakan atau langkah bisa dianggap pragmatis apabila membawa hasil konkret dan dapat diaplikasikan secara luas. Pragmatisasi akan terwujud jika kebijakan inovasi daerah benar-benar berakar pada nilai-nilai lokal.
Pragmatisasi inovasi daerah hendaknya terfokus pada produk lokal berupa kerajinan rakyat (kriya) unggulan yang mestinya jangan hanya menjadi barang pajangan untuk pameran, tetapi juga mampu menerobos pasar global. Untuk menerobos pasar, dibutuhkan strategi diferensiasi produk kriya unggulan, tidak perlu berorientasi cost leader. Dalam arti mesti diproduksi secara massal dengan bantuan permesinan.
Sebaiknya kriya unggulan tetap dikerjakan tangan-tangan terampil anak bangsa. Hal itu sejalan dengan pendapat pakar manajemen industri, Michael Porter, yang menyatakan bila suatu produk tidak bisa menjadi cost leader, jadilah differentiator. Dengan demikian, untuk mengelola produk inovatif seperti kriya, strategi diferensiasi bisa menjadi daya saing yang sulit ditiru negara lain.
Contoh strategi diferensiasi yang sukses di pasar global adalah ukir-ukiran Jepara. Di pasar Amerika Serikat ukiran Jepara mampu bertahan dari gempuran produk massal China yang berorientasi cost leader. Meskipun harga jual lebih tinggi, pasar Amerika Serikat tetap memilih mebel ukiran Jepara karena mutu dan keunikannya. Mutu bisa dilihat dari kualitas presisi, pelapisan kayu, kekuatan sambungan, serta motif dan alur ukiran yang sangat berbeda sehingga memiliki keunggulan dibanding mebel China.
Strategi diferensiasi terhadap kriya unggulan harus segera dirumuskan. Kriya unggulan atau excellent craft pada prinsipnya merupakan produk yang dihasilkan dari perpaduan antara keterampilan dan daya kreativitas rakyat. Ada keunikan dalam memanfaatkan/pengolahan material, dan serapan budaya lokal. Strategi diferensiasi yang paling penting dan mendasar adalah aktivitas pelatihan masyarakat untuk membuat kriya unggulan. Pada saat ini semakin langka SDM yang bisa menggeluti produksi kriya secara baik.
Sudah waktunya pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan dengan infrastruktur dan sistem pengajaran yang modern. Jika itu dilakukan secara asal-asalan, akan sulit mewujudkan produk kerajinan masyarakat yang layak disebut sebagai kriya. Apalagi kriya unggulan yang mampu mewakili identitas bangsa. Metode pelatihan yang ideal, lewat lembaga pendidikan formal. Sayangnya, pada saat ini sangat jarang, bahkan belum ada sekolah kejuruan yang fokus pada pengajaran kriya unggulan.
Dulu, ada sekolah kejuruan tentang bangunan atau perabot dari kayu dan telah menghasilkan tukang kayu yang sangat terampil dan mahir. Namun, sekolah kejuruan semacam itu kini sudah tidak ada lagi. Jika pemerintah daerah kesulitan membentuk atau memformalkan pengajaran tentang kriya, bisa saja melalui pendidikan informal tetapi dengan infrastruktur yang modern. Sayang, pemerintah daerah belum mampu menyediakan ruang kreatif yang memadai untuk warganya. Mestinya pemerintah daerah tidak boleh mati langkah dalam membangun infrastruktur yang bisa menumbuhkan kreativitas warga dan mengajarkan proses desain yang benar.
Kebijakan inovasi daerah hendaknya tidak terjebak pada hasil riset lembaga formal atau perguruan tinggi yang terlalu teoretis dan kurang membumi. Pragmatisasi inovasi daerah akan berlangsung dengan baik jika ada landasan yang kokoh terhadap stimulus gagasan desain dari masyarakat. Jika stimulus bisa dijalankan secara baik, sederet gagasan desain masyarakat akan berubah menjadi produk yang lebih terperinci. Maka, sangatlah penting masukan dari pakar desain produk agar gagasan desain masyarakat layak dikembangkan.
Penulis adalah Dosen STIA Bagasasi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar